Menikahi hapus dosa zina
Di oretan sebelumnya sempat ditulis berkaitan sah tidaknya menikah saat
hamil, artinya menikahi perempuan yang
dihamilinya. Kali ini akan mengungkap masalah dosa zina, apakah perbuatan
tersebut yang dosanya sangat berat dapat dihapus dengan menikahinya-perempuan
yang dizinahi.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [An-Nur : 2]. Hal ini juga disebutkan dalam banyak hadits, antara lain. Rasulullah saw bersabda : “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata, Umar bin Al-Khaththab berkata, -sedangkan beliau duduk diatas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa al-haq, dan menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang-orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi), atau terbukti hamil, atau pengakuan” (HR. Bukhari-Muslim).
Lebih dari itu, setiap orang yang melakukan perbuatan
dosa, dia diwajibkan untuk bertaubat. Dan cara yang diajarkan oleh islam untuk
menghapus dosa besar adalah dengan bertaubat. Allah berfirman,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ
نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa
yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).
(QS. An-Nisa: 31).
Ayat ini menjelaskan, syarat dihapuskannya kesalahan
adalah bertaubat, dengan meninggalkan dosa yang dilakukan. Taubat secara bahasa
artinya kembali. Orang yang bertaubat, berarti dia kembali dari kemaksiatan,
menuju aturan Allah, diiringi memohon ampun kepada-Nya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa menikahi
perempuan yang dizinahi tidak lantas menghapus dosa zina. Karena dosa zina bisa
dihapus dengan cara bertaubat. sedang
pernikahan tersebut hanya sekedar dapat menghapus aib, dalam rangka menutupi
aib keduanya, dan kedua keluarga besar akan harga diri mereka. Apalagi bagi
yang terpandang di masyarakat hat itu sangat memalukan keluarga, oleh karenanya
sebelum banyak yag tahu, maka kedua anak yang melakukannya dinikahkan. Bahkan
bukan hanya demikian, bila laki-lakinya tidak bertanggung jawab atau
pergi-menghilang, biasanya pihak keluarga perempuan mencarikan lagi-laki lain
yang mau menikahinya. Tentu saja atas kesepatakan keduanya, agar tidak timbul
masalah setelah menikah atau setelah berkeluarga.
Hadits dari Nu’aim bin Hazzal : “Ma’iz bin Malik adalah seorang yatim dibawah asuhan bapakku. Lalu dia menzinahi seorang budak dari suku itu. Maka bapakku berkata kepadanya, “Pergilah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beritahukan kepada beliau apa yang telah engkau lakukan. Semoga beliau memohonkan ampun untukmu”.Bapakku menghendaki hal itu karena berharap Ma’iz memperoleh solusi. Maka Ma’iz mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku”. Lalu beliau berpaling darinya.Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata, ““Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku”. Maka beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata, ““Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku”. Sampai dia mengulanginya empat kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah mengatakannya empat kali. Lalu dengan siapa ?. Dia menjawab, “Dengan si Fulanah”. Lalu beliau bersabda, “Apakah engkau berbaring dengannya?”. Dia menjawab, “Ya”. Lalu beliau bersabda, “apakah engkau menyentuh kulitnya?”. Dia menjawab, “Ya”. Lalu beliau bersabda, “Apakah engkau bersetubuh dengannya?”. Dia menjawab, “Ya”. Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Kemudian dia dibawa keluar ke Harrah [11]. Tatkala dia dirajam, lalu merasakan lemparan batu. Dia berkeluh kesah, lalu dia keluar dan berlari. Maka Abdullah bin Unais menyusulnya. Sedangkan sahabat-sahabatnya yang lain telah lelah. Kemudian Abdullah mengambil tulang betis unta, lalu melemparkannya, sehingga dia membunuhnya. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakanya kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima tuabtanya!?” [Hadits Riwayat Muslim dan lainnya]
Dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya!?” Menunjukkan gugurnya dosadari orang yang bertaubat. Tentu dengan taubatan nasuha dengan rukunnya anatara lain:
Pertama, al-Iqla’ (Meninggalkan dosa yang ditaubati), Inilah bukti keseriusan taubatnya. Meninggalkan dosa yang dia lakukan. Seorang pezina belum dikatakan bertaubat dari zina, sementara dia masih rajin berzina. Imam Fudhail bin Iyadh menyatakan’ “Istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.”
Kedua, an-Nadm (Mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya), Orang yang tidak mengakui dosanya, dia tidak akan menyesali perbuatannya. Dengan menyesal, dia akan bersedih jika teringat dosanya. Termasuk bagian dari penyesalan itu adalah tidak menceritakan dosa tersebut kepada orang lain, apalagi membanggakannya. Dan jika dosa itu dipicu karena komunitas dan lingkungan, dia akan meninggalkan lingkungan komunitasnya. Dan bentuk penyesalan pezina adalah dengan menghindari segala yang bisa memicu syahwatnya.
Ketiga, al-Azm (Bertekad untuk tidak mengulangi dosanya), Jika seseorang berhenti dari dosanya, sementara dia masih punya harapan untuk melakukannya jika waktu memungkinkan, maka dia belum disebut taubat. Seseorang yang bertaubat dari pacaran ketika ramadhan, dan akan kembali pacaran usai ramadhan, belum disebut bertaubat. Wallohua’alam-mr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar