Minggu, 02 November 2008

Nikmatnya Menjadi Pelayan Masjid Nabawi

Nikmatnya Menjadi Pelayan Masjid Nabawi

By Republika Contributor
Nikmatnya Menjadi Pelayan Masjid Nabawi
Udara di sekitar Masjid Nabawi masih terasa dingin pada dinihari menjelang salat subuh. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Afifudin, karena itu dia tetap berjalan berulang-ulang sembari membersihkan mesjid yang dibangun Nabi Muhammad SAW itu.

"Saya baru tiga bulan bekerja di Masjid Nabawi, tapi teman-teman dari Indonesia cukup banyak," ucap Afifudin yang berasal dari Pandeglang, Jawa Barat.

Menurut bapak seorang anak itu, ada sekitar 700-an WNI (Warga Negara Indonesia) dari sekitar 3000 orang "pelayan" mesjid yang dibangun pada 662 M.

"Gaji sebagai tukang bersih Tanah Haram (Mesjidilharam dan Masjid Nabawi) dari keluarga Bin Laden, hanya cukup untuk makan-minum dan ke sana kemari," tuturnya.

Namun, katanya, sejumlah jemaah Masjid Nabawi yang salat kadangkala memberikan tips kepada para "pelayan" mesjid yang dibangun setelah nabi hijrah dari Makkah ke Yasrib (Madinah). "Karena itu, saya juga dapat mengirimkan uang ala kadarnya buat anak dan isteri di Tanah Air," katanya.

Kendati demikian, ia mengaku ada keuntungan lain menjadi "pelayan" Tanah Haram. "Keluarga Bin Laden juga tahu kalau orang-orang Indonesia yang bekerja di Tanah Haram itu mempunyai tujuan untuk ibadah haji dan umroh. Itu berbeda dengan 'pelayan' Tanah Haram dari negara lain yang semata-mata mencari uang," ungkapnya.

Afifuddin tidak sendirian, mengingat banyak WNI yang bekerja seperti dirinya, baik sebagai pembersih lantai, pembersih mushaf Alquran, penyedia air zamzam di dalam mesjid, pengatur karpet untuk salat, penjaga toilet mesjid, dan sebagainya.
Bahkan, WNI yang bekerja di Mesjidilharam (Makkah) terlihat lebih banyak jumlahnya hingga mencapai 1.000 orang lebih dari sekitar 5.000-an pekerja.

Umroh berkali-kali

Pengakuan yang sama juga dikemukakan pekerja yang membersihkan Mesjidilharam yang sudah enam bulan bekerja, Abdullah, yang berasal dari Mataram, NTB.

"Pekerja di Tanah Haram itu dari banyak negara, seperti Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh," tegasnya.
Ia mengaku dirinya memanfaatkan masa kerja untuk melaksanakan "haji kecil" (umroh) pada bulan Ramadan, sedangkan "haji besar" pada musim haji (Dzulhijjah).

"Gaji sebagai tukang bersih Tanah Haram dari keluarga Bin Laden hanya cukup untuk biaya hidup yang sehari-hari memang mahal, karena itu hanya bisa kirim sedikit ke Tanah Air, tapi keluarga memaklumi dan bahkan senang, karena dirinya bisa haji dan umroh berkali-kali," katanya, tersenyum.

Barangkali, pengakuan Afifuddin dan Abdullah itu ada benarnya, karena itu orang Indonesia yang ingin bekerja di Tanah Haram terus bertambah.

"Saya sering mengirim orang Indonesia untuk bekerja di Tanah Haram, bahkan setiap minggu selalu ada pesawat terbang yang mengangkut pekerja Indonesia kemari," kata perwakilan pengerah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Tanah Suci, Muhdor.

Pengerah TKI asal Pasuruan, Jawa Timur itu mengaku TKI yang datang ke Tanah Suci umumnya memang menjadi "tenaga kasar." "Ada yang menjadi sopir, pelayan mesjid, dan tenaga kasar lainnya, sedangkan untuk menjadi perawat atau staf di perhotelan agaknya masih sangat sedikit, karena kendala bahasa," ujarnya.

Namun, ia membenarkan WNI yang bekerja di Tanah Haram umumnya memang mempunyai target yang lebih dari sekedar bekerja yakni haji dan umroh. "Bahkan, pelayan Masjidilharam dan Masjid Nabawi yang tidak ada waktu untuk haji atau umroh karena giliran kerja yang ketat justru rela mencari badal (pengganti)," katanya.

WNI umumnya mau memberikan separo gajinya kepada "pelayan" Masjid Nabawi dan Masjidilharam dari negara lain untuk sekedar bisa menunaikan ibadah haji dan umroh. "Itulah enaknya (haji/umroh), sekalipun harus membayar orang lain,"

Tidak ada komentar: