Rabu, 12 November 2008

Gelar Pahlawan untuk Pak Natsir

Gelar Pahlawan untuk Pak Natsir


Oleh Asro Kamal Rokan

George McT Kahin, guru besar Cornell University, AS, sangat tertarik pada Mohammad Natsir. Selain pemikiran Islam Pak Natsir, Kahin juga tertarik pada kesederhanaan ulama besar, politisi, dan negarawan ini. Kahin bertemu Pak Natsir pada 1948 di Yogyakarta. Saat itu Pak Natsir menjabat menteri penerangan RI.

Dalam pertemuan itu, Kahin melihat sosok pemimpin yang sangat sederhana. Kemejanya bertambalan. Menurut Kahin dalam bukunya tentang kehidupan dan perjuangan Natsir, kemaja bertambalan itu merupakan satu-satunya yang dimiliki menteri penerangan itu.''Suatu yang belum pernah saya lihat di antara pejabat pemerintah di manapun. Beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas. Mereka katakan, dengan baju itu pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti menteri betulan,'' kata Kahin.

Pak Natsir sangat sederhana. Siti Muchliesah, putri Pak Natsir, suatu kali mendengarkan perbincangan ayahnya dengan seseorang dari Medan. Orang tersebut menawarkan mobil sedan mewah Chevrolet Impala. Namun, dengan halus Pak Natsir menolaknya. Ia lebih suka mengandarai sedan DeSoto yang sudah tua. Ketika menjadi menpen, Pak Natsir menumpang di rumah sahabatnya, Prawoto Mangkusasmito di Kampung Bali, Tanah Abang. Saat menempati rumah yang dibelikan pemerintah, keluarga Pak Natsir mengisi rumahnya dengan perabotan bekas. ''Jangan cari yang tiada, pandai-pandailah mensyukuri nikmat,'' kata Pak Natsir kepada anak-anaknya.

Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan perdana menteri itu, selain kepada Bung Tomo dan KH Abdul Halim. Gelar ini sudah lama ditunggu umat Islam, yang memosisikan Pak Natsir sebagai tokoh yang sangat layak diteladani, seorang ulama, negarawan, pemikir, dan bahkan orang tua bagi aktivis Islam modern.Lelaki santun yang wafat pada 14 Maret 1993 ini sumber inspirasi tokoh-tokoh muda dan cendekiawan Islam. George Kahin menyebut tokoh besar ini ''The last giants among the Indonesia's nationalist and revolutionary political leaders raksasa terakhir di antara tokoh nasionalis dan pemimpin politik revolusioner Indonesia''.

Melalui Masjumi yang dipimpinnya, Pak Natsir sangat gigih memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam bernegara. Beliau berjuang di parlemen, berjuang dalam pemikiran dan perdebatan intelektual. Beliau tidak memaksakan kehendaknya, apalagi mengancam kedaulatan negara. Pak Natsir berjuang dalam sistem. Ketika menjadi perdana menteri, Pak Natsir yang memperjuangkan nilai-nilai Islam, justru melibatkan tokoh-tokoh Kristen dan Katolik dalam kabinetnya. Ada Menteri Kesehatan Johanes Leimena (Partai Kristen), menteri sosial FS Haryadi (Partai Katolik), dan Herman Johannes (PIR), MA Pallaupessy (Partai Demokratik). Bagi Pak Natsir, negara ini harus diurus bersama. ''Dalam hubungan kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,'' kata Pak Natsir dalam wawancara dengan Majalah IEditor tahun 1988.

Saat dikucilkan Orde Baru, Pak Natsir justru meminta sahabatnya Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda membantu Indonesia yang kesulitan keuangan. Pada saat itu, tidak satu pun pemimpin Orde Baru berhasil meyakinkan Fukuda. ''Mr Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonsia,'' kata Fukuda ketika itu. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI). Kecintaannya pada persatuan, mendorong tokoh intelektual ini mengajukan Mosi Integral untuk menyatukan Indonesia yang terpecah dalam negara-negara bagian bentukan Belanda. Melalui parlemen dan pendekatan seorang negarawan, Pak Natsir membujuk pimpinan negara-negara bagian untuk kembali dalam NKRI.

Sejumlah sejarawan menyebutkan, Mosi Intergral Natsir itu sebagai Proklamasi Kedua RI, setelah Proklamasi Kemerdekaan Soekarno-Hatta. Atas perjuangan itu pula, Soekarno memercayakan Natsir sebagai perdana menteri pertama RI (1950-1951).Pekan lalu, setelah lama dilupakan, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional. Penggemar musik Mozart dan Beethoven itu seorang gigih memperjuangkan nilai-nilai Islam, namun bersahabat baik dengan tokoh yang berbeda agama dan ideologi. Dikucilkan Orde Baru, namun Pak Natsir membantu pemerintah yang mengucilkannya. Pahlawan bersuara lembut ini berpolitik dengan etika, bersahabat dengan siapa saja, karena Pak Natsir memegang teguh nilai-nilai Islam.

(-)

Tidak ada komentar: