Rabu, 12 November 2008

Dalam Tikam Kesepian

Dalam Tikam Kesepian

Oleh : Dharmadi

Tak dapat dilupakannya kata-kata terakhir istrinya, keinginan untuk bisa mendampingi anak-anaknya sampai menjadi orang tua. Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, hanya beberapa menit menjelang kepergiannya, di dini hari;’Aku kepengin nunggoni bocah-bocah mentas nganti dadi wong tuwo’. Dan waktu itu ia hanya menjawab,”Jangan berpikir yang bukan-bukan, yang penting kamu sehat”.

Hanya itu saja kata-kata terakhir istrinya, yang terbaring di ranjang, ranjang yang pertama kali ditiduri bersamanya, tigapuluh tahun yang lalu, ranjang pengantin yang menjadi saksi gelora gairah di malam pertama dan di saat-saat kemudian telah mencatat bermacam adegan dan peristiwa dan menyimpannya sebagai riwayat. Begitu selesai berkata, istrinya diam, tak bergerak, kedua tangannya terlipat di dada.

Dan kemudian ia seperti mendengar suara;’bojomu wis ditunggu ibu-ibune nang swarga; ditunggu ibune, ditunggu mertuwane, ditunggu budhene; wis disediyani swarga’. Ia tergeragap, seakan terbangun dari tidur, mencari arah suara, tak ada orang lain, kecuali dirinya di ujung kaki istrinya, anaknya mbarep di sisi kanan ibunya, dan anaknya yang nomor dua, lelaki satu-satunya, di sisi kiri ibunya. Lalu suara siapa itu, yang baru saja didengarnya, yang mengatakan,‘isterimu sudah ditunggu ibu-ibunya di sorga; ditunggu ibunya, ditunggu mertuanya, ditunggu budhenya; sudah disediakan sorga’.

"Kok mung tekan semene Bu," spontan, hanya itu yang keluar dari mulutnya, begitu melihat istrinya diam untuk selama-lamanya. Ketika itu. ia tak pernah menduga, kok hanya sampai di sini istrinya mendampinginya. Meninggalkannya untuk selama-lamanya, hanya dalam sakit dua hari saja.
***
Sejak itu ia merasa kesepian; serasa pisau yang runcing tajam, kesepian menikam dalam dan sepertinya sulit sekali dicabut dari rasa hatinya, sepanjang hari-harinya. Impian yang dibangun selama ini, serasa runtuh, luluh-lantak, hanya meninggalkan puing-puing dan tak mungkin untuk dibangunnya kembali.

Selama ini ia dan istrinya sering membayang-bayang dan merancang-rancang, kalau pensiun kelak, ketika tinggal berdua, anak-anak telah menjadi orang tua; mengunjungi anak cucu, berkunjung ke teman-teman lama, silaturahmi ke sanak kerabat. Ah, betapa bahagianya.
***
Kini ia sudah pensiun; beberapa temannya menawari untuk mengajak usaha bersama; berdagang. Tak pernah terlintas dalam pikirannya tentang dagang, karena memang tak bisa dagang tak pernah dagang. Ada juga yang nawari calon istri; “Biar kamu tak kesepian; tak selalu mengingat-ingat yang telah pergi, dan nanti kalau anak-anak sudah berumah tangga, misah semua, ada yang ngrumati”. Begitu kata temannya membujuk; juga suadara-sadaranya, mendorongnya untuk mencari sisihan baru.
Ia tak banyak komentar menanggapi saran teman dan saudaranya agar nikah lagi; “Gampang nanti”, hanya itu selalu jawabnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk nikah lagi. Di samping tak mau repot ketika ngunduri umur-semakin tua punya anak lagi, juga merasa sulit untuk melupakan istrinya.

Tak kurang tiga puluh tahun bersama, baginya bukan waktu yang singkat untuk begitu saja bisa melupakan almarhumah istrinya, yang semasa hidupnya telah menjadi teman loro-loponya, yang setia mendampinginya bersama jatuh bangun dengan sepenuh hatinya, dengan keiklasan cintanya, bersama-sama membangun keluarga, membesarkan anak-anak tanpa banyak tuntutan, tak bermacam keinginan sampai saat kematiannya.

Kuburan kini yang menjadi salah satu bagian kegiatan dari sisa hari-harinya. Setiap minggu paling tidak dua kali, yang sering tiap Senin dan Kamis, sehabis ashar sampai menjelang maghrib, malah terkadang sampai malam hari ia ziarahi kubur istrinya.
Kalau ke kubur istrinya ia akan berjalan-jalan di area kuburan, melihat-lihat sambil sesekali berhenti sejenak pada beberapa makam, membaca tulisan yang ada di nisan; apakah itu nisan kayu atau nisan batu.

Dibacanya nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera di nisan. Dan ia akan berkata sendiri ketika melihat makam yang sepertinya tak lagi terawat, dalam rimbun ilalang. ”Di mana sanak kerabatnya? Mungkinkah sudah tak ada lagi atau telah lupa dengan si mati?”

Kalau kebetulan menemukan kubur baru, ia agak lama berada di kuburan itu, sambil membayangkan perasaan orang-orang yang ditinggal mati. Ia ingat pada awal-awal setelah kematian istrinya; pikiran serasa kosong, seperti bingung kalau di rumah; keluar masuk, tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Merasa ada yang hilang, dan ingin dicari tapi tak tahu mesti ke mana mencarinya. Juga seperti ada yang pergi, muncul rasa rindu, ditunggu, siapa tahu kembali. ”Pasti yang ditinggal merasa sangat kehilangan, betapa sedihnya”, begitu selalu gumamnya.
Dan terkadang ia merenung ketika membaca di nisan umur si mati yang masih muda; ”Kenapa mesti dilahirkan kalau masih muda sudah dipanggil kembali; tetapi kenapa ada yang sudah berumur lanjut, renta tak lagi bisa apa-apa, sepertinya tak lagi berguna, masih diberi hidup? Apa yang Kau kehendaki Gusti?”

Dan terkadang bertanya pada diri sendiri ketika melihat makam dalam cungkup yang dibangun megah; ”Benarkah dulu ia mencintai sepenuh ketulusan hati pada si mati ketika masih hidup, seperti tulisan di nisan ini. Apa yang dapat dirasakan si mati dengan cungkup semegah ini?”

Ketika di kuburan istrinya sehabis berdoa dia selalu bertanya,”Sudah sampai di mana perjalananmu Bu?”, dan juga mengabarkan keadaan anak-anaknya juga dirinya;”anak-anak baik-baik semua; mereka sudah mandiri, sudah jadi orangtua, dan nampaknya bahagia saja.

Itu semua buah dari pohon kasih sayangmu, keiklasan berkorban seorang perempuan, sebagai istri dan sekaligus ibu. Hanya aku sekarang sendiri, merasa kesepian”.

Sesekali ia kadang merebahkan badan di samping kijing istrinya, searah dengan almarhumah ketika dulu ditidurkan di dasar liang, sambil memandang langit, memandang bintang, memandang bulan, memandang awan, memandang ke kejauhan, dan membayangkan bagaimana rasanya berada di liang kubur.

Ia juga selalu berusaha untuk dapat datang pada setiap ada berita kematian yang sampai kepadanya, yang menimpa salah satu sanak saudara, kerabat, tetangga, atau teman-temannya. Dan selalu, entah sebentar atau agak lama, ia berusaha untuk dapat ikut memikul keranda. Dalam memikul, ia selalu berkata dalam hati;”Di pundak pelayat jasad ditinggikan sesaat, di liang kubur jasad dikembalikan ke asal-usul”.

Bukan hanya memikul. Ia selalu berusaha untuk bisa membantu kayim, ikut nyirami dan merawat jenazah. Ketika ia nyirami selalu bertanya dalam hati; “Apakah bunga dan wewangian ini bisa membersihkan dosa-dosa?”

Dan ketika membantu mengafani, ia berkata sendiri dalam batin; ”Akhirnya hanya lembaran kain kafan yang dipakai dan dibawa ketika kembali pulang ke keabadian.” Dan sesekali, ia ikut menerima jenazah di dalam liang kubur.
Sering tetangganya atau para pelayat yang lain melarangnya;”Sudah sepuh Pak ndak usah, masih banyak yang muda-muda.”
***
Orang-orang mencarinya; “Ke mana ini pak Martabat?” Sebentar lagi jenazah akan diberangkatkan. “Tadi ada di sini; ngobrol-ngobrol denganku,” kata Pak Karso.
“Coba dicari ke kuburan, siapa tahu ada di sana,” selintas kata pak Mardiyo, selaku wakil ketua rt tanpa menunjuk orang; ”biasanya ngecek galian.”

Rasa tanggung jawab yang besar masih juga melekat di dirinya. Meskipun hanya sebagai ketua rt yang sekaligus ketua paguyuban kematian, ia berusaha untuk semuanya berjalan lancar dan beres. Terkadang ia datang sendiri ke kelurahan lapor adanya kematian di lingkungannya, bersama warga lain mengambil keranda yang disimpan di kuburan, dan ngecek sendiri ke tempat kubur yang sedang digali; mengukur panjangnya, mengukur kedalamannya sambil membawakan makanan dan minuman untuk para penggali.

Sampai saatnya pemberangkatan jenazah, belum juga ia kelihatan. Terpaksa pelepasan jenazah dilakukan oleh Pak Mardiyo.
Beberapa puluh meter menjelang kuburan, rombongan iring-iringan jenazah dihentikan oleh dua orang warga yang tadi secara spontan berangkat mencari Pak Martabat di kuburan. Dengan suara yang agak bergetar sepertinya disungkup rasa takut dalam batinnya, ia menemui Pak Mardiyo;”Pak, Pak, Pak Martabat tidur di dalam liang.”

Pak Mardiyo menghentikan iringan sesaat. “Tidur di dalam liang? Apa tidak ada yang tahu sejak tadi?”
“Kata orang-orang yang menggali kubur, setelah menerima nasi bungkus dari Pak Martabat, mereka pergi agak menjauh dari liang kubur mencari tempat yang teduh untuk makan sambil istirahat menunggu jenazah, tak begitu memperhatikan terus ke mana Pak Martabat”, hampir bersamaan kedua orang itu menjawab.

Pak Mardiyo sesaat berunding dengan beberapa warga; tak lama beberapa warga itu bergegas langkah mendahului ke kuburan; iring-iringan jenazah kembali berjalan dengan pelan.
***
Beberapa warga saling berpandangan di bibir liang kubur. Kemudian kembali saling mengarahkan pandang ke dalam liang. Melihat di dasar sana Pak Martabat dalam posisi seperti lazimnya jizim yang dikubur.

Miring sedikit tengkurap menghadap ke salah satu dinding liang, hidungnya mencium dasar, ujung-ujung jari kakinya mancal-menjejak tanah.

Hampir bersamaan beberapa warga yang di atas, di bibir liang kubur, beberapa kali memanggil-manggilnya, ”Pak, Pak, Pak Martabat, bangun Pak, bangun.” Tak ada sahutan, juga tak ada sedikit pun gerak dari tubuh Pak Martabat sebagai jawaban.
Iring-iringan jenazah semakin mendekati liang kubur. Orang-orang yang di sekitar bibir liang kubur belum ada yang bertindak; masih saling berpandangan dan sesekali saling memandang ke dalam liang, dan memandang ke arah iringan jenazah yang semakin mendekat.

Tidak ada komentar: