Selasa, 30 September 2008

Mutiara Perjalanan Oleh: Ahmad Tohati

Mutiara Perjalanan

Oleh: Ahmad Tohati

Jauh berjalan, banyak dilihat. Itu pepatah lama. Dalam hidup ini, saya pernah berjalan jauh sampai ke Iowa, sebuah negara bagian di tengah Amerika Serikat. Di sana, banyak yang saya lihat, antara lain pemandangan ini. Suatu pagi, kelihatan seorang perempuan tua tertatih dengan kursi rodanya. Seorang lelaki pejalan kaki melampauinya. Sambil terus melangkah, si pejalan kaki bertanya kepada perempuan tua itu, "Apakah Anda memerlukan pertolongan saya?" Yang ditanya menjawab, "Tidak, terima kasih." Dan, si pejalan kaki berlalu.

Karena saya mengikuti perempuan tua itu, saya bisa melihat hal serupa terjadi sampai tiga kali. Pada kali terakhir, perempuan itu menerima tawaran bantuan karena jalan mulai agak menanjak. Jadilah, seorang pejalan kaki membantunya mendorong kursi roda.

Pengalaman sederhana itu terbayang kembali di hari-hari terakhir ini. Yakni, ketika jalan raya di depan rumah saya mulai dipadati kendaraan para pemudik. Sebagian besar datang dari barat dan lainnya dari timur. Dan, sejak beberapa tahun terakhir, pemudik motor meningkat luar biasa jumlahnya.Nah, para pemudik motor itu!

Rasanya mata kita mulai terbiasa melihat pemandangan yang mengundang simpati. Sering kali, satu motor terlihat begitu sarat beban. Penumpangnya bisa sepasang suami istri plus satu, dua, bahkan tiga anak. Ini belum ditambah dengan barang bawaan yang biasanya tidak sedikit. Dan, mereka harus menempuh perjalanan hingga 400 kilometer, bahkan lebih. Mereka menempuh juga panas matahari, angin, dan mungkin juga hujan.

Sesungguhnya, perjalanan jauh dengan motor adalah hal biasa bila dilakukan dengan wajar, terutama menyangkut jumlah penumpang dan barang bawaan. Juga, tidak melibatkan anak-anak. Ya, lihat wajah anak-anak itu ketika mereka terimpit di antara punggung ayah dan perut ibu pada jok motor yang hanya pas untuk dua orang. Dan, adiknya duduk di atas tas di bagian depan, bertumpu pada setang motor dan menjadi penadah angin. Bahkan, pemandangan ini bisa lebih mengenaskan bila anak itu balita atau malah masih bayi.

Tentu, kita percaya bahwa si orang tua yang mudik naik motor itu tidak bermaksud menyengsarakan anak-anak. Hal itu terpaksa dilakukan karena mereka ingin menghindari kesulitan yang lebih besar bila mereka memilih bus atau kereta api. Selain kepadatan penumpang yang tidak tertahankan, mereka pasti dimangsa calo yang membuat biaya perjalanan menjadi amat mahal.

Maka, mudik dengan motor adalah pilihan terbaik meski terpaksa membawa anak-anak berpanas berangin sepanjang ratusan kilometer. Imbauan Kak Seto Mulyadi yang amat peduli terhadap perlindungan hak-hak anak pun rasanya tidak akan mendapat tanggapan yang berarti. Itulah fakta yang hadir di depan mata kita hari-hari belakangan ini. Hanya berhenti di hari Lebaran, kemudian menggejala kembali pada hari-hari arus balik. Tapi, apakah ada orang bertanya kepada mereka, "Apakah Anda memerlukan bantuan saya?" Mereka patut mendapat sapaan seperti itu karena sesungguhnya mereka adalah para ibnu sabil dan banyak di antara mereka benar-benar membutuhkan uluran tangan.

Alangkah baik bila para takmir masjid sepanjang jalur arus mudik memberikan hak para ibnu sabil itu. Sediakan tempat istirahat yang layak di sekitar masjid. Juga, apa salahnya menyediakan minuman karena pemudik tidak wajib puasa. Baik juga bila disediakan perlengkapan PPPK karena angka kecelakaan biasanya naik di hari-hari mudik.

Atau, ini: pemudik bermobil yang punya satu dua tempat duduk kosong, tawarkan kepada ibu yang memangku anaknya di atas jok motor. Bila mobil Anda diberi plakat, misalnya, 'Ke Gombong, Bisa Ikut Satu Orang', mungkin ada yang berminat. Dan, pemilik mobil akan diacungi jempol oleh para malaikat. Dan, untuk melihat mutiara perjalanan, kita tidak perlu pergi ke mana-mana, cukup melihatnya di negeri sendiri.mr-republika

Tidak ada komentar: