Rabu, 05 November 2008

Demam Obama

Demam Obama

Cover GATRA Edisi 52/2008 (GATRA/Tim Desain)Demam Obama dalam sekejap berubah menjadi ajang pembuktian. Mampukah ia mewujudkan mimpi Amerika: bangkit dari keterpurukan? Pada saat bersamaan, dunia juga menyaksikan akhir arogansi George W. Bush. Koboi Texas itu akan meninggalkan Gedung Putih dengan kenangan buruk.

Rata-rata, berdasarkan sejumlah jajak pendapat nasional, Obama unggul 50% ketimbang McCain yang mendapat dukungan 44%. Jajak pendapat di sejumlah negara justru menempatkan Obama makin jauh meninggalkan McCain: 70% di Jerman, 75% di Cina, dan rata-rata di atas 70% di sejumlah negara Nordic. Di Inggris, popularitas Obama juga meningkat tajam, dari 13% pada Mei lalu menjadi 62% pada bulan Oktober.

''Obamania'' melanda dunia. Di negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, Obama pun mendapat dukungan lebih dari 50%. ''Petualangan Obama-lah yang membuat Amerika menjadi daya tarik,'' ujar Rama Yade, seperti dikutip Newsweek. Yade adalah imigran asal Senegal yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Prancis dan menjadi satu-satunya orang kulit hitam dalam pemerintahan Nicolas Sarkozy. Menurut Yade, Obama telah berubah menjadi kandidat dunia, tempat banyak orang menaruh harapan besar terjadinya perubahan dunia.

Menurut Jonathan Freedland, kolomnis The Guardian di London, masa tujuh tahun kekuasaan George W. Bush menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat internasional. Krisis ekonomi, dua peperangan, dan sejumlah kompleksitas politik yang menjerat dunia mendorong warga dunia peduli pada presiden yang memberi harapan perubahan. ''Dalam sebuah dunia yang telah mengalami globalisasi, Presiden Amerika juga menentukan kehidupan di seluruh dunia. Dia presiden kita juga,'' kata Constanze Stelzenmuller, Direktur German Marshall Fund, yang berkantor di Berlin, seperti dikutip Newsweek.

Hadirnya sosok Obama sedikit mengurangi arogansi Amerika, seperti harapan masyarakat internasional. Ahmed Benchemsi, editor pada dua majalah berita mingguan berbahasa Prancis dan Arab di Maroko, mengungkapkan hal itu. ''Presiden Amerika selalu mengklaim menjadi pemimpin dunia, dan kami tidak menyukai arogansi itu,'' kata Benchemsi. ''Sedangkan Obama dapat mengatakan hal itu, dan kami tidak masalah dengan hal tersebut,'' ia menambahkan.

Nizar Al-Kortas, kolomnis harian Al-Anbaa, Kuwait, seperti dilaporkan AP Rabu lalu, melihat kemenangan Obama sebagai langkah perubahan paling bersejarah pada abad ini. Yakni, dari wajah Pemerintah Amerika yang arogan menjadi negara yang lebih bisa diterima dunia. Obama menjadi idola dunia karena sosoknya menjadi personifikasi perubahan itu sendiri. Vernon Bogdanor, profesor ilmu pemerintahan di Oxford University, mengatakan bahwa Obama telah membangkitkan harapan akan pemimpin progresif yang dapat memperbaiki kepemimpinan moral Amerika.

Menurut David Lammy, pejabat Kementerian Negara Inggris untuk Pendidikan Tinggi, gerakan perubahan Obama berpotensi melintasi batas-batas Amerika, memberikan kepadanya jangkauan yang belum pernah terjadi pada para pemimpin dunia sebelumnya. Keberanian menaruh harapan telah dilakukan banyak orang pada sosok Obama. Kini dampak pragmatis terpilihnya Obama banyak dinanti orang.

Kemenangan Obama tampaknya tidak otomatis akan menempatkan Indonesia dalam skala prioritas kebijakan Washington di Asia. Indonesia baru diperhitungkan dunia kalau benar-benar mampu merumuskan kedaulatan, potensi, dan kepentingan nasionalnya. Dunia berharap, arogansi Amerika berkurang. Obama menjadi tumpuan perubahan.

G.A. Guritno
[Laporan Utama, Gatra Nomor 52

Tidak ada komentar: