Rabu, 10 September 2008

Pencalegan

Pencalegan

Hari-hari terakhir ini, para politisi sedang disibukkan oleh penyusunan daftar calon anggota legislatif. Daftar Calon Sementara (DCS) yang disusun partai-partai sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namanya juga sementara, tentu masih bisa berubah. Karena itu, sebelum baku ke Daftar Calon Tetap (DCT), hari-hari mendatang akan menjadi sangat panas. Ada yang mundur, ada yang tergeser nomornya, ada yang tergeser daerah pemilihannya, dan tentu saja ada yang terpental.

Dasarnya macam-macam: klik, uang, kroni, nepotisme, maupun yang bersifat sangat personal. Yuddy Chrisnandi, misalnya, terpental karena tak disukai oleh sejumlah elite di Golkar. Sikap politik Yuddy dinilai tak jinak. Ada pula yang seperti Ferry Mursyidan Baldan yang tergeser karena bukan bagian dari klik yang sedang berkuasa di Golkar.

Yang paling heboh adalah aksi saling lapor ke polisi antara Djoko Edhi Abdulrahman dan Bahrudin Dahlan. Bahrudin menuduh telah terjadi jual beli nomor sehingga Djoko yang mantan politisi PAN tersebut bisa masuk PPP. Sedangkan, dirinya yang sudah 10 tahun aktif dan juga pengurus DPP malah tak masuk. Di PPP memang ada api dalam sekam. Langgam di partai ini lebih adem sehingga baranya tak muncul ke permukaan. Di PDIP sempat mencuatkan nama Ramson Siagian yang mengaku tak dikehendaki lagi sehingga namanya tak masuk.

Hal-hal semacam itu merupakan sesuatu yang lumrah dalam politik. Namun, yang menjadi pembeda antara berpolitik secara beradab dengan yang berpolitik secara barbarian adalah pada berlaku atau absennya etika, kejujuran, dan keadilan. Misalnya, menggeser orang dari daerah pemilihan tertentu yang sudah dibina bertahun-tahun ke daerah lain yang asing. Ini sama saja dengan penyingkiran.

Isu suara terbanyak juga bisa menjebak. Seolah yang menolak berarti tak siap, dan yang berteriak dianggap cengeng. Simulai Cetro, lembaga independen yang menggeluti soal pemilu, memperlihatkan bahwa hanya 30 persen calon yang bisa lolos secara otomatis karena meraih suara di atas bilangan pembagi pemilih (BPP). Apalagi, jika kemudian ia tergeser oleh orang-orang yang cuma menjadi kader jenggot dan tak pernah berkomunikasi dengan massa akar rumput. Tentu, rasa keadilan kita terusik. Inilah yang menimpa Yuddy. Pada pemilu lalu, figur sekelas Nurul Arifin--selain artis top, ia juga giat di LSM--pun gagal lolos ke Senayan. Ia memang peraih suara terbanyak, namun karena tak mencapai BPP, ia tak bisa lolos. Ia hanya berhasil meloloskan calon yang berada di atasnya.

Dalam politik, selain pentingnya membangun sistem, prosedur, dan kelembagaan yang bersifat aturan dan struktur, yang tak kalah penting adalah masalah etika dan integritas para pelakunya. Itulah norma-norma dan nilai-nilai yang tak tertulis. Aspek inilah yang justru banyak diabaikan. Padahal, para pendiri bangsa ini selain mewariskan kemerdekaan dan visi politik, juga banyak meninggalkan warisan keteladanan moral dan integritas pribadi.

Mungkin, kita butuh waktu untuk sampai ke kearifan semacam itu. Namun, para elite politik harus memacu diri mempercepat proses pendewasaan tersebut. Bagi yang kalah pun jangan terus merengek, tapi bangkit lagi dan berjuang lagi pada pemilu lima tahun lagi. Jika perjuangan politik diabdikan untuk bangsa dan negara dan bukan untuk kuasa dan harta, insya Allah kita tak akan pernah kehabisan energi.mr-republika

Tidak ada komentar: