Selasa, 30 September 2008

Makmur dan Teratur

Makmur dan Teratur

Oleh: Zaim Uchrowi

Apa yang paling membedakan keberadaban dan ketidakberadaban suatu masyarakat atau bangsa kalau bukan keberaturan?
Saat manusia bergerak dari alam primitif ke alam tradisional, keberaturan menjadi pembedanya. Mulanya manusia bertindak semaunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, siapa pun bebas berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Manusia bebas bertindak apa pun untuk memenuhi hajatnya. Faktor penentunya hanya alam serta prinsip siapa kuat ia akan mendapatkan yang diinginkannya. Itu bukan saja terjadi pada Pithecantropus erectus. Itu juga terjadi pada manusia keturunan Adam.

Secara berangsur kemerdekaan seperti itu bergeser. Alam tak setiap saat berbaik hati untuk memenuhi semua kebutuhan manusia. Dengan dibiarkan begitu saja, alam tak akan memberikan kesejahteraan yang terbaik. Alam perlu dikelola begitu rupa sehingga manusia dapat mengambil manfaatnya secara optimal. Hewan-hewan pun diternakkan. Tumbuhan dibudidayakan. Mulai ada pola-pola yang dibangun sehingga terwujud keberaturan dalam kehidupan manusia.

Setelah banyak orang yang beternak dan bertani, maka berkembang kesepakatan antarmanusia menyangkut batas-batas wilayah pertanian yang boleh dikelola masing-masing. Selain itu, berkembang pula kesepakatan bagaimana mengelola hubungan antarmanusia, bahkan juga hubungan manusia dengan alam hingga dengan Sang Pencipta alam semesta ini. Norma-norma mulai terbangun.

Kehidupan mulai dijalankan di atas pola-pola yang disepakati bersama. Masyarakat tradisional sudah dituntut untuk mematuhi pola-pola bersama. Meskipun demikian, secara umum, kebebasan yang dimiliki masyarakat tradisional masih sangat luas.

Peradaban terbangun dari kata asal 'adab' yang berarti 'kehalusan dan kebaikan budi pekerti'. Kehalusan dan kebaikan budi pekerti adalah pola-pola perilaku yang disepakati bersama. Istilah Inggris tentang peradaban adalah 'civilization' yang berasal dari kata 'civil'.

'Civil' berarti 'warga kota'. Di masa silam, 'warga kota' dipandang mempunyai perilaku yang lebih berpola. Kota secara umum lebih rapi, bersih, serta teratur dibanding desa. Kota juga lebih makmur dan sejahtera. Tapi, urusannya jelas bukan soal kota-desa. Urusannya adalah soal teratur dan makmur yang mempunyai hubungan timbal balik. Makmur sama dengan teratur. Yang teratur jadi makmur, yang makmur jadi teratur.

Yang lalu menjadi pertanyaan: di mana posisi bangsa dan umat ini dalam urusan makmur dan teratur? Sudah mendekati masyarakat maju, tradisional, atau justru masih primitif?

Jalur 'busway' di Jakarta cermin kemajuan. Namun, banyaknya kendaraan 'nyelonong' di sana cermin keprimitifan. Trotoar cermin kemajuan, tapi ketidakberaturan kaki lima, motor, dan lainnya di atas trotoar itu cermin keprimitifan. Tidak mau antre, buang sampah seenaknya, korupsi, hingga ketidaktertataan wilayah dan permukiman adalah sisa-sisa kebebasan yang primitif. Kebebasan semestinya adalah kebebasan dalam memilih pola-pola yang telah disepakati bersama tanpa paksaan, dan bukan untuk berbuat semaunya sendiri. Agama sebenarnya menyiapkan manusia agar berperilaku teratur sehingga kehidupannya makmur. Tapi, sudah sampaikah umat dan bangsa ini pada pemahaman nilai agama seperti itu ketika kenyataannya belum menjadi umat dan bangsa yang makmur dan teratur?

Tidak ada komentar: