Selasa, 11 November 2008

Bung Tomo Tak Bisa Ditawar

Bung Tomo Tak Bisa Ditawar

Bung Tomo adalah sosok yang tidak bisa ditawar, memiliki sifat tegar, keras, dan punya kepribadian, kata pengamat sejarah.

"Istilah ’merdeka atau mati’ itu Bung Tomo yang pertama kali menyerukannya," kata Syafaruddin, SPd, SH saat ditemui di rumahnya di Pontianak, Senin.

Ketua Pancasila Centre itu juga menyatakan Bung Tomo pantas mendapatkan gelar pahlawan, karena memang dialah yang tampil sebagai pemimpin perlawanan terhadap Ultimatum Tentara Sekutu yang dikeluarkan Mayor Jenderal Mansergh dan memicu pertempuran pada 10 November 1945.

Mansergh adalah pengganti Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris atas nama Sekutu di Jawa Timur, yang tewas dalam pertempuran melawan badan-badan perjuangan rakyat Indonesia pada 30 Oktober 1945.

Menurut Syafaruddin, pekik "Merdeka Atau Mati" itu terbukti mampu membuat seluruh pemuda di kota Surabaya bangkit melakukan perlawanan. Peristiwa bersejarah itu bermula dari perobekan warna biru pada bendera Belanda di Hotel Yamato atau Hotel Orange (sekarang Hotel Majapahit)di Surabaya pada 27 September 1945.

"Seluruhnya itu benar-benar seluruhnya, termasuk para pemuda dari berbagai daerah yang saat itu tinggal di kota Surabaya, juga para ’bondo nekat’, maling, begal, perampok dan sebagainya. Bung Tomo mampu membangkitkan nasionalisme mereka," katanya.

Ia juga mengatakan, kepahlawanan Bung Tomo antara lain ditulis oleh Ktut Tantri dalam dua bukunya, masing-masing berjudul "The New Paradise" (1957) dan "Revolusi di Nusa Damai" (Gramedia, 1982).

Ktut Tantri adalah wanita Amerika Serikat keturunan Inggris yang datang ke Bali untuk belajar melukis. Belakangan ia diangkat anak oleh Raja Bali dan diberi nama Indonesia.

Menurut Syafaruddin, peristiwa 10 November 1945 pantas ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, antara lain karena di pertempuran itu, mulai dari awal hingga akhir, merupakan satu-satunya pertempuran yang menyebabkan tewasnya dua jenderal tentara asing (Sekutu).

Sikap tegar, keras Bung Tomo, katanya, juga terbukti ketika ia disingkirkan di era Pak Harto.

Dalam peristiwa Malari (1975), Sutomo atau Bung Tomo bersama anaknya, Bambang Sulistomo (Mahasiswa UI) sempat "diinapkan" oleh Pak Harto di Wisma Nirbaya.

Lantaran catatan itulah, gelar pahlawan tidak bisa diberikan kepada Bung Tomo, sampai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhirnya menyerahkan gelar pahlawan dalam acara peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara, beberapa waktu lalu.

Lahir di Kampung Blauran, Surabaya tanggal 3 Oktober 1922, Sutomo alias Bung Tomo semula bekerja sebagai wartawan.

Ketika empat tokoh yaitu Soemanang, AM Sipahoetar, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna mendirikan Kantor Berita Antara, Sutomo menjadi wartawan ANTARA di Surabaya, selain juga bekerja untuk Asia Shimbun.

Pendidikan awal ditempuhnya di Sekolah Rakyat (SR), kemudian MULO, dan terakhir di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. "Saat kuliah Bung Tomo sempat berhenti beberapa kali karena terlibat gerakan perjuangan. Ia masuk tahun 1957 dan menyelesaikannya pada 1969," kata Syafaruddin.

Dalam sejarah perjuangan, Bung Tomo termasuk lima pendiri Tentara Keamanan Rakyat. Empat pendiri lainnya adalah Jenderal Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo, Laksamana Laut Natzir, dan Mayor Sungkono.

Dalam sejarah perpolitikan, Bung Tomo mendirikan Partai Rakyat Indonesia pada 1957 dan menjadi anggota Konstituante (DPR RI).

Riwayat Bung Tomo berakhir ketika ia meninggal dunia di Padang Arafah dan dikuburkan di Wadi, Madinah, Arab Saudi, tahun 1980. Dua tahun kemudian makamnya dibongkar dan tulang-tulangnya dibawa pulang untuk dimakamkan kembali di tanah kelahirannya.

Tidak ada komentar: