Minggu, 07 September 2008

Kuta, Suatu Ketika

Kuta, Suatu Ketika

oleh Jodhi Yudono

Kerlap-kerlip bintang di angkasa Bali mengawasi Juha yang sedang tenggelam oleh buih alkohol di jalanan pantai Kuta. Bulan telah tenggelam entah di angkasa mana, setelah lima hari lewat dari purnama raya, tiga tahun lalu.

Ah, sekali sekala, enak juga merasai hidup seperti hippies, pikir Juha. Lepas dari urusan kantor, lepas dari urusan rumahtangga, dan lepas dari suasana kota Jakarta yang menghimpitnya selama bertahun-tahun.

Tak apa juga jika ada yang menyebutnya sebagai hippies nanggung, atau dalam bahasa Remy Silado disebutnya sebagai hippies Melayu. Paling-paling selinting ganja dan bir, zonder sex. Juha tak mau ambil risiko dengan sex bebas seperti yang dipuja oleh kaum hippies yang mencapai puncak kejayaannya di tahun 70-an.

Apalagi ini Kuta, muara dari gemerlapnya dunia hedonis, termasuk penyakit kelamin. Dan harus diakui, kendati telah berkeras ingin menghapus segala bayang-bayang tentang rumah, toh wajah cintanya, Kokom, kadang berkelebat di awang-awang Kuta yang eksotis.

Kuta, jangan-jangan inilah kota kecamatan teramai di seluruh Kabupaten Badung, Bali, bahkan di seluruh Indonesia. Pada peta Bali, Kuta termasuk wilayah Kabupaten Badung. Atau secara geografis berada di Bali Selatan. Berjarak 10 km atau 15 menit jika berkendara dari kota Denpasar/Badung, 15 km dari kota Sanur, 7 km dari kota Nusa Dua, 3 km dari kota Seminyak, 2 km dari kota Legian, serta 4 km dari Kerobokan.

Pantai, kesenian, ritus agama, dan adat istiadat penduduk setempat, adalah eksotika yang mengundang orang betah berlama-lama di Kuta. Dan sebagaimana mestinya terjadi, semua yang dibutuhkan oleh pengunjung pun muncul. Warung makan, toko pakaian, guide, tukang pijat, hotel, tempat hiburan, money changer, dan penjaja cinta, semua tumbuh bertebaran di Kuta.

Sejak sore Juha berada di sana. Ia susuri Jalan Legian, Jalan Kartika Plaza, Jalan Pantai Kuta, sebelum akhirnya terdampar di Pasar Senggol yang berada di Jalan Sadewa untuk mengisi perut secara murah meriah.

Setelah merasa telah bertenaga dengan santapan bebek goreng di Pasar Senggol, Juha akhirnya berketetapan untuk langsung menuju pub Peanut, sebuah pub yang santun karena di dalamnya terdiri dari turis lokal dan asing yang mapan secara mental dan ekonomi. Kernanya, sekalipun berbotol-botol minuman ditenggak, tak ada satu pun huru-hara terjadi di tempat ini.

Juha pilih duduk di pojok. Sambil menenggak Corona, kakinya turut bergerak-gerak mengikuti beat musik disco. Tak jauh darinya, seorang perempuan bertubuh tambun yang memperkenalkan dirinya sebagai turis dari Inggris duduk sendiri sambil minum wine bikinan Australia.

Mulutnya yang ceriwis segera menyebut beberapa tempat wisata yang sudah dikunjunginya selama sepekan tinggal di Bali. Tenganan, Trunyan, Sanur, Tanah Lot, Ubud, dan Pasar Sukawati. Lalu ia pun bilang, sebelum sampai di Pub Peanut, ia sempat dinner di Warung Made.

Jenny--nama perempuan itu-- belum lagi selesai dengan ceritanya, mendadak muncul pemuda pribumi yang langsung mengajaknya pergi.

Juha sendiri lagi, cuma ditemani rokok dan bir. Dari pojok pub ia saksikan orang-orang yang datang dan pergi. Lalu ia saksikan pula beberapa pasangan yang asyik masyuk berpagutan dalam keremangan sinar lampu pub.

Beberapa cewek Jepang yang ditemani pasangannya--pemuda-pemuda pribumi berkulit gelap-- dengan bendera-bendera partai bergambar binatang bertanduk yang dililitkan menyerupai kain pantai, masuk dan langsung menuju lantai dansa.

Mereka berjingkrak-jingkrak tanpa beban. Karena merasa gerakannya tak bebas, seorang dari cewek Jepang itu mulai melepas bendera partai dari pinggangnya. Dan dengan gerakan yang sensual, ia ubah bendera partai itu menjadi selendang untuk merenggut leher pasangannya ke dalam pelukan.

Ah, untunglah ini terjadi di Kuta. Kendati sebagian besar warganya adalah simpatisan partai yang benderanya kini dibuat "main-main", tapi mereka tak marah-marah. Sebab mereka tahu, usia kecintaan mereka terhadap partai sejajar lurus dengan kepercayaan mereka terhadap wakil-wakil mereka yang jadi anggota dewan maupun yang duduk di pemerintahan. Ketika kepercayaan mereka terhadap wakil-wakil mereka hilang, maka tamatlah sudah riwayat sebuah partai beserta lambang dan benderanya.

Tapi turis, sekali lagi turis, adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan warga Kuta. Kernanya, mereka amat faham bagaimana memperlakukan para turis. Menjaga kenyamanan turis, adalah sama dengan menjaga penghidupan mereka.

Matre? Tidak juga. Harga diri, tradisi, leluhur, dan kepercayaan, bagi mereka lebih penting dibela mati-matian ketimbang hanya selembar kain yang kebetulan bergambar lambang partai.

Juha yang kini sendiri, mulai gelisah. Reaksi alkohol mulai membuat kerongkongannya serasa tercekat.

"Would you like anything to drink?" Seorang waitres bule yang rupanya menangkap gelagat buruk pada diri tamunya, menghampiri Juha.

"Yes, please. I'll have orange juice," ucap Juha sekenanya. Dalam situasi goyah mental dan fisik akibat alkohol, selalu saja orange juice yang dipesannya. Entah naluri, mitos, atau memang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara scientific, bahwa orange juice mampu meredakan pengaruh alkohol. Entahlah.

Akhirnya Juha tahu diri. Ia tak ingin merepotkan orang lain karena hilang kesadarannya oleh alkohol. Setelah orange juice tandas dalam sekali hirup, setelah ia membayar minumannya, ia pun melangkah ke luar pub.

Juha berharap, udara segar di jalanan Kuta akan mengembalikan kesadarannya secara penuh. Juha pun kemudian berjalan sambil mereka-reka arah menuju pantai.

Baru sepuluh langkah, mata Juha menangkap seorang lelaki tengah baya bejalan sempoyongan. Mendadak muncul hasratnya untuk menolong lelaki yang berjalan beberapa langkah di depannya. Juha pikir, pastilah lelaki itu senasib dengan dirinya. Syarafnya tengah dikuasai alkohol.

"Siapa kamu?!" Lelaki tengah baya itu menghardik sambil bercuriga.
"Tak penting siapa saya, kalau mau saya tolong, mari saya tolong."

Lelaki itu mundur dua tindak, dan setelahnya ia pun meneliti dengan seksama sekujur tubuh Juha. Setelah ia mendapatkan semacam kesimpulan, bahwa orang yang menawarkan pertolongan kepadanya adalah dari jenis manusia baik-baik, lelaki tengah baya itu pun terbahak.

"Sesama pemabuk harus saling tolong menolong," kata lelaki tengah baya yang mengaku bernama Aji itu sambil masih terbahak-bahak.

"Anda tahu, situasi macam apa yang diidam-idamkan oleh seorang peminum macam saya?"
Juha menggeleng.

"Adalah ketika mendapatkan seorang kawan sesama peminum yang baik hati macam Anda," lanjut lelaki asal Jakarta yang juga mengaku sedang membuang kesumpekan hati di Bali.

"Itu artinya, kita, terutama saya, akan merasa aman. Sebab ada kamu, Ju, yang siap menolong jika ada apa-apa dengan saya."
"Pak Aji mabuk berat. Lebih baik saya antar ke penginapan."
"Pak? Tolong jangan panggil saya pak. Saya lebih suka dipanggil dengan sebutan Bung. Sebab apa? Sebab saya adalah satu di antara empat orang di negeri ini yang berhak menyandang sebutan Bung!"

Juha cuma melongo mendengar Aji yang terus meracau.

"Dengar, Ju. empat orang yang berhak menyandang sebutan Bung adalah: Satu, Bung Karno. Dua, Bung Hatta. Tiga, Bung Tomo. Dan Empat, adalah Bung Aji!"

Kini gantian Juha yang tertawa keras-keras.

"Tolong, jangan tertawa. Aku serius, Ju."

Juha yang masih menyisakan kewarasan di otaknya untuk menghargai orang yang lebih tua, segera merem ketawanya hingga kerongkongannya tersedak.
"Kamu tahu, Ju? Dulu ada ketua partai paling besar di negeri ini yang meminta dirinya dipanggil Bung. Tapi apa akhirnya? Karena dia tak berhak menyandang sebutan itu, kembali orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak. Tapi aku, Ju. Kamu boleh datang ke rumahku di Jakarta sana. Tanyalah pada orang-orang yang kamu temui sejak mulut gang menuju rumahku, mereka akan segera menunjuk dengan tepat, di mana alamat rumah si bung ini berada."
"Okelah. Tapi sekarang Bung Aji rasanya sudah mabuk berat. Saya antar ke penginapan, Bung."
"Sekali lagi kau bilang aku mabuk, putuslah perkawanan kita yang baru berlangsung beberapa menit ini."

Ah, sensitif benar si Bung ini, pikir Juha.

"Aku tidak mabuk, Ju. Begitu juga kamu. Kita hanya lari dari kota yang dihuni oleh para pemabuk. Ya, Jakarta terlalu banyak dihuni oleh para pemabuk."

Juha tak menjawab pernyataan si Bung. Ia biarkan si Bung terus berceloteh. Barangkali, lewat celotehannya itulah si Bung segera akan mendapatkan kesadarannya kembali.

"Lihatlah mereka yang ada di gedung parlemen, mereka yang berkantor di gedung-gedung pemerintah, mereka yang berkantor di jalan-jalan utama Jakarta, tidakkah mereka terdiri dari para pemabuk?"
"Mabuk harta, mabuk kekuasaan, jabatan..."
"Ha ha ha, cerdas juga kamu, Ju."
"Saya kan tidak mabuk, Bung."
"Ha ha ha..."

Langkah kaki mereka akhirnya terhenti, ketika debur ombak pantai Kuta sudah di depan mata. Ratusan orang dari berbagai belahan dunia ada di sana untuk menikmati romantisme Kuta yang bertabur gemintang.

"Lihatlah Ju, orang-orang yang senasib dengan kita. Mereka aku kira juga pelarian seperti kita. Mereka lari dari rumah karena tak mau dijajah terus menerus oleh orang tuanya. Lari dari sekolah, karena sekolah ternyata tak bisa menjawab persoalan hidup mereka. Lari dari tempat-tempat ibadah, karena di sana mereka tak menemukan kedamian hidup. Lari dari omong kosong pemimpin-pemimpin mereka. Eh, omong-omong kamu sendiri lari dari apa, Ju?"

"Saya tidak lari dari apa atau siapa, Bung. Saya sekedar kepingin jalan-jalan di sini, sendiri. Kemudian ketemu, Bung. Kalau Bung, lari dari apa?"
"Kan sudah kamu jawab tadi, Ju. Aku lari dari para pemabuk kota Jakarta."
"Lalu anak-anak dan istri Bung di Jakarta?"
"Aku memilih untuk tak beristri. Cukuplah aku saja yang menderita karena dikepung oleh pemabuk-pemabuk sejati kota Jakarta. Tidak istriku dan tidak pula anak-anakku. Karenanya aku putuskan untuk melajang seumur hidupku."

Saat fajar menjelang, tampak di kejauhan seorang perempuan berlari mendekati dua lelaki yang telah kehilangan kata-kata di tepian pantai Kuta itu.

"Cilaka, Ju. Kita harus segera berpisah. Jangan lupa, mampir ke penginapanku," ujar Aji, bergegas meninggalkan Juha.

"Hei bangsat, tunggu!" Suara keras perempuan yang tadi terlihat di cakrawala, memecahkan fajar.
"Hei, kamu temannya? Kamu pasti tahu di mana alamat lelaki bangsat itu!" Perempuan itu masih meradang setelah berada di hadapan Juha.

"Kamu siapa?"
"Aku? Aku perempuan sial yang telah dibuntinginya!"
"O..."
"Tahu tidak ke mana dia akan pergi?"
Juha menggeleng.

Setelah meludah ke arah Juha, perempuan itu kembali mengejar si Bung.

Semula Juha hendak mendamprat perempuan yang telah menghinanya itu. Tapi demi menyaksikan adegan kejar-kejaran antara perempuan yang meludahinya dengan si Bung, tertawalah Juha.

Juha menggumam, "Si Bung kini benar-benar jadi pelari sejati."

Tidak ada komentar: