Jumat, 07 November 2008

Nation and Character Building

Nation and Character Building


Dr Fuad Bawazier
Ekonom dan Pengamat Politik


The Foundation of Abdulazis Saud Al Babtain kembali mengadakan pertemuan internasional dua tahunannya yang kesebelas kalinya pada 27-30 Oktober 2008. Pertemuan kali ini diselenggarakan di markas besar Al Babtain di Kuwait.

Seperti biasanya acara itu selalu dihadiri para tokoh penyair dan akademisi terkemuka dari berbagai disiplin ilmu dari segala penjuru dunia, termasuk Amerika Serikat, Taiwan, Rusia, India, Italia, Inggris dan tentu saja dari negara-negara Arab, Asia, dan Afrika. Bobot pertemuan ini antara lain dapat dilihat banyaknya paparan riset maupun kehadiran Menteri Penerangan Kuwait Sheikh Sabah Al Khaled Al Sabah, Perdana Menteri Lebanon Fuad Seniora, dan mantan Presiden Bosnia Herzegovina Haris Siladich yang ternyata amat fasih berbahasa Arab.

Tujuan utama Dr Abdulazis Saud Al Babtain dengan yayasannya untuk memajukan dan menghimpun karya sastra puisi Arab dari yang kuno (zaman jahiliyah) sampai yang modern, melalui pendirian perpustakaan puisi Arab terbesar, penerbitan, kreativitas, perlombaan, beasiswa, dan lain-lain. Meski demikian, dalam setiap pertemuan yang berkadar internasional itu selalu saja perdebatannya meliputi isu aktual, seperti perseteruan Palestina-Israel, kegagalan kapitalisme dan globalisasi yang merugikan triliunan dolar dana Timur Tengah di bursa-bursa saham, penyebaran gencar kebudayaan Barat ke dunia Islam, dan dominasi bahasa Inggris di tengah inferioritas budaya dan bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran dan Hadis, atau bahasa Islam.

Pertemuan Kuwait ini menekankan perlunya tiap bangsa mempertahankan dan memajukan budaya dan bahasanya dengan penuh percaya diri. Dominasi atau penjajahan model baru tidak lagi dengan kekuatan militer tetapi melalui kebudayaan dan bahasa asing. Riset menunjukkan bahwa dengan menyerap kebudayaan dan bahasa asing, kecenderungan yang terjadi adalah meninggalkan kebudayaan dan bahasa sendiri (nasionalnya). Perubahan tersebut sehari-hari dapat dilihat atau diikuti dari perubahan pakaiannya, gaya dan bahasa pergaulannya, musik dan makanan kesukaannya, dan seterusnya yang cenderung meniru sebanyak mungkin kebiasaan orang Barat khususnya Amerika Serikat. Seseorang merasa bangga dan naik kelas dengan perubahan itu.

Mereka yang berduit lebih memilih ayam goreng Kentucky daripada Mbok Berek. Lebih memilih steak daripada sate, lebih parcaya diri memesan salad daripada gado-gado atau pecel. Dengan mengubah kebiasaan sehari-harinya dari nasional (lokal) menjadi asing (baca: Amerika), pribumi merasa telah internasional. Artinya, yang datang dari Amerika diidentikkan dengan internasional atau universal. Sementara itu, bangsa Barat tidak berminat apalagi menyerap budaya dan bahasa Arab atau negara berkembang lainnya yang dinilainya inferior atau terbelakang. Dunia Barat mempelajari budaya dan bahasa asing sebagai bagian dari ilmu pengetahuan atau untuk penguatan dominasinya.

Kepincangan atau keadaan bertepuk sebelah tangan ini semakin melancarkan politik globalisasi budaya Amerika dan bahasanya. Melalui berbagai cara khususnya slogan kebebasan kebebasan atau internasionalisasi media yang didominasi Amerika, atau melalui liberalisasi ekonomi, keuangan, dan perdagangan dalam kerangka atau bungkus globalisasi. Dengan bantuan teknologi canggih komunikasi dan informasi, Barat yang mendominasi lembaga-lembaga internasional, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, bahkan PBB, mudah memenangkan perlombaan globalisasi budaya dan bahasa. Apalagi, setelah tumbangnya Blok Timur pimpinan Uni Soviet, negara-negara berkembang aktif menyerap dan menggandrungi budaya dan bahasa Barat (Amerika Serikat).

Hanya negara Timur yang kuat ekonomi, teknologi dan budayanya (termasuk agama dan kepercayaannya), seperti Jepang dan RRC yang relatif mampu bertahan dari serbuan globalisasi total yang tampaknya hanya melalui bungkus globalisasi ekonomi, keuangan, dan perdagangan dunia. Bila tren penyerahan atau pelepasan sepihak budaya dan bahasa nasional itu terus berlangsung untuk ditukarkan dengan budaya dan bahasa Barat, maka globalisasi tidak lain adalah proses atau cara baru dominasi total Barat.

Amerika tidak saja sukses mengekspor budaya dan bahasanya melalui film-film Hollywood, lagu-lagu dan tariannya, junk food, dan gaya berpakaian, tetapi juga akan mampu mempertahankan superioritas dan standar gandanya. Sementara itu, budaya bangsa-bangsa berkembang semakin lemah karena mulai ditinggalkan pemiliknya dan menjadi subordinat budaya Amerika atau Barat.

Hubungan kedua kebudayaan itu tidak lagi seimbang. Logika ini membantu menerangkan mengapa sesuatu yang datang dari Barat khususnya Amerika Serikat, termasuk ideologi, seperti liberalisme dan kapitalisme, sering dibungkus dengan sebutan atau embel-embel internasional atau universal sehingga orang nasional (lokal) merasa lebih terhormat atau nyaman menggunakannya. Tanpa bermaksud mengucilkan diri, mampukah bangsa Indonesia mempertahankan jati dirinya (budaya dan bahasanya) di tengah serbuan dahsyat globalisasi total Amerika? Soekarno menjawabnya dengan sungguh-sungguh melaksanakan nation and character building. mr-opinirepublika.Ikhtisar:
- Tiap bangsa perlu mempertahankan dan memajukan budaya dan bahasanya dengan penuh percaya diri.
- Dunia Barat tidak tertarik menyerap budaya dan bahasa Arab atau negara berkembang lainnya.
- Barat menilai bangsa lain inferior dan masih terbelakang.

Tidak ada komentar: