Selasa, 18 November 2008

Puisi-puisi Ni Putu Destriani Devi

Puisi-puisi Ni Putu Destriani Devi

Tata nini pon-pon:
Wibi

Tata nini pon-pon,
Bawakan kakak
kuda kayu yang bergoyang
di masa kanak dulu
Jadikan kakak boneka kelinci
yang kau peluk di tepi senyum mungilmu

Tata nini pon-pon,
Jangan nyanyikan cicak-cicak di dinding lagi
Jangan menirukan suara cicak lagi

Bergoyanglah lagu tata nini pon-pon untuk kakak
Lagu yang kakak nyanyikan untukmu

Tata nini pon-pon,
Tunjukkan tari perut yang membuat semua mata tertawa

Di badanmu yang gendut,
Ada beribu permen karamel yang tertinggal
Di ponimu,
Tersembunyi balon warna-warni serupa pelangi
Di tawamu yang berlarian
Ada masa riang ayah dan ibu yang hilang

UNTUK SI MATA SIPIT

Di bawah selimut bibir merah
tersembunyi surat si mata sipit
yang terjepit misteri dirambutnya

Geraknya di ayuni senyum mungil
entah kemana
bahkan tiap cermin melukiskan haru
dan terselip di langit biru
untuk lelaki yang entah untuk siapa?

sejak hujan menengadahkan kagumnya
angin-angin tak lagi menangis
payung-payung tak lagi menari
semua sajak jadi musim semi
di senja yang sendiri

aku dan catatan kecil tentang bola-bola yang melayang
melamunkan hari-hari yang menghilang

SAJAK UNTUK PERAWAN PERAGU

Aku perawan suci
yang menyeka gerimis itu

Di balik senja yang retak
Pagi selalu datang terlambat untukku

Apalagi yang harusku lukiskan untukmu?
Sepotong roti yang membuatmu jatuh hati?
atau dua buah bantal?
dan aku hanya berlari-lari kecil diantaranya

aku ini perawan suci
entah sampai kapan

semua dosa ku lebur jadi doa
semua kata ku tulis jadi nyata

semua lelaki tunduk meraih tanganku

kini aku perawan sepi
rindu dipuja lelaki
dan kecupan duniawi

merpati-merpati pulang bersama ceritaku
gaun merah menunggu
serupa apel yang layu

aku perawan suci?
Entah sejak kapan

SEPARAS PERTIWI (II)

Di samping sungai
Tanpa setetes letih
Wanita-wanita memusungkan inginnya
menuliskan hari-harinya di atas kaki-kaki kecil anaknya

Di tepi senyum
yang menetes di bibir
mengalir tawa anaknya
Menjunjung paras-paras
Menggali serpihan pasir kali
menggali lagi nasib

Telapak surga yang orang bilang,
Menelanjangi anak tangga yang becek
Menjunjung paras-paras yang mengeras
serupa garis tangannnya

Inikah negerimu?
Inikah paras-paras serupa wajah ibumu?

Wanita-wanita penjunjung paras
Menggandeng masa kanak si bocah,
Berharap sang ibu kembali
Pulang dari menjunjung parasnya

Aku Lapar

Kapan kertas-kertas ini akan jadi sepiring nasi?
Aku sungguh lapar
Seandainya ada seorang kekasih
Datang dan membawakan aku sebungkus coklat

Tapi laparku berbisik:
Coba kau lempar saja kertas-kertas itu
Mungkin saja akan jadi secangkir coklat hangat

Mengapa aku harus selalu diingatkan
tentang surat-surat?
atau kertas-kertas?
Mengapa tidak ada yang mengingatkan aku
untuk makan siang
atau menulis sajak?
Seandainya semua angka-angka
Dan huruf-huruf ini
Memasakkanku semangkuk hangat rasa kenyang
Entah berapa sajak lagi yang bisa ku terbangkan

Selain sajak yang lapar ini

Untuk sajak cinta (II)

Aku mencintaimu,
Maka tak ada sajak lain selain dirimu

Tiga atau enam tahun bukan masalah bagiku
karena menunggu selalu menemaniku

Aku tak tahu sejauh apa hatimu
Atau sedalam apa letihmu
Tapi aku selalu menyediakan beranda bernama kerinduan

Dari sana kau bisa lihat,
Seberapa dekat bibirku
Dan begitu dalamnya pelukku

Bahkan bila beranda itu telah hanyut
Kau bisa menemukanku ditiap kata-kata cinta yang ditulis penyair
Di tiap senyum yang di titipkan matahari untukmu
Atau wangi hujan yang membalut daun-daun

Hanya karena ku mencintaimu,
Maka tak ada sajak lain selain dirimu

Kecoa diantara Lukisan

Kecoa diantara lukisan
Terkurung antara dialog-dialog warna
Matanya yang melukiskan kagum
Seolah sedang memahami biru yang luntur
Disudut kanvas

Tiap orang bergilir membacakan sajaknya
bergilir bercerita tentang cintanya yang sendiri
atau akan sendiri

Sementara tak ada seorang yang tahu,
Gerak kuas yang mulai menari

Berlari diantara sajak
Dan jatuh disela kanvas
Memuntahkan semua kata-kata
Dan masuk ke sumsum yang paling dalam

Tak ada yang menyadari,
Kecoa kecil itu kini luluh
Jadi tetesan
Di lukisan

Pagi Ini

Pagi ini,
Hujan menyanyikan lagu cinta untukku
Untuk kekasih yang tak ingin sekadar tubuh
Untuk kekasih yang tak ingin sekadar tidur

Cinta akhir tahun di tepi lukisan malam

Aku ingat saat pertama kali kau melambai,
dengan getir suara
yang membutakan semua lampu-lampu jalan
Entah sudah berapa lagu ku masuki
hanya untuk menemukanmu
tapi kau selalu menyembunyikannya
di balik kaca mata itu

hanya tidur yang bisa membuatku sedekat itu denganmu
karena mimpilah,
aku bisa membuatmu berpeluk di pangkuanku

Untuk Hujan (2005)

Hujan, bermimpilah tentangku
Izinkan aku untuk mengirim rindu
Dan jangan tolak kue yang ku buat basah untukmu ini

Tolong biarkan aku jadi bagian dari tidur nyenyakmu
Bahkan jadi liur atau dengkurmu
Biarkan aku membacakan sajak ini untukmu

Ada banyak sajak yang telah ku tulis untukmu
Sebanyak inginku untuk bertemu denganmu
Maka izinkan aku untuk jadi mimpimu di hari Minggu
Karena mungkin hari-harimu
telah kau sediakan untuk mimpi gadis lain

ada banyak senyum yang beku
ada banyak kata, banyak pinta
banyak riang yang telah beku
yang tak sempat ku samapaikan untukmu

maka izinkanlah aku
untuk jadi mimpimu

Terimakasih Hujan
(karena telah membawa kembali dirinya)

Hal yang paling ku banggakan dalam hidupku
adalah mencintainya
Dia yang datang membawa senyum baru untukku
dan kini pergi dengan senyum itu

Aku ingin kembali dan jadi diriku yang lalu
Bersama jemu
yang membuatku rindu akan lelahku
apa artinya airmata
jika ia bisa membuat suara langkahnya kembali
aku tak peduli seberapa banyak yang harus ku bayar
untuk memimpikanmu

‘Rumahku surgamu”
Selembar doa untuk hujan
Semoga suatu saat nanti aku masih bisa mencintainya

Ini cinta sederhana untuknya,
dan dia tak akan pernah tahu

1 komentar:

P.A.P.S mengatakan...

Kata kata yg dalam dan hangat, pasti sangat bahagia bisa dicintai gadis sepertinya.