Rabu, 12 November 2008

Barack Obama: I'm My Own Worst Critic

Barack Obama: I'm My Own Worst Critic


Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Ibarat peluru kendali yang melaju dengan kecepatan tinggi, Barack H Obama yang baru dua tahun jadi senator akhirnya memenangkan pilpres Amerika 4 November 2008 melawan John McCain secara mutlak dalam electoral vote (wakil yang langsung memilih presiden) dengan perolehan suara 349:173. Angka pemilih di akar rumput berbanding 52:46 persen, dengan selisih suara lebih tujuh juta.

Bila dipatok garis lurus sejak pilpres tahun 1928-2008, rekor tertinggi electoral vote diraih oleh Ronald Reagan (Republik) melawan Walter Mondale (Demokrat) dengan perbandingan 525:13 dalam pilpres 1984. Sekiranya Obama bukan berkulit hitam, kemenangan dalam struktur angka itu tidaklah spektakuler. Bill Clinton (Demokrat) dalam pilpres tahun 1996 melawan Robert Dole (Republik) angka yang muncul adalah 379:159.

Magnet Obama tertutama terbaca pada semboyan kampanyenya dalam mantra ''perubahan'', tidak saja akan dilakukan di Gedung Putih yang korup, tetapi juga ingin menciptakan sebuah dunia yang damai, bebas dari kekerasan, sebuah cita-cita luhur, tetapi alangkah sukar untuk diwujudkan. Saya rasa sikap orang kepada Obama pada tahun-tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada keberhasilan atau kegagalannya menerjemahkan doktrin perubahan itu ke dalam dunia nyata.

Seperti halnya kemenangan Obama yang juga didukung oleh tokoh dan warga Republik, maka Reagan sebelumnya juga mendulang suara dari warga Demokrat. Di sini terlihat faktor figur dan situasi semasa dapat melunturkan kesetiaan seseorang kepada partai, sekalipun tidak serta-merta hengkang dari partainya.

Di Amerika, panorama politik serupa itu tampaknya lumrah belaka, tak perlu saling mengutuk dengan tuduhan oportunis dan sebagainya. Sekalipun pilpres Amerika yang baru saja berlalu sarat dengan ketegangan, caci-maki, dan biaya yang sangat tinggi, setelah usai, McCain sebagai pihak yang gagal, mengucapkan pidato kekalahan dengan cara yang sangat dewasa.

Dia tak perlu menyuruh pengikutnya main bakar-bakaran, demonstrasi, atau menghasut. Malah ditawarkannya untuk bekerja sama dengan kubu Obama, sekiranya diperlukan. Adapun suasana batin pihak yang kalah menjadi remuk, misalnya, itu adalah risiko berpolitik.

Sewaktu Jimmy Carter kalah telak oleh Reagan dalam pilpres tahun 1980, seingat saya Carter berucap: I can't say it doesn't hurt (Saya tidak bisa mengatakan bahwa [kekalahan] itu tidak menyakitkan). Hillary tentu punya perasaan serupa saat dikalahkan Obama dalam konvensi Partai Demokrat di Denver, Agustus 2008.

Tantangan berat Presiden-Elek Barack Obama ke depan sudah sangat nyata. Ini Resonansi saya yang keempat, jika bukan yang kelima, tentang tokoh ini. Harapan umat manusia sedunia terhadap Obama untuk memperbaiki tatanan global yang dirusak oleh kaum neokon dan pendukungnya terlalu tinggi. Padahal, krisis finansial domestik di Amerika parah sekali.

Diperkirakan defisit warisan Bush akan mencapai 500 miliar dolar saat Obama angkat sumpah sebagai presiden ke-44 Amerika pada 20 Januari 2009, dan akan membengkak menjadi satu triliun akhir tahun itu.

Kalau bukanlah negara kaya, Amerika sudah pasti akan tersungkur menjadi negara paria di muka bumi, apalagi sebagian besar rakyatnya telah terlalu manja menikmati kemakmuran selama lebih setengah abad. Maka, bisa dibayangkan kesulitan yang sedang dan akan dihadapi Obama, tidak saja menyangkut masalah domestik, tetapi juga pada tatanan global.

Seperti mencari penyelesaian terhadap petualangan Bush di Afghanistan dan Irak, dua negara tak berdaya yang telah dihancurkan oleh setan neoimperialisme yang sangat durjana itu.

Akhirnya, apakah ucapan Obama: I'm my own worst critic (Saya adalah pengkritik telak terhadap diri sendiri), akan dapat melapangkan jalan baginya untuk belajar sebanyak-banyaknya, termasuk dari lawan-lawan politiknya? Kesediaan mengkritik diri sendiri secara jujur dan berani memang sangat diperlukan, terutama oleh para pemegang jabatan publik, apalagi sebagai presiden dari sebuah negara besar.

Kedegilan Bush dan banyak pemimpin keras kepala lainnya karena sering menampik pendapat yang berbeda, sekalipun benar. Hanya mereka yang tulus dan berjiwa besar saja yang bisa melawan sifat buruk itu. Adapun mereka yang besar kepala dan kaum fundamentalis umumnya berpegang kepada doktrin ini: Either with us, or, against us (Turut kami, atau lawan kami). Doktrin hitam-putih serupa inilah yang menjadi salah satu sumber malapetaka di dunia modern sekarang ini.

Kita berharap agar Obama menghayati betul filosofi kritik diri yang telah diucapkannya sebagai syarat bagi seorang pemimpin untuk melakukan perubahan fundamental pada ranah domestik dan ranah global.mr-republika

Tidak ada komentar: