Kamis, 13 November 2008

Membongkar Makna Jihad

Membongkar Makna Jihad
Oleh Ismatillah A. Nu'ad *

Konsepsi jihad dengan pretensi negatif seperti kembali menemukan tempatnya dalam diskursus kebangsaan Indonesia. Sebelum dieksekusi, para terpidana mati kasus bom Bali mengartikan jihad sebagai perang fisik. Di situ, konsepsi jihad digunakan sebagai instrumen politis yang dapat membentuk sentimen secepat kilat.

Mereka mengartikan jihad sebagai jalan cepat menuju kebahagiaan di alam eskatologis jika memenuhi kebenaran janji-janji Tuhan. Jihad identik dengan martyr. Dengan demikian, kaum muslim yang sudah terasuki pola seperti itu menjadi berani melakukan aksi-aksi irasional.

Selain itu, fenomena yang datang dari bangsa lain, sentimennya mengungkit kaum muslim dalam ranah kebangsaan ini. Hal tersebut turut memicu konsepsi jihad. Seperti bangsa Palestina yang tak henti-hentinya diperangi bangsa Israel. Konflik rejimentasi politik di Afghanistan, terutama karena AS bermain atau mengintervensi tatanan pemerintahan di sana. Pendeknya, semua itu memicu konsepsi jihad yang disalahartikan dalam tatanan kebangsaan muslim Indonesia.

Jihad menjadi relevan dalam konteks kebangsaan ini karena tak syak lagi Indonesia dihuni oleh lebih dari 90 persen komunitas muslim. Meski, kecenderungan kuantitatif dalam ber-Islam mestinya ditinggalkan. Alasannya, angka kuantitatif yang banyak tidak akan menjamin secara kualitas.

Namun, tendensi kuantitatif itu patut untuk meneropong bahwa tak ada demarkasi dengan konsepsi jihad. Justru karena kualitas kaum muslim Indonesia masih hitungan kuantitatif, konsekuensinya riskan dengan sentimen jihad. Maksudnya, banyak muslim salah menafsirkan konsepsi jihad karena pemahaman terhadap Islam di situ tidak plural.

Karena Islam di Indonesia masih bersifat kuantitatif, di antaranya memiliki ciri tak menafsir ajaran Islam secara plural, dalam soal jihad, ia dapat memicu gerakan fundamentalisme dalam tubuh negara ini.

Fenomena fundamentalisme dapat diaktualisasikan paling tidak dalam dua jenis. Yakni, fundamentalisme-pemahaman dan fundamentalisme-praktis. Yang disebutkan terakhir memberikan rasa ngeri di kalangan negara-negara Barat. Pasalnya, itu bisa diaktualisasikan dengan cara-cara kekerasan; pembunuhan, teror-teror bom, dan lain-lain.

Akibatnya, keharmonisan hubungan negara ini, khususnya dengan negara-negara Barat, menjadi renggang. Di Jakarta, misalnya, Kantor Kedutaan Besar Inggris, AS, dan Australia tak pernah sepi dengan penjagaan ketat aparat keamanan.

Paling tidak, hubungan tiga negara itu dengan komunitas muslim di Indonesia kurang harmonis. Khususnya dengan komunitas muslim yang terbilang garis keras, hal mana tafsir terhadap jihad bersifat literal. Jihad di situ diartikan sebagai perang terhadap musuh. Sebab, asumsinya adalah musuh memerangi kaum muslim. Padahal, perang dalam bahasa Arab bukanlah jihad melainkan al-harb dan al-qatil. Jihad berarti kesungguhan yang berpretensi menyelesaikan problematika berpolemik dan ganjil.

Sebaliknya, Islam justru menolak cara-cara kekerasan dan cinta terhadap perdamaian serta perbedaan jika dikelola dengan bijaksana. Teks-teks Quran mengenai jihad tidak berpretensi perang.

Adapun mengenai al-harb dan al-qatil, itu pun merupakan legitimasi jika kaum muslim sudah benar-benar dikhianati dalam suatu perjanjian-perjanjian struktural yang bersifat profetis (QS 9:4-5). Perang tak dapat digelorakan kecuali mereka yang memerangi kamu. Tetapi, jangan memulai agresi, sesungguhnya Tuhan tak suka kepada orang yang melakukan agresi (QS 2:190).

Teks-teks itu pada umumnya berbicara ketika kaum muslim sudah tak lagi punya pilihan-pilihan instrumental yang sifatnya win-win solution. Dalam konteks teori politik modern, teks-teks tersebut sudah lapuk digunakan karena tak sesuai dengan kondisi masyarakat modern.

Diplomasi

Lebih jauh lagi, mengapa kaum muslim tak menggunakan instrumen-instrumen lain ketika menafsirkan jihad. Jihad sesungguhnya dapat diaktualisasi ke dalam bentuk "diplomasi". Sebab, itu relevan dengan tatanan kemanusiaan modern. Diplomasi tak akan pernah terlaksana manakala tak terlebih dahulu diberi pemahaman yang mapan dan meleburkan pemahaman itu ke dalam situasi pluralitas.

Untuk memapankan pemahaman kaum muslim, jihad mestinya berpindah menuju ijtihad. Ijtihad tak hanya digumuli dengan tafsir hegemonik terhadapnya. Misalnya, hanya untuk merespons perkembangan dalam ilmu fikih seperti yang selama ini terjadi. Akan tetapi, ijtihad semestinya digunakan sebagai instrumen yang berpretensi hendak mencari solusi-solusi dari problematika yang terus menggelayuti kaum muslim.

Pengaruh ijtihad dalam bentuk itu lebih besar -dalam rangka pembelaan terhadap Islam dan kaum muslim- daripada aksi-aksi tak karuan yang dapat menimbulkan ketegangan yang nir tatanan dunia baru.

Jika kaum muslim mengimani bahwa tak ada suatu problem yang tak dapat dipecahkan, berkaitan dengan ketegangannya dengan peradaban Barat, ssungguhnya pendekatan ijtihad dengan pretensi itu membawa kedekatan kaum muslim kepada pemahaman-pemahaman baru yang bersifat solutif dan nir kekerasan.

H M. Rasjidi, seorang intelektual muslim Indonesia dan sarjana lulusan kampus di Perancis, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an pernah melakukan cara-cara diplomatik dengan Barat. Meskipun pretensinya membela Islam dan kaum muslim di panggung internasional, perjuangan Rasjidi patut diteladani bagi kecenderungan kaum muslim sekarang ini yang mengaktualisasikan jihad dengan cara-cara kekerasan.

Meskipun tergolong muslim yang mengkritik keras pembaruan Islam Nurcholish Madjid pada era 1980-an, pendekatan "jihad" Rasjidi diaktualisasi dalam pola ijtihad, dalam arti kesungguhan membela Islam dengan jalan diplomatik, argumentasi yang rasional lewat karya-karya intelektualnya.

Dalam rentang 70-80-an, Rasjidi menerjemahkan trilogi buku karya intelektual Barat. Yakni, karya Prof Marcel Boisard, Prof Roger Garaudy, dan Prof Maurice Bucaille. Meski ditulis orang Barat, karya-karya itu memiliki pretensi membela Islam. Tidak hanya menaruh simpati, tetapi juga memberikan bukti-bukti bahwa sejarah peradaban (civilization) Islam adalah peradaban yang pernah memberikan spirit terhadap peradaban Barat hingga zaman renaisans.

Karya-karya itu juga bertujuan meninggalkan etnocentic (rasa bahwa Barat-lah yang terpenting di dunia ini). Sebaliknya, menghilangkan purbasangka-purbasangka tentang Islam dan membuktikan bahwa Islam yang justru menimbulkan kesadaran di Barat paling tidak hingga abad pencerahan.

Di situ, pendekatan ijtihad diaktualisasi dalam bentuk diplomatik. Konsekuensinya memiliki makna yang dalam karena berusaha menyuguhkan tawaran paradigmatik baik kepada Barat maupun kepada kaum muslim itu sendiri. Dikatakan kepada Barat karena ternyata Islam dan kaum muslim pernah menorehkan sejarah gemilang, yang dibuktikan lewat pendekatan-pendekatan empirik.

Dalam konteks itu, peradaban Barat menyadari bahwa mereka paling tidak tersadar akan cultural-indebtedness-nya pada peradaban Islam.mr-opinijawapos.
* Ismatillah A. Nu'ad , peneliti Kantata Research Indonesia di Jakarta.

Tidak ada komentar: