Ta’ziah saat haid
Bagi perempuan tidak semua yang halal menjadi boleh,
ada batasan atau larangan yang mengaturnya, terlebih jika ia sedang haid.
Sholat yang tadinya wajib tidak boleh, berhubungan suami-istri yang tadinya
halal menjadi haram, puasa Ramadhan menjadi tidak perlu dijalani tetapi wajib
dibayar-ganti di waktu yang lain-qodlo, dst.
Diantara yang membatsinya bila ia haid al: sholat atau thawaf di Ka’bah, berpuasa dan berhubungan suami istri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda , “Sholat tidak
akan diterima tanpa suci.” (HR. Muslim) hadist lain Rasulullah bersabda
“Thawaf mengelilingi Ka’bah adalah sholat, hanya
saja Allah membolehkan bercakap-cakap di dalamnya.” HR. Tirmidzi.
Aisyah radhiallahu
‘anha mengatakan, “Dahulu kami
mengalami haidh di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kami pun
diperintahkan untuk mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari
lain) dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (Muttafaq
‘alaih)
Sedangkan larangan berhubungan intim bagi wanita haidh
terdapat dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah
apapun kecuali hubungan intim.” HR. Muslim.
Untuk musibah kematian ada beberapa larangan, baik
laki-laki maupun perempuan, bukan yang sedang haid saja al:
- Meratapi mayit -niyahah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan dibungkus baju dari kudis.” HR. Muslim,
- Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
- Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih).*1.
- Mengurai atau mengacak-acak rambut. Hal ini berdasarkan salah satu isi janji setia kaum wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu, “(Kami berjanji) untuk tidak mengacak-acak rambut (ketika tertimpa musibah).” HR. Abu Dawud,
Dari beberapa uraian singkta tersebut, maka tidak
diketemukan adalanya larangan ta’ziah bagi perempuan yang sedang haid, artinya
boleh dan tidak dilarang, asal jangan menjadikannya tempat kumpul-kumpul dan
mengobrol.*2 atau mengantarkan mayit ke pemakaman, Rasulullah bersabda “Ummu
‘Athiyah radhiallahu ‘anha
mengatakan, “Kami (kaum wanita)
dilarang untuk mengikuti iringan jenazah namun beliau tidak keras dalam melarangnya.” Hr Muttafaq ‘alaih.
Sedang bagi laki-laki merupakan anjuran Fardi Ain,
sabda Rasulullah “siapa saja yang
menyolati jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya maka dia mendapat pahala
satu qirath. Dan apabila dia juga mengiringinya maka dia mendapat pahala dua
qirath” Ditanyakan kepada beliau, “Apa maksud dari dua qirath?” Beliau
menjawab, “Yang terkecil dari keduanya (satu qirath) ialah serupa dengan
besarnya Gunung Uhud.” HR. Muslim.
Jadi diperbolehkan bagi perempuan yang sedang
haid untuk berta’ziah, dengan maksud
menyuruh keluarga yang ditinggal mati untuk bersabar, membuat mereka terhibur
dan tabah sehingga akan meringankan penderitaan yang mereka rasakan dan
mengurangi kesedihan hati mereka, sabda Rasulullah , “Tidaklah seorang mukmin menta’ziyahi saudaranya karena musibah yang
menimpanya melainkan Allah ‘azza wa jalla memberinya pakaian kemuliaan pada hari kiamat.” HR. Ibnu Majah.
Mrmart2013.
--------
*1. Shaaliqah adalah
perempuan yang menangis dengan keras-keras. Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya ketika
tertimpa musibah, sedangkan Syaaqqah
adalah wanita yang menyobek-nyobek pakaiannya karena tidak terima dengan
ketetapan takdir dari Allah.
*2. Ada dua larangan berkenaan musibah kematian “Pertama,
sengaja berkumpul-kumpul di tempat kematian; seperti di rumahnya, pekuburan
atau di masjid, Kedua,
keluarga mayit membuatkan makanan bagi para pelayat. “(para sahabat) mengategorikan perbuatan berkumpul-kumpul di tempat
keluarga mayit serta membuat jamuan makan (untuk pelayat) sesudah penguburannya
adalah termasuk niyahah (meratapi mayit).” HR. Ibnu Majah.