Seperangkat alat sholat
Entah kapan awalnya, menikah dengan mas kawin seperangkat alat sholat, yang pasti sering dijumpai saat ijab kabul dengan ucapan seperangkat sholat dibayar tunai. Maksudnya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin atau mahar, yang diberikan pihak laki-laki kepada pinangannya saat akad nikah, kendatipun itu bagian dari mas kawin lainnya. Tujuannya adalah disamping menunjukkan lebih Islami, juga sebagai kepatuhan dalam beribadah-sholat- kelak bagi istri. Yang kurang disadari adalah bahwa semuanya akan berjalan lancar dan menjadi tanggung jawab suami, bila suami tidak bisa membimbingnya, tentu seperangkat alat sholat akan menjadi sia-sia, dan membuahkan dosa bagi suami. Karena tanggung jawab tersebut menjadi kewajiban suami, kepada suamilah seorang istri melaksanakan sholat atau tidak. Terlebih bila seperangkat alat sholat tersebut hanya tersimpan di lemari dengan bungkusan yang rapi sejak nikah dan tidak pernah tersentuh.
Karena sesungguhnya saat calon suami mengucapkan ‘ saya terima nikah dan kawinnya fulan bt fulan dengan seperangkat alat sholat’ maka sejak itu sholat istri menjadi tanggung jawabnya. Ada tugas baru bagi suami untuk mengajarkan sholat bagi istrinya yang disimboli dengan pepberiannya tersebut. Selanjutnya ia bertanggung jawab juga untuk menjaga sholat istrinya dengan terus mengingatkannya dan membimbingnya supaya tidak melewatkan kewajiban yang satu ini. Karena sholat adalah amalan pertama kali yang akan dihisab pada yaumul hisab kelak.
|
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. [QS At Tahrim: 66:6]
|
|
” Selebihnya yang patut menjadi catatan adalah bahwa mahar berupa seperangkat alat sholat merupakan hadiah yang kurang bernilai. Karena mahar pada hakekanya memperian suami kepada istrinya saat nikah yang seterusnya menjadi hak istri berbentuk harta yang bernilai. Makanya dalam catatan sejarah, diketemukan seseorang diperbolehkan menikahi budak bila ia tidak mampu memberi mahat kepada wanita merdeka saat itu. Pengertian tidak mampu disini menunjukkan bahwa mahar merupakan harta yang mempunyai nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbul seperti seperangkat alat sholat, atau semacamnya yang secara nominalnya kurang mempunyai harga.
Saat ini, hal inilah yang banyak terjadi yang kurang dipahami secara cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Ada yang memberikan mahar dengan uang sejumlah tanggal kelahiran atau semacamnya. Bila jumlah nominalnya cukup banyak dan bernilai tentu tidak jadi masalah, tapi bila Cuma sekedar menyamakan dengan tanggal dan bulan kehairan semata, dan tidak cukup punya nilai, tentu kurang tepat. Padahal mahar*1 itu bisa diartikan sebagai nafkah awal bagi istri sebelum nafkah selanjutnya diberikan suami bagi istri.
Dengan demikian sangat wajar bila seorang wanita
meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya
uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan,
perusahaan atau benda berharga lainnya. Sedang seperangkat alat shalat, tentu saja nilai
nominalnya sangat rendah, kurang wajar bila calon suami hanya memberi mahar seperti
itu kepada calon istrinya. Namun demikian tidak lantas wanita muslimah meminta
dengan permintaan selangit, yang tidak dipunyai oleh calon suami.
Jadi mahar harus mempunyai nilai, memang tidak ada ukuran untuk
mahar, namun semua yang bisa digunakan untuk membeli atau layak dibeli, atau
bisa digunakan untuk upah, semuanya boleh dijadikan mahar. Jika nilainya sangat
sedikit, sampai pada batas tidak lagi disebut harta oleh masyarkat, maka tidak
bisa disebut mahar, seperti nikah tahun 2014, dengan sebutan mahar dua ribu
empat belas rupiah, dst"Kawinilah mereka dengan seijin keluarga mereka dan
berikanlah mas kawin mereka sesuai dengan kadar yang pas" (Q.S. al-Nisa':
25). والله أعلم
------mr----------------
*1. Mahar adalah hak istri. Jadi, si istri berhak menentukan
mahar apa yang harus diberikan calon suaminya bila ingin memperistrinya. Ketika
sudah diberikan maka mahar tersebut menjadi hak prerograif sang istri dan tak
siapapun yang boleh mencampurinya. Imam As-Syafii
mengatakan, Minimal yang boleh dijadikan mahar adalah harta ukuran minimal yang
masih dihargai masyarakat, yang andaikan harta ini diserahkan seseorang kepada
orang lain, masih dianggap bernilai, layak diperdagangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar