Kamis, 18 September 2008

Nuzulul Quran dan Problem Bangsa

Dr Rosihon Anwar

Dosen Kajian Studi Alquran di Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Tanggal 17 Ramadhan biasanya dijadikan momentum oleh umat Islam untuk memperingati turunnya Alquran (Nuzulul Quran). Peringatan itu biasanya diselenggarakan dengan berbagai jenis kegiatan, mulai dari Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), kajian seputar Alquran, dan umumnya tablig akbar.

Sepertinya, hampir setiap tahun model peringatannya sama dan relatif monoton. Biasanya kegiatan tadarusan yang biasa digelar selepas melaksanakan Shalat Tarawih pun sebatas pada membaca Alquran, jarang diteruskan pada upaya memahami kandungannya, sesuatu yang tak kalah penting dari membacanya.

Padahal, kata tadarusan kalau dilihat dari maknanya tak hanya membacanya, tetapi juga membaca dan menghayati ayat yang dibaca. Begitulah sebagian sahabat memaknai perintah membaca Alquran.

Agar peringatan Nuzulul Quran memiliki vitalitas makna dan semangat baru, memang tampaknya harus ada pembacaan baru terhadapnya. Nuzulul Alquran diharapkan menjadi tolok ukur sejauh mana Alquran dijadikan solusi untuk menyelesaikan problem bangsa.

Ada pertanyaan mendasar tentang relasi Alquran dengan problem bangsa. Pertanyaan ini sudah terlalu sering dikemukakan, tetapi masih relevan untuk dikaji kembali. Pertanyaan itu berbunyi, ''Bukankah Alquran itu, seperti sabda Nabi, dapat menyelesaikan problem kemanusiaan, tetapi kenapa di Indonesia yang mayoritas Muslim, problem bangsanya bukannya semakin berkurang, malahan bertambah kompleks?''

Pertanyaan ini sederhana, tetapi sesungguhnya memerlukan analisis mendalam dengan menggunakan berbagai perspektif karena setidaknya berkaitan dengan metodologi memahami Alquran dan bagaimana kemudian pemahaman itu direalisasikan. Dua ranah itu sangat berkaitan erat. Merealisasikan pemahaman yang keliru terhadap Alquran akan mendatangkan dampak negatif, sama buruknya dengan keengganan merealisasikan pemahaman Alquran yang benar.

Terhadap pertanyaan di atas, kita memang membaca dalam sejarah bagaimana semangat Alquran mampu membangkitkan semangat umat Islam secara individu dan kolektif. Tak terbantahkan fakta bahwa semangat Alquran merupakan faktor kuat kokohnya peradaban Islam selama tujuh abad lamanya.

Fakta sejarah ini membuktikan benarnya sabda Nabi yang mengatakan bahwa Alquran dapat dijadikan sebagai problem solving (al-makhraj) dari berbagai problem (fitnah) kemanusiaan. Persoalannya sekarang, bagaimana kita memahami Alquran secara metodologis. Lalu, bagaimana pemahaman itu dilaksanakan secara konsisten. Kedua hal di atas diharapkan menjadi perantara bagi penyelesaian persoalan bangsa melalui Alquran.

Perlu metodologi
Memahami Alquran memang tidaklah sederhana. Alquran bukanlah kitab konvensional, tetapi firman Allah yang membutuhkan metodologi tertentu untuk memahaminya. Itu pula alasannya kita mewarisi banyak aturan yang terkadang ketat dari para ulama tentang metodologi memahami Alquran.

Dari sinilah kemudian kita mengenal perangkat terjamah, tafsir, dan takwil. Bahkan, seorang ulama abad ke-10, Imam al-Syutuhi, menetapkan 15 persyaratan bagi siapa saja yang hendak menafsirkan Alquran. Ini menunjukkan betapa penafsiran Alquran membutuhkan perangkat metodologis.

Kita memang agak khawatir dengan berbagai kecenderungan sementara orang belakangan ini yang menafsirkan Alquran tanpa dibekali perangkat yang memadai. Dampaknya sangat fatal, banyak hasil penafsiran yang keliru dan terkadang menyesatkan.

Kita mewarisi sejarah kelam berupa pertikaian bahkan pertumpahan darah antarsesama umat Islam. Memang banyak faktor yang melatarinya terutama faktor politik. Tetapi, pemahaman yang keliru terhadap Alquran pun merupakan salah satu pemicunya.

Mungkin ada baiknya kita mengikuti saran dari para ulama untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir standar dalam memahami Alquran, tidak langsung memahami sendiri Alquran tanpa dibekali persyaratan standar, seperti memahami bahasa Arab, memahami hadis, dan memahami Ushul Fiqih.

Masuk akal kalau tidak semua orang diizinkan memahami Alquran sendiri. Sebaiknya kita serahkan saja kepada ahlinya. Kita tinggal mendengar dan membacanya, lalu melaksanakannya. Apakah lalu di luar ahlinya tidak berhak untuk menafsirkan Alquran? Tentu saja semua orang berhak melakukannya asal memiliki persyaratannya, mulai dari perangkat bahasa sampai perangkat metodologi.

Alquran ditulis dengan bahasa Arab, sedangkan setiap kosa kata Arab memiliki psiko-lingustik sendiri yang tidak dapat ditangkap, kecuali oleh mereka yang benar-benar paham bahasa Arab. Contoh sederhana, kita sering mendengar uraian larangan berbuat fitnah (dalam bahasa Indonesia) dengan dalil ayat wal-fitnatu asyaddu minal qatli. (QS Albaqarah [2]:191).

Sering dipahami kata al-fitnah (dalam bahasa Arab) pada ayat itu dengan fitnah dalam bahasa Indonesia, padahal maknanya tidaklah serupa. Dalam kitab-kitab tafsir standar, seperti Tafsir al-Thabari dan Tafsir al-Jalalain, fitnah yang dimaksud adalah kemusrikan. Ada banyak contoh lain model kekeliruan seperti ini yang berkembang di masyarakat.

Termasuk ke dalam metodologi pemahaman Alquran adalah bagaimana dengan cerdas mengangkat isu-isu kekinian yang memerlukan penyelesaian dari Alquran dengan segera, seperti masalah pengangguran, kerusakan lingkungan, korupsi, narkoba, relasi buruh-majikan, dan relasi pemerintah-rakyat.

Ini pekerjaan rumah bagi ahli tafsir di Indonesia. Perlu ada perubahan paradigma pemahaman Alquran. Kalau para ulama dahulu memahami Alquran tanpa banyak menyentuh problem kemanusiaan, bahkan terkadang tidak menyentuh sama sekali, ada baiknya sekarang justru memahami Alquran diawali dengan melihat problem kemanusiaan (Ibottom-up).

Living Alquran
Hal paling penting dari semua proses interaksi umat Islam dengan Alquran adalah bagaimana Alquran dipribumikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Artinya, Alquran bukan lagi merupakan sesuatu yang asing, tetapi merupakan bagian kehidupan mereka.

Seharusnya mereka memang menjadi living Alquran, Alquran yang berjalan. Sebaik apa pun metode yang dipergunakan dalam memahami Alquran tidak akan bermanfaat tanpa dibarengi dengan aktualisasi hasil pemahaman kita.Namun, ternyata mengaktualisasikan pemahaman Alquran pun tidaklah mudah. Dibutuhkan perangkat-perangkat tertentu di samping modal keimanan yang kuat, di antaranya diperlukan rumusan operasional bagaimana pemahaman itu dilaksanakan.

Meminjam istilah Kuntowijoyo, ayat-ayat Alquran merupakan grand theory. Dibutuhkan teori perantara (middle theory) untuk melaksanakannya. Di tataran perantara inilah sebenarnya kita membutuhkan bantuan para pakar di berbagai bidang. Zakat dapat mengangkat perekonomian merupakan grand theory, tetapi bagaimana zakat berdaya untuk mendongkrak ekonomi merupakan bidang di antaranya pakar ekonomi.

Shalat dapat menangkis kerusakan moral ( tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fikih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya. Di sini perlunya para ulama dan para pakar di berbagai disiplin ilmu untuk duduk bersama merumuskan grand theory dan middle theory yang dimaksud.

Ikhtisar:

- Alquran bukan kitab konvensional, tetapi firman Allah yang membutuhkan metodologi tertentu untuk memahaminya.
- Tidak semua orang diizinkan memahami Alquran sendiri.mr-reublika

Tidak ada komentar: