BILA DIPANGKU MATI
Saya
datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak
dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan
cinta. Demikian pernyataan Hendry Martyn~ seorang misionaris kristen klasik yang
memandang bahwa penyebaran Krinten tidak perlu dilakukan dengan kekerasan.
Kendatipun saat ini hal itu tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dilakukan AS
terhadap Afganistan dan Irak dan mungkin esok ke Iran, masih sangat kental
kaitannya dengan gold gospel dan glory.
Muatan
logika dan cinta merupakan keharusan yang harus ditempuh, hal itu karena
mungkin pengalaman sejarah lewat perang salib dipandang telah keliru dan gagal.
Bagi
misionaris mengkristenkan kaum muslim merupakan suatu keharusan, kalau tidak
maka dunia akan menjadi Islam. Kekhawatiran inilah yang semakin menyemangati
tindakan mereka, apalagi semakin hari di belahan dunia kaum muslim semakin
banyak saja~ peminat ajaran Islam semakin bertambah terus. di negara-negara
yang tadinya tidak ada atau single mayority kristen kini sudah ditumbuhi muslim
dan semakin berkembang saja. Sakali lagi mengkristenkan kaum muslim bisa
dimengerti sebagai satu keharusan yang tidak bisa ditawar, terlebih di
mayoritas muslim Indonesia~khususnya lagi Jawa~dengan budayanya yang lembut.
Sebuah
budaya Jawa yang sangat dipercayai dan dipakai misionaris adalah simbul huruf
Jawa. Menurutnya kepercayaan orang-orang Jawa,
huruf Jawa tidak bisa dipangku, bila dipangku maka akan mati. Karenanya
perlu sentuhan kasih dan cinta, perlu dibantu, dibiayai, diberi perhatian
besar, dengan demikian hatinya akan luluh, pendapatnya akan berubah. Dengan
dasar itulah mereka benar-benar memperlakukannya dengan hati-hati, dengan
kelenturan budayanya, ia dengan mudah dapat dimasuki, terlebih dengan sentuhan
kasih sayang, berupa perhatian dan bantuan pangan yang memang mereka perlukan,
terlebih disaat yang tepat, saat mereka kekurangan.
Di
tengah-tengah beruntunnya bencana alam, mulai dari tsunami Aceh, Pangandaran,
gempa Jogyakarta, lumpur Sidoarjo, korban banjir dll, mereka yang sudah
merencanakannya dengan baik, telah tampil di barisan terdepan memberikan
bantuan dan santunan. Bukan basa-basi yang cuma sekedar kentara dipermukaanya
saja, ia melakukannya dengan serius. Ketika orang lain telah pergi setelah
menengok beberapa hari, ia terus melanjutkannya dengan penuh perhatian dan
kasih sayang. Bersama dengan korban ia jalani kesedihan bersama, hingga hatinya
menyatu, sama-sama merasakan kesedihan yang diakibatkan oleh bencana.
Disinilah
kehebatan mereka, dan patut diacungkan jempol, tanda hebat dan patut ditiru.
Kaum muslim tidak perlu marah, tidak perlu mengurut dada tanda kesal, kecewa,
tidak menerima kenyataan itu. Bukankah yang mesestinya harus demikian itu kaum muslim , bukankah
ajaran Islam yang menuntun demikian, apalagi mereka ~para korban merupakan kaum
muslim juga, bukankah Muhammad Rasulullah SAW, mengajarkan sesama muslim
saudara, bagaikan bangunan yang satu dengan bagian lainnya saling
menguatkan~kalbunyanin, yasuddu ba'dhohu ba'do', Siapa saja yang memutuskan
hubungan silaturahmi sesama muslim tidak mau surga~ layadhulul jannah man
qoto'a rahimahu.
Tentu
saja rasa kesal, tidak menerima dan kecewa tidaklah berarti apa-apa, bagi kaum
muslim sudah saatnya sadar akan kekeliruannya selama ini. Sudah saatnya
bertindak, bersikap, menyingsingkan lengan tangan. Mengambil bagian untuk
membantu sesamanya, melalui kegiatan nyata, terlebih di saat saudaranya
membutuhkan, karena terhimpit beban hidup, atau karena musibah bencana alam
yang nampaknya hampir dua tahun merus tenerus mengiringi perjalanan bangsa,
yang mayoritas berpenduduk muslim. Kalau tidak, jangan salahkan siapa-siapa.
semoga mr0207sb03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar