Minggu, 27 Juli 2014

Nyoblos pemimpin



Nyoblos pemimpin

Di pengajian rutin bulan Mei 2014 komunitas bangil di Pamulang, Tangsel dijelaskan mengambang ketika ada pertanyaan  mengenai begaimana muslim menyikapi pilpres. Disampaikan bahwa pilihan untuk pemimpin diserahkan seseorang bagaimana ia menyikapinya, bahkan disampaikan golputpun merupakan pilihan. Secara umum paparan yang disampaikan kelihatan mengambang dan tidak punya sikap  karenanya tidak siap untuk menjawabnya.

Teman duduk disamping yang kebetulan tetangga penyelenggara,  berbisik katanya tidak tegas, atau takut, mestinya ia menjelaskan bagaimana Islam mengatur tentang kepemimpinan dalam Islam, kaitan dengan hal pertanyaan ia mestinya menjelaskan bagaimana seorang muslim dalam memilih pemimpinnya ya harus muslim. Ada aturannya menurut Islam, soal  apakah ia akan mentaatinya atau tidak itu terserah, kembali kepada pribadi masing-masing. Apakah ia termasuk muslim yang akan menjalani aturan Islam dalam memilih pemimpin atau tidak, atau sebaliknya mengikuti arus keadaan dan kondisi yang berlangsung.

Tapi yang jelas bahwa seseorang-muslim,  keberadaannya dibumi dari yang pertama hingga yang terakhir adalah seorang pemimpin, setidaknya ia adalah seorang pemimpin bagi dirinya sendiri, atau keluarganya. Karena itu menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawabannya. sabda Rasulullah saw., Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dalam Islam, keberadaan seorang pemimpin menjadi sangat penting, khususnya dalam mengurus pemerintahan wajib hukumnya. Dalam babakan sejarah diriwayahkan, Rasulullah Saw adalah pemimpin saat itu, sepeninggalannya diterus oleh para sahabat dengan sebutan khulafaurrasyidin, dan terus oleh umayyah-Abasiyah. Bahkan  bukan dalam hal kenegaraan, dalam urusan yang kecilpun diperlukan pemimpin, seperti seseorangdalam bepergiannya, dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Abu Hurairah dinyaatakan bahwa, jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi pemimpin. Dari hadits tersebut dapat dikatakan bahwa jika dalam perkara bepergian  saja telah diwajibkan memilih pemimpin, apalagi dalam perkara memilih pemimpin kenegaraan, jauh lebih wajib lagi.
Allah melalui Rasul-Nya telah memberikan contoh bagaimana cara memilih pemimpin dalam sistem Islam. Yang pertama adalah muslim wajib memilih pemimpinnya dari yang seiman segolongannya sendiri, bukan memilih dari orang tidak seagama untuk mempimpinnya. Dalam perspektif syariat,  kondisi masyarakat bukanlah dasar untuk menentukan status hukum suatu perkara. Artinya bagaimana pun kondisinya Al-Quran dan Sunah Rasulullah tatap harus dijadikan sebagai pijakan.  Sebagai contoh  suatu desa sebagaian besar masyarakatnya tidak melaksanakan shalat, keadaan tersebut bukan berarti hukum shalat berubah menjadi tidak wajib. Shalat tetap wajib hukumnya bagaimanapun kondisinya. 

Jadi suatu keharusan bila seorang muslim memilih muslim sebagai pemimpinnya. Kalau kedua calon sama-sama buruk, satu diantara dua tersebut yang buruk tersebut pasti ada yang lebih baik, dan dia yang dipilih. Namun tentu idealnya seorang pemimpin itu harus memiliki sipat  Sidiq(jujur), Tablig(menyampaikan), amanah(dapat dipercaya), fatonah(cerdas)

Nabi tercinta, Muhammad SAW, digelari al-Amiin karena sifat jujurnya yang menjadikan diri beliau sangat bisa dipercaya.
Karena jujurnya beliau, Khadijah menjadikannya suami tercinta. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda,’’Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu mengantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” HR Bukhari

Tablig, artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia, harus disampaikan. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung Nabi.

لِّيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا۟ رِسَٰلَٰتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَىْءٍ عَدَدًۢا
Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” [Al Jin 28

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allah S.80:1 turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah saw. sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling daripadanya dan tetap mengahadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Ayat ini (S.80:1-10) turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saw. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah
Amanah- artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban) Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Fathonah- artinya Cerdas. Seperti diteladani Rasul Saw, beliau dapat  menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an  kemudian dilanjutkan dengan  menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits. Begitu halnya dengan pemimpin, ia harus bisa menjelaskan aturan dan rencana pemerintahan dan dapat melaksanakannya dengan baik sesuai target dan tujuan pencapaiannya.
Dalam kaitan ini Rasulullah Saw mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang barbar dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa. Negara tersebut membentang dari Spanyol dan Portugis di Barat hingga India Barat. 

Jadi muslim wajib memilih pemimpinnya yang muslim juga, selanjutnya semua berpulang kepada dirinya sendiri, apakah ia akan taat atau tidak dengan melihat kondisi yang ada. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Akhirnya siapapun yang terpilih, semuanya patuh tidak ada alasan untuk membelakanginya, Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa 59). 

Tidak ada komentar: