Minggu, 21 September 2008

Punahnya Tradisi Ting Selikuran

Punahnya Tradisi Ting Selikuran

radisi masyarakat di desa-desa sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, dan sekitarnya untuk menyalakan lampu ting setiap malam "selikuran" (Malam hari ke-21 bulan Ramadan,red) telah punah.

"Kalau dulu masyarakat Borobudur selalu memasang ting setiap malam selikuran di depan rumahnya," kata penggerak kesenian dan tradisi masyarakat sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Sucoro, di Borobudur, Sabtu (20/9) malam.

Masyarakat di berbagai desa memasang ting selikuran dengan cara digantung di depan rumah masing-masing pada malam selikuran. Setiap ting dihiasi dengan kertas aneka warna dan berbagai bentuk seperti kotak, bulat, bentuk kapal, ikan, dan buah-buahan.

Ia mengatakan, ting selikuran juga di pasang di tepi dan persimpangan jalan desa sehingga tampak suasana sakral pada saat tujuh hari sebelum Lebaran.

Kemungkinan, katanya, tradisi ting selikuran itu bagian dari upaya Sunan Kalijaga, salah satu di antara sembilan wali sanga yang menyebarkan agama Islam di Jawa, pada masa lampau, untuk dakwah.

Tradisi itu, katanya, telah punah mulai era 1970-an. "Mungkin karena di desa-desa mulai ada program listrik masuk desa sehingga masyarakat meninggalkan lampu minyak, termasuk ting," kata Sucoro yang juga pengelola Komunitas "Warung Info Jagad Cleguk", yang terdiri atas kalangan seniman rakyat dari desa-desa di sekitar Candi Borobudur itu.

Ia mengemukakan, ting sebagai kata pelesetan dari "tingalono" (Lihatlah, red). "Maksudnya supaya orang hidup itu melihat diri, introspeksi, dan melihat ke depan dengan optimis," katanya.

Budayawan Magelang, Soetrisman, membenarkan pada malam selikuran masyarakat di desa-desa di Magelang dan sekitarnya menyalakan ting berhias kertas aneka warna dan bentuk di depan rumahnya sehingga muncul suasana sakral di lingkungan tempat tinggal mereka. "Mungkin antara 1950 hingga 1960 mulai kelihatan tradisi itu hilang, diduga karena pengaruh adanya listrik. Sebelum tahun-tahun itu suasana malam selikuran terkesan magis, ada kekuatan spiritual karena ada lampu-lampu redup dan sinarnya samar-samar menghiasi depan rumah warga," katanya.

Beberapa hari sebelum malam selikuran, katanya, relatif lebih banyak pedagang ting di pasar-pasar dan di jalan-jalan. Masyarakat juga banyak yang membuat ting sendiri untuk tradisi malam selikuran.

Soetrisman yang juga pengajar sastra di Universitas Tidar Magelang dan Universitas Muhammadiyah Purworejo itu menyatakan tidak menyangka tradisi ting selikuran yang unik pada masa lampau bakal hilang oleh perkembangan modernisasi.

Tradisi ting selikuran, katanya, perlu dihidupkan antara lain karena bisa membantu perekonomian dan industri kerakyatan, mendidik masyarakat untuk peka terhadap pentingnya melestarikan lingkungan, mempromosikan penggunaan bahan nonplastik, dan hemat energi. "Itu bisa menghidupkan ekonomi kerakyatan, kepekaan lingkungan karena ting bisa dihias dengan kertas aneka warna dan dibentuk sesuai dengan potensi lingkungannya seperti bentuk ikan menunjukan potensi perikanan di desanya, secara kultural supaya budaya plastik tidak merajai kehidupan masyarakat,"mr-kompas

Tidak ada komentar: