Senin, 03 November 2008

Dari Idul ke ''Ngidul'' Fitri

Dari Idul ke ''Ngidul'' Fitri

Bulan Syawal belum berlalu. Suara maaf masih bertalu, halalbihalal tersedia selalu. Lebaran yang kini beraroma krisis keuangan selaiknya ada dalam renungan kalbu. Juga tentang mereka yang sudah balik dari mudik atau sebagian yang masih betah di ''udik''. Sebagian orang Jawa menyebut tradisi pulang kampung itu dengan ''ngidul'', yang secara semantik bisa menjadi majemuk ''ngidul fitri''. Sebuah istilah yang tak hanya bermakna ''kembali'' (id) sebagaimana arti etimologisnya. Melainkan juga ''kembali'' atau pulang alias ''ngidul'' dalam pemaknaan kulturalnya. Dengan hampir 16 juta manusia yang terlibat di dalamnya, upacara mudik sebenarnya telah menggeser cukup jauh pemaknaan tradisional Lebaran atau Idul Fitri.

Bagi beberapa suku bangsa di dunia, kampung halaman atau tanah air --tempat seseorang bermuasal dan (merasa) memiliki identitas purbanya-- memang memberikan pertautan yang hampir tak terlepaskan. Sekuat atau sehebat apa pun eksistensi kita di negeri seberang, tak bermakna apa-apa jika kerinduan patrimonial kita tak mendapat legitimasi (kembali) oleh sang (le) patrie.

Bagi beberapa bangsa dunia, mudik tidak pernah menjadi acara kolektif tahunan, apalagi dengan ukuran yang sangat massif seperti di negeri ini. Bagi bangsa-bangsa seperti Cina, Yahudi, Armenia, Arya, atau India, rantau adalah sebuah wilayah tempat mereka mencari dan menemukan identitas baru, yang pada gilirannya menumbuhkan jiwa kosmopolit pada bangsa asalnya. Satu kemampuan yang di masa lalu sebenarnya juga kita temukan pada suku bangsa Bugis, Minang, Madura, dan sebagainya.

Bagi orang Indonesia pada saat ini, kemampuan untuk menjadi diri-yang-lain, yang berbeda dari diri primordialnya itu, terasa tak lagi kuat. Ketika mereka, lebih secara romantik, selalu harus ''mengembalikan'' kenyataan dirinya --tidak cukup secara mental saja, melainkan juga secara fisik-- pada dunia/kultur a(w)salnya. Selalu mesti kembali, pulang alias ngidul. Dalam homonimnya pada bahasa Jawa, kata ngidul ini pun memiliki arti: balik ke kidul, ke selatan, ke tempat dataran landai, pantai permai, alam asri, bau pertanian, tempat romantisme dan konservativisme terjaga.

Mungkin demikianlah realitas psikologis manusia Indonesia masa kini, yang terus diguncang pelbagai krisis dan gejolak sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Dunia ''edan'' yang memaksa siapa saja ikut ngedan (gila) supaya kedhuman (kebagian); membuat siapa saja membutuhkan perlindungan moral bahkan religius untuk membuatnya tetap merasa ada. Dengan mudik, ngidul, mereka berharap bisa disucikan kembali dari semua dosa dan keedanan, merasa nyaman di bawah keteduhan payung suci (sacred canopy).

Itulah yang diharapkannya dari motherland, sang ibu-tradisi, di romantisme selatan. Menjadi semacam sikap budaya yang ternyata hanya menutupi bahkan memelihara sejenis kemunafikan atau ambiguitas: di satu kaki ia merasa modern (rasional), tapi di kaki lain ia tenggelam dalam tradisi (irasional).

Hingga akhirnya Lebaran menjadi sebuah siklus kebebalan kultural. Penyucian oleh le patrie menjadi permisi untuk berdoa atau ngedan lagi di masa setelahnya, untuk difitrikan kembali di Lebaran berikutnya. Sebuah siklus yang berkembang jadi involusi atau lingkaran setan kesalahan serta kealpaan.

Dengan cara pandang berbeda, sebenarnya kita dapat mengubah kedua makna mudik --baik religius maupun sosio-kultural-- itu menjadi satu etos atau mungkin kultur baru. Setidaknya sebuah motif baru untuk memperbaiki kerapuhan, hipokritas, dan romantisme kita pada le patrie. Dalam soal kefitrian Lebaran yang dicapai, misalnya dapat dikontemplasi menjadi modal atau standar hidup kita berikutnya. Modal/standar yang kita pertahankan setidaknya untuk membuat kemanusiaan kita tak kian merosot.

Bila kemudian ia ''kotor'' lagi, tentu tidak aneh. Bukan hanya karena ''manusia (memang) tempatnya salah dan lupa'', melainkan juga karena ''kotor'' itu akibat kesalahan baru yang kita lakukan. Di posisi ini, sesungguhnya kita telah melangkah ke level atau maqam kemanusiaan lebih tinggi.

Begitu pun makna sosio-kultural ngidul fitri bukan lagi sekadar romantisme dan pencarian legitimasi atau sacred canopy. Melainkan juga penggalian ulang secara kolektif dasar-dasar hidup dan sosialitas kita, yang telah membuat bangsa-bangsa di Nusantara ini ­survive dan berkembang di beberapa milenia. Sosialitas yang mungkin menjadi sebagian jawaban atas kerumitan persoalan dunia mutakhir kita di rantau.

Dalam perjalanan atau migrasi kultural ulang-alik ini, bisa jadi bangsa Indonesia menciptakan sejenis modus aktualisasi diri yang baru. Di mana dunia-kini selalu mendapatkan penawaran (ternegosiasi) secara berkesinambungan dengan dunia-lalu. Dan tidak seperti migrasi permanen bangsa-bangsa besar dunia di atas, primordialisme tidak tinggal sekadar sebagai penanda (identitas) artifisial dalam simbol-simbol mati. Tapi ia selalu teraktualisasi dan berdialektika secara kreatif dengan masa kini.

Betapa sesungguhnya, untuk berkembang hebat, negeri ini memiliki potensi besar, bahkan tak terperi. Dan dari ngidul fitri, kita mendapat banyak janji.

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni dan pemerhati budaya
[Perspektif, Gatra Nomor 49

Tidak ada komentar: