Bedug yang diduga kuat berasal dari India dan Cina diakui berfungsi pula sebagai alat komunikasi keagamaan dan politik, kata penulis Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana Massardi (Yudhis), di Jakarta, pekan lalu.
Ketika Laksamana Cheng Ho hendak meninggalkan Jawa, raja Jawa tidak meminta apa-apa kecuali mengatakan, 'saya ingin mendengarkan suara bedug di masjid-masjid," kata Yudhis dalam diskusi "Peran Bedug Dalam Budaya Indonesia."
Sejak itu, konon bedug pun menjadi bagian dari masjid. Seperti Cina, negeri asal Cheng Ho, di mana bedug ditempatkan di kuil-kuil Budha sebagai alat komunikasi ritual, di Indonesia pun alat itu dibunyikan untuk pemberitahuan waktu shalat.
"Belakangan, tepatnya di zaman Orde Baru (Orba), bedug menjadi bagian dari politik keagamaan dan pemerintahan," katanya.
Penulis novel "Arjuna Mencari Cinta" ini mengungkapkan, saat Orba berkuasa bedug prnah dikeluarkan dari surau dan mesjid karena mengandung unsur-unsur non-Islam. Bedug lagi digantikan oleh pengeras suara.
"Gerakan itu dilakukan kaum Islam modernis, namun warga NU puritan melakukan perlawanan sehingga sampai sekarang kita masih bisa melihat masjid yang tetap mempertahankan bedug," katanya.
Pembersihan bedug dari masjid adalah juga kegiatan politik pemerintah untuk mendekati umat Islam, khususnya kaum modernis dari Muhamadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar