Tamu laki-laki
Yang dianggap biasa dan sudah menjadi kebiasaan
keseharian adalah menerima tamu laki-laki saat suaminya tidak di rumah. Karena
memang sudah menjadi biasa sehingga tidak ada rasa yang salah bila hal tersebut
dilakukan. Padahal wanita bersuami mempunyai tanggung jawab yang berat, salah
satunya adalah menjaga rumahnya saat
suaminya pergi. Yang dimaksud di dini
adalah tanpa ijin dan sepengetahuan suami, meskipun itu teman kantor atau teman
sekolahnya yang sudah lama tidak bertemu dan kebetulan sedang berada di kota
atau daerahnya. “Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang
dahulu.”(Al-Ahzab: 33)
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS.
An Nisa’: 34)
Dalam hadist disebutkan “Sabda Rasulullah saw., “Wanita (istri) terbaik ialah jika engkau
melihat kepadanya, ia menyenangkanmu. Jika engkau menyuruhnya, ia taat
kepadamu. Jika engkau pergi darinya, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan
menjaga hartamu.”(HR
Muslim dan Ahmad).
Demikian ketaatan istri yang menjadi tuntutan syariat,
sampai-sampai rasululloh bersabda ‘
لَوْ كُنْتُ
آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ
لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya
aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan
memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan
begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud
Bahkan ketaatan seorang istri pada suami termasuk
sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’ Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa
sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari
perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita
yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja
yang engkau suka.” HR. Ahmad
Dari beberapa dalil tersebut di atas-Al-Qur’an dan Al
Hadist, maka tentu menerima laki-laki ke rumahnya termasuk yang dilarang, dan
termasuk istri yang tidak bisa menjaga amanah Rasululloh Saw. Kecuali atas ijin
dan sepengetahuan suaminya, namun demikian sebaiknya tidak ia lakukan. Pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita
(istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah
dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak
kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak
kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” HR. Muslim
Dari beberapa dalil tersebut di atas, dapat diamnil
hikmah pelajaran, kenapa menerima tamu laki-laki tidak boleh, kecuali atas
seijin suami, sebab menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan
kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu
kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan
ibadah yang sifatnya sunnah.”
Dan banyak laggi yang lainnya yang termasuk kewajiban istri
atas suaminya, yang secara ringkas dapat disampaikan antara lain sbb’
Mentaati perintah suami, Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang
membuat suami benci, itulah sebaik-baik
wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي
تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami
jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga
membuat suami benci” HR. An-Nasai
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di
neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya
pernah datang ke tempat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan
tersebut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi.
Ia menjawab, “Aku tidak pernah
mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Lihatlah di
mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga
dan nerakamu.” HR. ahmad
Taat pada suami ketika
diajak ke ranjang, Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا
الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang,
lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu
Shubuh” HR. Bukhari dan Muslim . Dalam riwayat Muslim disebutkan
dengan lafazh,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى
عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى
عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri
menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada
istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim
no. 1436)
Tidak berpuasa sunnah ketika
suami ada kecuali dengan izin suami, Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita
tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin
suaminya . Dalam hadits yang muttafaqun
‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah
halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari . Dalam lafazh
lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ
الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh
seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada
(tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud
Demikian dan perlu diingat bahwa untuk melaksanakannya
sangatlah berat, disamping kemodrenan yang menuntut kesamaa gender, juga Setan
bernama “Dasim” yang tugasnya membujuk seorang isteri agar tidak taat kepada suami dengan berbagai
alasan untuk membenarkan perbuatan keliru meskipun sudah jelas bahwa perbuatan tersebut
dilarang oleh Quran dan Hadist. Wallohu’alam, mr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar