Ideologi di Dalam Laci
Banyak pihak meragukan kemungkinan koalisi antara warna merah dan kuning. Alasannya, warna merah (PDIP) telah memutuskan calon presidennya, sementara warna kuning (Golkar) menghendaki posisi yang sama. Secara ideologis, mereka juga berbeda dan posisi politiknya kian jauh karena Mega cenderung kritis terhadap langkah pemerintahan SBY-Kalla.
Secara umum, koalisi partai di Indonesia tidak mungkin dilandasi basis ideologi. Sebab, dari segi ideologi, partai-partai politik yang berpotensi memperoleh suara justru amat berbeda. Ideologi partai yang memiliki dukungan kuat pada Pemilu 2004 terkotak-kotak pada empat tipologi. Keempatnya adalah Islam, nasionalisme, demokrasi, dan pembangunan.
Di antara kelompok partai yang berideologi Islam seperti PKB, PAN, PKS, PPP, PBB, dan PBR, misalnya, walau satu warna, dalam politik praktis mereka sulit bergabung.
Sulitnya partai-partai berbasis ideologi Islam bergabung -walau mereka satu warna- itu adalah fenomena perpecahan politik kaum santri. Ego bahwa hanya kelompoknya yang berhak duduk sebagai calon presiden menjadi salah satu kendala terwujudnya koalisi partai-partai yang berlatang belakang Islam tersebut. Ini sebenarnya persoalan lama, khas -karena ada perbedaan identitas keagamaan yang berimbas pada identitas politik partai.
Tidak Langgeng
Namun, fenomena seperti itu tidak akan langgeng. Sebab, dalam sejumlah kasus pilkada langsung sepanjang 2008, koalisi justru menunjukkan lintas ideologi. Artinya, peluang koalisi partai yang berideologi berbeda sangat terbuka, bergantung kepada faktor peluang dan kepentingan.
Peluang tentu berkaitan dengan strategi kemenangan. Apakah dengan membangun kerja sama dan bergabung akan memperoleh keuntungan untuk menang dan berkuasa? Kepentingan tentu dapat ditebak dengan mudah, apa yang akan diperoleh, uang atau jabatan/kekuasaan.
Dalam kasus demikian, pola koalisi partai dalam pilkada dan mungkin dalam pilpres ke depan justru tidak didasarkan semata-mata kepada ideologi. Artinya, ideologi dimasukkan ke dalam laci, dikunci rapat-rapat, dan baru dibuka kembali tatkala koalisi yang dibangun sedang goyah atau adanya ketidakselarasan dalam pembagian kekuasaan.
Contoh yang telanjang ialah rapuhnya bangunan koalisi parpol yang mendukung calon presiden SBY-JK pada Pemilihan Presiden 2004. Begitu pasangan kelompok itu menang, tahap selanjutnya adalah pembagian kekuasaan dan jabatan. Dari sana tampak kepentingan partai pendukung.
Dari fenomena di atas, keraguan bahwa koalisi merah dan kuning sulit terwujud juga tidak berdasar. Dalam politik, semuanya serbamungkin karena tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik.
Koalisi untuk Berkuasa v Oposisi
Ada gejala yang tak sehat dalam perkembangan wacana koalisi parpol menjelang Pemilu 2009. Sebab, koalisi hanya dirancang untuk berkuasa, bukan sebagai koalisi untuk berposisi sebagai oposisi.
Apa maknanya? Ada penyakit yang sedang menggerogoti para politisi dan parpol kita. Sebab, mereka hanya cenderung mendekat kepada kekuasaan. Sebaliknya, mereka enggan bergabung dalam rangka mengontrol kekuasaan.
Bila hal itu terjadi, praktik politik pasca Pemilu 2004 akan terulang kembali. Ketika hampir seluruh parpol di parlemen mendukung pasangan SBY-JK, PDIP pun menjadi kesepian sebagai oposisi. Fenomena parpol yang tidak punya teman karena mengambil jarak dengan kekuasaan selalu kritis dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa sangat mungkin akan terulang kembali.
Kondisi demikian menggambarkan tiga penyakit partai. Pertama, oportunisme. Gejala partai-partai yang berbeda koalisi, kemudian beralih mendukung pihak yang berkuasa, merupakan gejala yang latah. Idealnya, ketika calon-calon yang mereka usung kalah, mereka bertindak sebagai kelompok oposisi, bukan sebaliknya, mengubah haluan dalam waktu singkat.
Kedua, penyakit lupa. Mereka melupakan esensi keberadaan partai politik dan politik itu sendiri. Bahwa kehadiran partai politik bukan hanya diperlukan untuk berkuasa, tetapi juga untuk mengawasi.
Hakikat oposisi politik adalah dalam rangka pengawasan serta mengawal visi dan misi pemerintah agar selalu berada pada garis janji dan program yang pernah dilontarkan kepada rakyat.
Ketiga, penyakit mencari untung semata. Dampaknya, mereka harus dekat dengan kekuasaan atau pihak yang memerintah. Sebab, partai politik dan kekuasaan dijadikan sebagai mesin ATM partai dan individu untuk mengeruk keuntungan.
Hitungan untung rugi pun sangat kental. Orang-orang yang mendirikan partai politik dan sebagai politisi harus memperoleh laba atas investasi dan pengeluaran politik selama musin kampanye.
Celakanya, penyakit ketiga tersebut berkelindan dengan kecenderungan umum ketika sebagian besar orang ramai-ramai masuk dalam dunia politik agar cepat kaya.
Kondisi demikian akan membangkrutkan negara secara sosial dan modal. Sebab, kehadiran partai politik bukan untuk tujuan memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan diri mereka sendiri. Maknanya, partai politik kita masih menjadi beban dan bukan sebagai solusi untuk memperbaiki negara yang semakin di ambang kebangkrutan.mr-jawapos.
*. Moch. Nurhasim , peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar