Selasa, 30 September 2008

Kebersamaan Idul Fitri 1429 H

Kebersamaan Idul Fitri 1429 H

Dr Susiknan Azhari
Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tiap tahun saat menyambut Idul Fitri umat Islam sering dikhawatirkan dengan perbedaan permulaan jatuhnya awal Syawal versi pemerintah dan versi berbagai organisasi besar Islam. Perbedaan ini timbul karena masing-masing menggunakan metode yang berbeda dalam penentuan awal bulan dalam kalender Hijriah, khususnya dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah.

Ada yang menggunakan hisab (perhitungan) saja, ada yang hanya menggunakan rukyat (pengamatan) saja, ada yang berusaha mengintegrasikan antara hisab dan rukyat. Bahkan, ada yang mencukupkan dengan wiridan dalam kamar untuk mendapatkan ilham.

Hisab
Pada prinsipnya hasil hisab tidak ada artinya tanpa adanya kriteria. Di Indonesia sekurang-kurangnya ada dua kriteria untuk menentukan awal bulan kamariah, yaitu hisab wujudul hilal dan hisab imkanur rukyat. Bagi hisab wujudul hilal awal bulan kamariah terjadi apabila memenuhi tiga unsur, yaitu telah terjadi peristiwa ijtimak (konjungsi), ijtimak terjadi sebelum ghurub (ijtimak qabla al-ghurub), dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset).

Bila ketiga unsur itu terpenuhi maka keesokan harinya dianggap masuk tanggal baru. Sementara itu, imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI awal bulan kamariah terjadi apabila memenuhi empat unsur, yaitu telah terjadi peristiwa ijtimak, ijtimak terjadi sebelum ghurub, tinggi hilal pada saat matahari terbenam minimal 2 derajat, dan umur bulan minimal delapan jam. Bila keempat unsur ini terpenuhi maka keesokan harinya dianggap masuk tanggal baru.

Lalu, bagaimana mengetahui unsur-unsur tersebut? Di sinilah peran penting hisab sebagai metode untuk menginformasikan unsur-unsur dimaksud. Karena itu tidak mengherankan hasil hisabnya sama, tetapi keputusan akhirnya bisa berbeda. Contoh konkretnya sebagaimana yang terjadi pada saat menentukan awal Syawal 1428 H yang lalu.

Untuk kasus awal Syawal 1429 H baik perspektif hisab wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah maupun hisab imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI kesimpulannya sama bahwa 1 Syawal 1429 H jatuh pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2008. Ini dikarenakan hasil hisab kontemporer menunjukkan belum memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan kedua teori tersebut sehingga usia bulan Ramadhan disempurnakan menjadi tiga puluh hari.

Perhatikan data berikut ini : ijtimak terjadi pada hari Senin 29 September 2008 pukul 15.13 WIB, ketinggian hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta –00ยบ 51' 51" (bulan terbenam terlebih dahulu dibandingkan matahari), dan umur bulan = 17.36 – 15.13 = 2 jam 23 menit.

Rukyat
Penentuan awal bulan melalui rukyat pun masih dibedakan atas rukyat lokal dan rukyat global. Pada rukyat lokal hanya mengakui hasil rukyat satu wilayah (wilayatul hukmi). Paham ini dipedomani oleh Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia.

Dalam Ahkamul Fuqaha nomor 369 poin 5b dijelaskan bahwa NU dalam menetapkan awal bulan kamariah khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah menggunakan matlak lokal. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan hasil keputusan Bahsul Masail Muktamar XXX NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, pada 21–27 November 1999 M/13–19 Syakban 1420 H, yang menyebutkan: umat Islam Indonesia maupun Pemerintah Republik Indonesia tidak dibenarkan mengikuti rukyat al-hilal internasional karena berbeda mathlak dan tidak berada dalam kesatuan hukum.

Sementara itu, paham rukyat global diikuti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengakui hasil rukyat dunia. Dengan kata lain di mana pun ada yang berhasil melihat hilal maka wajib diikuti.

Pemahaman itu muncul dikarenakan hadis-hadis yang berkaitan dengan rukyat bersifat umum. Ini menunjukkan bahwa rukyat yang dimaksud adalah rukyat dari siapa saja, sedangkan ikhtilaful matali' (perbedaan matlak) yang digunakan oleh sebagian ulama sebagai alasan untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri merupakan fakta untuk penetapan hukum sesuai dengan perkembangan sosio-historis yang dijumpai oleh ulama terdahulu.

Pada saat itu kaum Muslimin tidak dapat menginformasikan berita hasil rukyat ke seluruh penjuru dunia yang amat luas dalam waktu satu hari karena sarana komunikasi sangat terbatas. Namun, pada saat sekarang sarana komunikasi yang tersedia dapat digunakan untuk menyebarkan berita ke seluruh penjuru dalam beberapa detik, seperti internet, telepon, televisi, dan radio.

Dalam hal ini HTI berkomunikasi secara langsung dengan anggota Hizbut Tahrir lainnya, baik yang berada di Indonesia maupun yang di luar negeri. Sementara itu, untuk menentukan Idul Adha HTI mengikuti Makkah dengan menjadikan wukuf di Arafah sebagai standarnya.

Kaitannya dengan hasil rukyat di Indonesia dan Saudi Arabia, persoalan yang muncul hingga kini para pelaku rukyat belum dapat membuktikan hasil rukyat secara otentik. Selama ini baru sebatas pengakuan yang diperkuat dengan sumpah dan disahkan oleh para hakim/mufti.

Sebetulnya jika hasil rukyat di Saudi Arabia otentik maka akan membantu umat Islam sedunia dalam merumuskan kalender Islam internasional. Hasil penelitian Ayman Kordi, salah seorang ahli falak dari King Saud University, menyimpulkan bahwa selama 40 tahun hasil rukyatul hilal yang diumumkan Pemerintah Saudi Arabia 87 persen salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (Bangla Post, London 18 September 2008).

Berdasarkan kurve rukyat hilal dan pengumumam yang disampaikan oleh Mohammad Syawkat Odeh, pendiri Al-Masyru' al-Islamiy li Rashdi al-Ahillah di Yordania, tertanggal 21 Ramadan 1429 H/21 September 2008 bahwa mayoritas negara-negara di kawasan Timur Tengah akan beridul fitri pada Rabu, 1 Oktober 2008. Keputusan ini didasarkan pada hasil hisab bahwa di Makkah ijtimak terjadi pada hari Senin 29 September 2008 pukul 11.12 waktu setempat (sebelum Dzuhur), bulan terbenam pada pukul 18.04 waktu setempat, dan matahari terbenam pukul 18.12 waktu setempat.

Negara-negara dimaksud di antaranya adalah Saudi Arabia, Mesir, Irak, Kuwait, Qatar, Sudan, UEA, dan Suriah. Begitu pula masyarakat Muslim di London akan berlebaran berdasarkan hasil hisab pada hari Rabu 1 Oktober 2008 sebagaimana disampaikan oleh Qamar Uddin. Libya yang memulai puasa pada hari Ahad 31 Agustus 2008 akan beridul fitri pada Selasa 30 September 2008 dengan berpegang pada teori ijtimak qabla al-fajr.

Selanjutnya, bagi masyarakat Muslim Indonesia yang perlu dicermati adalah pelaksanaan rukyat pada 29 September 2008 di berbagai pos observasi yang ditentukan. Para hakim perlu berhati-hati menerima laporan rukyatul hilal.

Jika para hakim memahami dan konsisten dengan teori imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI, akan menolak hasil rukyatul hilal yang dilaporkan pada saat itu karena belum memenuhi visibilitas hilal. Begitu pula Menteri Agama wajib menolak laporan hasil rukyatul hilal pada sidang isbat nanti jika ada yang mengaku berhasil melihat hilal pada hari Senin 29 September 2008.

Jika langkah ini dapat ditempuh kebersamaan beridul fitri antara pemerintah dan ormas-ormas Islam besar dapat terwujud. Semoga saja itu terjadi.

Ikhtisar:
- Awal Syawal 1429 H yang digunakan Muhammadiyah maupun hisab imkanur rukyat yang dipedomani Depag jatuh pada Rabu 1 Oktober 2008.
- Hasil rukyat yang otentik di Saudi Arabia otentik akan membantu umat Islam sedunia merumuskan kalender Islam internasional.
- Kemungkinan besar Lebaran tahun ini sama.

Tidak ada komentar: