Kamis, 13 November 2008

Radikalisme atas Nama Agama

Radikalisme atas Nama Agama
Oleh Moh. Shofan *

Selang beberapa saat setelah eksekusi terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, saya mendapat kiriman SMS (short message service) dari seseorang yang tidak saya kenal. Bunyi SMS tersebut begini: "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, telah berpulang ke rahmatullah tiga pejuang Islam, Amrozi, Imam Samudra, dan Imam Mukhlas. Semoga amal baiknya diterima di sisi-Nya. Amin".

SMS itu buat saya cukup mengejutkan. Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan tindak kekerasan atas nama Islam bisa disebut pejuang Islam? Apalagi memandang nonmuslim sebagai "kafir", suatu label yang memiliki beban peyoratif. Nalar saya sulit menerima, apalagi membenarkan tindakan membunuh banyak orang yang tidak berdosa.

Argumentasi Amrozi dkk dalam tragedi bom Bali jelas menyiratkan "arogansi teologis". Atas nama Tuhan, mereka mengoyak harkat kemanusiaan. Atas nama kebenaran menebar teror terhadap masyarakat Barat yang tak berdosa.

Karena itu, saya tidak menjawab SMS itu, karena saya termasuk orang yang tidak setuju dengan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok radikalisme Islam.

Saya berpendapat, radikalisme Islam dengan serangkaian aksinya yang penuh kekerasan adalah gambaran masa depan yang suram. Namun, di ruang terbatas ini, saya hendak mengajak pembaca untuk melihat kembali bahwa faktor munculnya radikalisme ekstrem bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh faktor tunggal, yakni faktor teologis.

Sungguh pun radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan pada umumnya juga selalu berujung dengan kegagalan, adalah sebuah kenaifan mengkritisi fenomena radikalisme tanpa mencermati dan memahami situasi dan kondisi di seputar kemunculannya.

Ketidakadilan, kemiskinan, keterpinggiran politik, menjadi alasan utama kemunculannya. Usaha-usaha kolektif yang dilakukan radikalisme Islam ini sebagai bentuk respons dari ketegangan-ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik.

Muncul dari Bawah

Dalam analisis ketegangan struktural (structural strain) sebagaimana dikembangkan T.R. Gurr (1970), suatu gerakan sosial terjadi ditandai dengan adanya kemarahan sedemikian rupa yang disebabkan adanya ketegangan sosial pada level makro dalam masyarakat. Gerakan sosial muncul dari bawah (masyarakat) ketika volume keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan rakyat melampaui ambang batas tertentu.

Kemunculan suatu gerakan sosial seperti halnya gerakan-gerakan keagamaan tidak lepas dari kondisi struktur sosial yang lebih luas yang melingkupinya, baik itu struktur kehidupan masyarakat maupun negara. Ketika kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang repretif, tidak sedikit manusia yang mengambil jalan "pintas" yang mengatasnamakan agama.

Asumsi bahwa penyebab radikalisme adalah karena faktor ekonomi diakui politisi Barat, seperti Martin Indyk, seorang diplomat AS. Dia memperingatkan bahwa siapa pun yang ingin mengurangi bahaya muslim militan harus terlebih dahulu memecahkan masalah ekonomi, sosial, dan politik yang menyebabkan gerakan itu menjamur.

Amien Rais juga mengakui, permasalahan mendasar munculnya radikalisme itu adalah terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan pada kelompok masyarakat, terutama kelompok minoritas. Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum sadar, pemiskinan ekonomi menyebabkan munculnya radikalisme.

Kasus radikalisme keagamaan menunjukkan bahwa kemunculannya senantiasa berhadapan dengan rezim yang dianggap sekuler, kapitalisme yang dipandang eksploitatif, yang berdampak pada kesengsaraan rakyat akibat kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kaum marginal.

Karena itu, ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan menghukum para koruptor kelas kakap, serta menganganya jurang ketidakadilan telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Belum lagi minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat.

Selama bangsa Indonesia yang kita cintai ini dibangun berdasarkan perekat politik ketimbang perekat budaya, tidak terlalu mengherankan jika yang terjadi kemudian adalah munculnya "ledakan-ledakan sosial". Negara dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.

Hal terpenting, pelaksanaan demokrasi, yang menjunjung tinggi, antara lain, prinsip keadilan, persamaan hak, adanya partisipasi rakyat dan perlindungan HAM hanya menjadi slogan hampa tanpa makna.

Demokrasi Indonesia saya kira masih sangat lemah, jika tidak mau dikatakan rapuh. Pemerataan dan keadilan sosial masih menjadi mimpi sampai sekarang. Jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan, tidak tertutup kemungkinan ancaman demi ancaman akan muncul sebagai respons dari akumulasi masif kegagalan pemerintah menangani persoalan bangsa.

Dan, saya kira, radikalisme adalah salah satu bentuk paling ekstrem dalam melawan kegagalan negara. mr-jawapos.*. Moh. Shofan , peneliti pada Yayasan Paramadina, di Jakarta

Tidak ada komentar: