Minggu, 02 November 2008

BILA DIPANGKU MATI

BILA DIPANGKU MATI
Saya datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta. Demikian pernyataan Hendry Martyn~ seorang misionaris kristen klasik yang memandang bahwa penyebaran Krinten tidak perlu dilakukan dengan kekerasan. Kendatipun saat ini hal itu tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dilakukan AS terhadap Afganistan dan Irak dan mungkin esok ke Iran, masih sangat kental kaitannya dengan gold gospel dan glory.
Muatan logika dan cinta merupakan keharusan yang harus ditempuh, hal itu karena mungkin pengalaman sejarah lewat perang salib dipandang telah keliru dan gagal.

Bagi misionaris mengkristenkan kaum muslim merupakan suatu keharusan, kalau tidak maka dunia akan menjadi Islam. Kekhawatiran inilah yang semakin menyemangati tindakan mereka, apalagi semakin hari di belahan dunia kaum muslim semakin banyak saja~ peminat ajaran Islam semakin bertambah terus. di negara-negara yang tadinya tidak ada atau single mayority kristen kini sudah ditumbuhi muslim dan semakin berkembang saja. Sakali lagi mengkristenkan kaum muslim bisa dimengerti sebagai satu keharusan yang tidak bisa ditawar, terlebih di mayoritas muslim Indonesia~khususnya lagi Jawa~dengan budayanya yang lembut.

Sebuah budaya Jawa yang sangat dipercayai dan dipakai misionaris adalah simbul huruf Jawa. Menurutnya kepercayaan orang-orang Jawa,  huruf Jawa tidak bisa dipangku, bila dipangku maka akan mati. Karenanya perlu sentuhan kasih dan cinta, perlu dibantu, dibiayai, diberi perhatian besar, dengan demikian hatinya akan luluh, pendapatnya akan berubah. Dengan dasar itulah mereka benar-benar memperlakukannya dengan hati-hati, dengan kelenturan budayanya, ia dengan mudah dapat dimasuki, terlebih dengan sentuhan kasih sayang, berupa perhatian dan bantuan pangan yang memang mereka perlukan, terlebih disaat yang tepat, saat mereka kekurangan.

Di tengah-tengah beruntunnya bencana alam, mulai dari tsunami Aceh, Pangandaran, gempa Jogyakarta, lumpur Sidoarjo, korban banjir dll, mereka yang sudah merencanakannya dengan baik, telah tampil di barisan terdepan memberikan bantuan dan santunan. Bukan basa-basi yang cuma sekedar kentara dipermukaanya saja, ia melakukannya dengan serius. Ketika orang lain telah pergi setelah menengok beberapa hari, ia terus melanjutkannya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Bersama dengan korban ia jalani kesedihan bersama, hingga hatinya menyatu, sama-sama merasakan kesedihan yang diakibatkan oleh bencana.

Disinilah kehebatan mereka, dan patut diacungkan jempol, tanda hebat dan patut ditiru. Kaum muslim tidak perlu marah, tidak perlu mengurut dada tanda kesal, kecewa, tidak menerima kenyataan itu. Bukankah yang mesestinya  harus demikian itu kaum muslim , bukankah ajaran Islam yang menuntun demikian, apalagi mereka ~para korban merupakan kaum muslim juga, bukankah Muhammad Rasulullah SAW, mengajarkan sesama muslim saudara, bagaikan bangunan yang satu dengan bagian lainnya saling menguatkan~kalbunyanin, yasuddu ba'dhohu ba'do', Siapa saja yang memutuskan hubungan silaturahmi sesama muslim tidak mau surga~ layadhulul jannah man qoto'a rahimahu.

Tentu saja rasa kesal, tidak menerima dan kecewa tidaklah berarti apa-apa, bagi kaum muslim sudah saatnya sadar akan kekeliruannya selama ini. Sudah saatnya bertindak, bersikap, menyingsingkan lengan tangan. Mengambil bagian untuk membantu sesamanya, melalui kegiatan nyata, terlebih di saat saudaranya membutuhkan, karena terhimpit beban hidup, atau karena musibah bencana alam yang nampaknya hampir dua tahun merus tenerus mengiringi perjalanan bangsa, yang mayoritas berpenduduk muslim. Kalau tidak, jangan salahkan siapa-siapa. semoga mr0207sb03

Tidak ada komentar: