Rabu, 12 November 2008

Catatan Kecil untuk Hari Kesehatan Nasional

Catatan Kecil untuk Hari Kesehatan Nasional


Ginus Partadiredja
Staf Pengajar Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta


Inilah peta status kesehatan masyarakat kita. Di satu sisi, penyakit-penyakit degeneratif ala masyarakat pascaindustrial, seperti penyakit-penyakit terkait penuaan telah menjangkiti sebagian segmen masyarakat. Sementara itu, penyakit-penyakit infeksi atau malnutrisi khas masyarakat dunia ketiga masih diidap oleh sebagian besar anggota masyarakat kita.

Dengan potret semacam ini, kita mematok sebuah visi raksasa: Indonesia sehat tahun 2010. Visi ini mengingatkan kita kepada slogan sejenis yang pernah diluncurkan oleh WHO: Health for All 2000. Tahun 2000 sudah lewat delapan tahun lalu dan kita menyaksikan sendiri sejauh mana realisasi slogan itu.

WHO memberi definisi sehat sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh-sempurna, dan bukan hanya kondisi ketiadaan penyakit maupun kecacatan. Becermin pada definisi ini, barangkali kita dapat sedikit menebak, mungkinkah visi Indonesia sehat pada 2010 itu dapat terwujud? Masyarakat kita adalah masyarakat yang jauh dari kondisi sehat. Tidak hanya karena banyaknya (ragam maupun jumlah penderita) penyakit fisik yang ada, tetapi juga karena banyaknya penyakit mental dan sosial.

Mari menengok kondisi mental-sosial tak sehat pada diri kita dari berbagai hal yang kecil, remeh, hingga hal-hal yang besar. Lihat pula perilaku berlalu lintas di jalanan, budaya antre, kebiasaan merokok, narkoba, konsumtivisme-hedonisme, pornografi, hingga korupsi.

Hal yang lebih perlu diperhatikan daripada hal-hal di atas adalah komitmen pemerintah terhadap pembangunan di sektor kesehatan. Idealnya, sektor kesehatan tidak hanya berkutat di hilir, mengurusi aspek-aspek kuratif-rehabilitatif (pengobatan-pemulihan pasien yang sakit), seperti yang selama ini masih saja disalahpahami oleh sebagian orang.

Sudah sejak lama dipikirkan bahwa pembangunan sektor kesehatan yang baik adalah pembangunan yang juga bergerak aktif di hulu, berkecimpung dalam aspek-aspek preventif-promotif (pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan individu dan masyarakat). Tetapi, apa yang terjadi selama ini tampaknya sektor kesehatan hanya menjadi semacam sektor muara, tempat sampah yang kebagian peran sial mengurusi tetek bengek segala macam permasalahan penyakit fisik-mental-sosial yang sesungguhnya merupakan akibat dari kebijakan politik-ekonomi yang tak peduli terhadap dampak kesehatan.

Salah satu contoh klasik adalah kebijakan tentang rokok. Ada 57 ribu orang Indonesia yang meninggal tiap tahun akibat rokok. Sejumlah 70 persen adalah perokok aktif. Jumlah ini berada di dalam 57 persen rumah tangga.

Para perokok aktif membakar uang hingga Rp 500 miliar per hari. Itu setara dengan dana Rp 150 triliun per tahun.

Tentu saja sebuah jumlah yang sangat mewah untuk ukuran sebuah negara yang terus menerus dililit utang, kemiskinan, dan dengan balita bergizi buruk berjumlah 1,7 juta orang. Orang merokok di sembarang tempat sehingga hampir seluruh orang Indonesia (minimal) menjadi perokok pasif.

Dengan angka-angka yang mengesankan seperti ini, kita belum melihat dengan jelas bagaimana keseriusan pemerintah menghapus kultur sakit rokok-merokok. Pabrik-pabrik rokok tetap beroperasi dengan lancar. Bahkan, kurang lebih dua tahun lalu terbaca berita tentang akan didirikannya pabrik rokok baru berkapasitas produksi sembilan miliar batang per tahun di Karawang, Jawa Barat.

Iklan rokok masif muncul di ruang-ruang publik dengan bebas. Perda antimerokok dijalankan dengan setengah-setengah. Ironisnya pula, secara kultural, para nonperokok selalu berada dalam posisi kalah ketika berhadapan dengan para perokok.

Kita lihat di dalam angkutan kota, orang-orang merokok dengan bebas, tidak minta izin, dan tidak peduli pada lingkungan sekitarnya (salah satu ciri dari individu dan masyarakat yang tak sehat secara mental-sosial). Bahkan ada kasus di mana seorang penumpang diturunkan oleh sopir mikrolet gara-gara mengingatkan sopir agar tidak merokok.

Ini adalah contoh baik tentang bagaimana kepentingan ekonomi-politik meminggirkan kepentingan kesehatan. Industri rokok adalah industri yang mungkin menguntungkan bagi pendapatan negara (dalam jangka pendek dengan mengabaikan ongkos mahal kesehatan jangka panjang, yang diakibatkan oleh rokok). Karena itu, demi kepentingan ekonomi jangka pendek ini, dampak kesehatan masyarakat boleh diabaikan.

Adalah sia-sia saja sektor kesehatan melakukan upaya-upaya preventif-promotif berupa kampanye antirokok dan gaya hidup sehat (sebagaimana juga dicanangkan oleh presiden pada 2004) ketika pada saat yang sama rokok tetap dibiarkan beredar dengan amat bebas di masyarakat. Sektor kesehatan terpaksa masih saja harus berkutat dalam pekerjaan-pekerjaan kuratif-rehabilitatif menanggulangi berbagai penyakit akibat kebiasaan merokok, seperti penyakit kanker paru, penyakit jantung, dan koroner.

Hal yang mirip terjadi juga pada banyak sekali permasalahan kesehatan lain. Sekarang terpulang kepada keseriusan kita untuk berpikir dan memberikan komitmen.mr-republika

Tidak ada komentar: