Minggu, 21 September 2008

Mengemis, Antara Tradisi dan Perjuangan Hidup

Mengemis, Antara Tradisi dan Perjuangan Hidup

Menjelang hari raya Idulfitri, pengemis mulai berdatangan ke Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Mereka datang dari berbagai daerah dan pelosok desa di Pamekasan, bahkan tidak sedikit dari luar kota Pamekasan. Seperti desa Jaddung kecamatan Pragaan kebupaten Sumenep.

Kedatangan mereka itu bukan hanya sendirian, tetapi secara berkelompok. Bedanya, para pengemis ini, tanpa komando pimpinan. Mereka hanya mengandalkan kekompakan karena senasib dan sepenanggungan.

Seolah sudah mengerti tempat-tempat yang harus didatangi, begitu sampai di sekitar monumen Arek Lancor Pamekasan, para pengemis yang umumnya dari kaum perempuan ini langsung memisahkan diri.

Ada yang mengemis di depan toko pakaian, supermarket, toko elektronik bahkan ada pula di depan ATM dan kantor pos. "Kalau bulan puasa dan mendekati hari raya lebaran seperti ini, hasilnya lumayan banyak pak," kata Sumi (58), pengemis asal desa Larangan Tokol kecamatan Tlanakan Pamekasan.

Pengemis yang biasa meminta-minta di depan toko Kurnia Farma jalan Jokotole ini mengaku, sejak bulan Ramadan ini pendapatannya dari mengemis meningkat. Jika sebelumnya hanya dalam kisaran Rp.5000 dalam sehari, saat ini mencapai Rp.10.000, hingga Rp.15.000 per-hari.

Hal yang sama juga diakui Marsiha, dari desa Bukek kecamatan Tlanakan Pamekasan. Meski tidak mengaku jumlah uang yang diperoleh dalam sehari, tapi perempuan berambut putih ini mengaku memang lebih banyak dibanding hari-hari biasanya. "Lumayan banyak dibanding biasanya. Soalnya banyak berbelanja," katanya.

Menunggu di depan toko dan supermarket sebagaimana dilakukan pengemis Sumi dan Marsiha, ternyata hanyalah salah satu cara para pengemis ini untuk mendapat rupiah yang lebih banyak mendekati hari raya Idulfitri.

Namun, tidak sedikit diantara mereka yang langsung datang ke rumah-rumah warga untuk mendapatkan uang lebih dalam menyambut hari raya Idulfitri nanti. Seperti yang diakui Lilik (24) warga desa Murtajih, kecamatan Pademawu Pamekasan.

Sejak memasuki hari ke-10 bulan Ramadan, tidak kurang dari lima orang pengemis datang ke rumahnya dengan berbagai jenis kelamin. Baik laki-laki ataupun perempuan. "Jam 8 pagi itu sudah ada orang yang panggil salam ke rumah. Pokoknya hilir-mudik secara bergantian, sejak bulan Ramadan. Apalagi mendekati lebaran. Itu sudah biasa sejak dulu," katanya.

Banyaknya para pengemis yang datang ke pusat-pusat perbelanjaan di Pamekasan menjelang hari raya Idulfitri ini, karena mereka menganggap di kota bisa mendapatkan rupiah lebih dibanding tempat-tempat lain dimana bisanya mereka meminta minta.

Seperti diakui Salimin, pengemis asal desa Proppo Pamekasan. "Biasanya setiap hari saya di pesarean Batuampar di Proppo. Tapi sekarang di sana sepi pengunjung. Makanya kami ikut teman-teman ke sini".

Terpaksa Demi Sesuap Nasi

Mengemis sebagaimana dilakukan Sumi, Marsiha dan Salimin, terpaksa ia lakukan. Selain karena sudah tidak memiliki lahan untuk bertani, usia dan sudah tua tanpa sanak famili menjadi alasan utama mereka berbuat seperti itu.

Sumi, misalnya. Di usianya yang sudah mendekati senja itu, ia hanya hidup sebatang kara di desa Larangan Tokol kecamatan Tlanakan.

Kondisi ekonomi yang serba kekurangan ditambah lagi anak cucunya dan merantau sejak puluhan tahun lalu dan hingga kini tidak pernah kembali membuat ia nekat menjadi seorang peminta-minta.

Di bawah gubuk berukuran 3x3 meter yang menjadi tempat tidur yang sekaligus dapurnya itu Sumi menjalani sisa hidupnya. "Kalau saya memiliki lahan untuk bertani saja, mengapa saya harus mengemis. Ini semua karena terpaksa saya lakukan," katanya.

Untuk menjadi buruh tani sebagaimana tetangganya, Sumi mengaku hal itu tidak mungkin ia lakukan karena tenaganya sudah tidak kuat seperti dulu lagi. "Kalau saja ada yang mengajak menjadi kuli, saya mau saja. Tapi siapa yang mau mempekerjakan orang tua seperti saya ini," tuturnya.

Mengemis karena tradisi

Alasan mengemis seperti yang disampaikan Sumi, mungkin menjadi pembenaran bagi seseorang menjadi peminta-minta. Tapi tidak semua pengemis memiliki alasan yang sama. Ada pula karena faktor tradisi atau kebiasaan.

Seperti yang disampaikan Mustain, warga desa Jaddung kecamatan Pragaan kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur. "Saya termasuk anak yang beruntung. Karena kedua orang tua mau memondokkan saya di pondok pesantren. Kalau tidak maka saya akan sama dengan tetangga menjadi pengemis," katanya.

Menurut dia, di wilayah kecamatan Pragaan kabupaten Sumenep itu mengemis bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi sudah menjadi tradisi secara turun temurun.

"Saya tidak tahu bagaimana asal mulanya. Yang saya ingat sejak kecil, di rumahku itu mengemis sudah menjadi kebiasaan. Mereka bukan karena tidak mampu, tapi justru banyak yang mampu, juga mengemis dengan berbagai alasan," katanya.

Bahkan, kata Mustain, di desa Jaddung kecamatan Pragaan itu ada tradisi seorang menantu harus mengemis minimal selama tiga bulan sebelum memiliki anak keturunan. Mereka tidak hanya mengemis di wilayah kabupaten Sumenep, tapi tiga kabupaten lain di Madura, seperti Pamekasan, Sampang dan wilayah kabupaten Bangkalan.

Di Pamekasan, pengemis pendatang dar luar kabupaten umumnya memang mengaku dari wilayah Pragaan kecamatan Pragaan. Mareka bukan hanya kaum tua, tapi banyak punya masih muda dan kuat bekerja. "Bagi kami fenomena semacam ini sudah menjadi penyakit sosial di masyarakat yang perlu segera diselesaikan. Sebab jika dibiarkan tradisi malas dengan mengemis ini nantinya justru akan berkembang pesat di Madura," kata ketua organisasi kepemudaan yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pamekasan Sulaisi Abdurrazak.

Menurut anggota komisi D DPRD Pamekasan Khairul Kalam, selama ini Pemkab memang belum memperhatikan secara serius tentang fenomena mengemis karena menganggap hal itu sudah biasa. Tapi ke depan, menurut Khairul, mereka perlu mendapat perhatian khusus. "Saya rasa perlu ada semacam pembinaan ke depan. Memang sebagian diantaranya itu karena terpaksa. Tapi kenyataannya tidak sedikit para pengemis itu karena malas. Dan ini perlu ada koordinasi intensif antara Pemkab di Madura," katanya.

Menurut dia, fenomena mengemis bukan hanya di Pamekasan dan Sumenep tapi sudah merambah hampir semua kabupaten di Madura.mr-kompas

Tidak ada komentar: