Bermadzhab
perlukah
Secara bahasa, madzhab dapat diartikan sebagai tujuan
keberangkatan, atau dengan kalimat yang lebih ringkas, madzhab sama dengan
pendapat. Bermadzhab, berarti mengikuti pendapat. Bermadzhab Syafii, artinya
mengikuti pendapat Imam Syafii, dst.
Namun yang menjadi persoalan terkadang orang yang
menganut mazhab tertentu sebenarnya ia tidak mempelajarinya langsung pada
sumbernya, kebanyakan ia hanya mengikuti ustadz dimana ia mengaji tidak
mempelajarinya dari buku-buku mazhab yang ia ikuti. Sehingga tidak sedikit
diantara mereka yang kemudian tidak tahu yang sebenarnya. Sebagai contoh adalah
dalam masalah peringatan kematian. Mereka yang membela dan melestarikannya,
semuanya mengaku bermadzhab Syafii, Padahal Imam Syafii dan ulama madzhab syafiiyah
sendiri menentangnya.
Contoh lain dalam riwayah disebutkan ““Saya suka bila (kuburan)
tidak dibuat binaan dan bangunan, kerana itu menyerupai penghiasan dan
kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya
tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar didirikan sebarang
binaan. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahawa Rasulullah s.a.w. telah
melarang kuburan dibinakan binaan atau ditembok. Saya sendiri melihat
sebahagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya
(kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut. (al-Umm
1/277. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/258)*1
Karenanya menjadi penting ketika ia mengatakan
bermazhab tertentu ia membaca bukunya, memahaminya dari sumber-sumbernya.
Sehinggaiabisa mengambil sikap dengan penuh keyakinan, karena ia tahu dasarnya.
Para iman mazhab, pada dasarnya tidak menghendaki
seseorang dengan begitu saja mengikutinya, tanpa tahu hakekat sebenarnya, tanpa
mengetahui dalil yang menjadi dasar mereka, hal itu mereka ungkapkan dalam
pesannya al:
Imam Abu Hanifah mengatakan,
“Jika saya
menyampaikan pendapat yang bertentangan denagn Al-Quran dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tinggalkanlah pendapatku.” *2
Imam Malik pernah berpesan:
Siapapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendapatnya layak diambil atau
ditolak. Kecuali keterangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
Imam asy-Syafii mangatakan,
Semua pendapatku, namun keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertentangan dengan pendapatku maka hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak diikuti dan janganlah
taqlid kepadaku
Imam Ahmad berpesan,
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula
taqlid kepada Malik, As-Syafii, Al-Auzai, At-Tsauri. Ambillah dari mana mereka
mengambil.”
Dari beberapa pesan di atas,para imam tidak berharap madzhabnya disikapi
sebagaimana syariah-hukum- yang terhindar dari kesalahan. mereka tidak bermaksud
untuk memintaseseorang agar mengikuti pendapatnya. Bahkan mereka menolak ketika
ada orang lain yang mengambil pendapatnya, tanpa mengetahui dalil yang menjadi
dasar mereka. Dengan demikian pada hakekatnya seseorang tidak diperbolehkan
untuk taqlid selama dia masih mampu untuk berijtihad.*4. Sementara orang yang taqlid, dia diperintahkan
untuk bertanya kepada ulama yang mampu menjawab pertanyaannya. Dan tidak harus
terikat dengan madzhab tertentu dari madzhab yang ada. kedudukannya sebagaimana
yang dikatakan sebagian ulama: “Madzhabnya orang awam sama denagn madzhabnya
orang yang dia mintai fatwa.” Inilah yang menjadi pegangan para ulama.
Dengan demikian, seorang mungkin saja mengikuti banyak
madzhab, dalam berbagai ibadahnya. Bahkan dalam satu kali shalat yang dia lakukan. Bisa saja orang shalat dengan cara takbir menurut madzhab Hanafi, sedekap menurut madzhab Maliki,
ruku’ dengan madzhab Syafii, dan i’tidal dengan madzhab Hambali. Seorang muslim
tentu yakin, ada salah satu dari sekian tata cara dari masing-masing madzhab
tersebut yang lebih mendekati kebenaran. Sehingga ia bisa mengambil kesimpulan,
tidak mungkin ada satu madzhab yang pendapatnya benar secara mutlak. Atau
karena awamnya ia sebenarnya telah melakukan dengan tidak hanya satu mazhab saja
dalam melaksanakan sholat.*3 ini semata-mata karena ketdaktahuannya. *5.
Memang sebaiknya dalam bermazhab, seseorang hendaknya
juga tahu dari sumber mazhab yang diikutinya. Dengan demikian ia menjadi yakin
akan kebenaran dari sumber-sumbernya, dan menjalankannya tanpa keraguan, tidak
asal ikut saja – taqlid buta.- memegangi semua pendapat madzhab tersebut tanpa
peduli benar dan salahnya. Mr mart 2013
-----
*1. Disarikan dari -mazhabsyafii.blogspot.com/2012/01/10-fatwa-fatwa-imam-syafii, disampaikan pula ““Saya melarang dibinakan masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk solat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau solat menghadap kuburan. Apabila ia solat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/261), lainnya, baca juga :Fiqih Imam Syafi'i , Penulis : Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, pustaka-anas.
*2. Fiqih Lima Mazhab (Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali) Muhammad Jawad Mughniyah,Lentera Basritama (first published 1996), Intisari Fiqih
Madzhab Syafi’i, Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathir, Penerbit: Cahaya Ilmu Publisher, September 2011
*3. Lihat - perbedaan-cara-salat-menurut-mazhab,-http://muslimsufi.blogspot.com, lihat juga Kitab Al Um,Penulis: Imam Asy Syafi’i, Penerbit:
Pustaka Azzam.
*4. Baca Mahrus Ali – mantan KIA NU menggugat – pn Latasyuki,
solo 2007, hal 139-142.
5. Sebaiknya orang awam, yang menjadi pegangan para
ulama- mengikuti saja dengan mazhabnya orang yang dimaintai fatwanya-ustadznya,
menjadi semazhab. Untuk menjadi tidak bingung, walaupun tetap sebaiknya tahu
akan mazhan yang diikutinya dari sumbernya. Tidak sekedar taklid buda- panatik
pada mazhab atau juga panatik pada ulama, ibid, h 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar