Azan-Qomat saat pemakaman
Ketika seseorang mengantarkan mayit ke pemakaman untuk
dikubur, ia akan menyaksikan azan dan
qomat dikumandangkan saat mayit di
kubur. Setelah selesai, dilanjutkan dengan penimbunan tanah ke liang kubur,
ditutup dengan do’a, dan sering juga dilakukan pembacaan Yasin dan tahlil
sebelum meninggalkan makam. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi- kebiasaan sejak
lama -entah sejak kapan, karena sulitnya mencari awal mulanya.
Nmun karena itulah sehingga kebanyakan
muslim menyakininya bahwa apa yang dilakukannya itu bagian dari syariat Islam, tanpa tahu
apakah memang benar begitu syariat mengajarkannya, yang pasti ia melihat kiai-kiai terdahulu melakukannya. Indonesia
sendiri dijajah 350 tahun oleh Belanda ditambah Jepang 3,5 tahun, saat
penjajahan tersebut tidak tahu persis apa yang terjadi, terutama berkenaan
dengan syariat Islam dan tradisi bangsa, kesemuanya tercampur menjadi satu. Dr.
Aqib Suminto menulis ada beberapa
pembelokan syariat untuk kepentingan penjajahan, terutama dengan memakai Islam
sebagai politik penjajahannya*1.
Karena para kiai terdahulu mengajarkannya demikian,
maka muridnyapun melakukannya, begitu seterusnya sehingga menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Padahal pada masa
rasulullah, berdasarkan literatur dan kesejarahan khulaur Rasyidin tidak
diketemukan. Dalam artian tidak ada rujukan yang mensyariatkan azan dan qomat
saat pemakaman.
Namun, karena ini sudah masuk ke ranah khilafiah, masalah boleh tidaknya melakukan azan dan
komat saat pemakaman menjadi selisih pendapat yang berkepanjangan, setidaknya
ada dua pendapat yang membolehkan dan
yang melarangnya.
Yang membolehkan, mengemukakan hadist :
لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
“Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum
ditutupi dengan tanah.” HR. Ad-Dailami*2.
Yang melarang
perbuatan tersebut tidak ada contohnya dan ia mengatakan bid’ah, karena memang tidak ada
tuntunanya dari rasulullah atau ulama terdahulu. Sehingga ketika Syaikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah*3,
ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab: “Tak ragu lagi bahwa hal itu
adalah bid’ah yang tak pernah Allah turunkan keterangan tentangnya. Karena, hal
itu tak pernah ternukil dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya
-radhiyallahu anhum *4.
فَأَجَابَ
بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ
قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ
الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا
يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ
Bahwa hal itu adalah bid’ah. Siapa saja yang menganggap bahwa adzan dan iqomat tatkala turun ke
kuburan adalah sunnah dengan mengqiyaskannya dengan disunnahkannya adzan dan
iqomat terhadap bayi yang baru dilahirkan serta dengan alasan bahwa akhir suatu
perkara mengikuti awalnya maka ini adalah pernyataan yang salah.
Betapa banyak sesuatu yang menyatukan antara dua perkara dan sebatas bahwa
begini diawalnya dan begitu di akhirnya sesungguhnya tidak mengharuskan yang
akhir mengikuti yang awal. *5
Menurut Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin mengatakan,
Ibnu Abidin mengatakan,
“Tidak
dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana
yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan
fatwanya bahwa itu bid’ah.” Hasyiyah
Ibnu Abidin, *6.
Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan
Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan
ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan
iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia
sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang
bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang
satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan.
Madzhab Maliki
Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
Apakah terdapat khabar (hadis) dalam masalah adzan dan
iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya
hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian
ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di
telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia,
sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah
dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah),
tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.”
Madzhab Syafi’i
Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,
Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,
“Ketahuilah,
sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak
sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya
seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).”
Madzhab Hambali
Ibnu Qudamah berkata,
Ibnu Qudamah berkata,
“Umat sepakat
bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak
disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk
pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak
terdapat pada selainnya.
Dari beberapa pendapat di atas, yang
lebih kuat adalah tidak disunatkan
mengumandangkan azan ketika menguburkan mayat. Walaupun ada pendapat yang lain membolehkan
–disunatkankan, dengan alasan karena
diqiyaskan orang yang meninggalkan dunia dengan bayi yang baru lahir yang
merupakan awal dari memasuki dunia ini. pendapat mazhab Syafii, mayoritas
dianut muslim Indonesia, dalam hal ini
juga tidak mensunatkannya. Karena ini masalah khilafiah, tidak menyalahkan
begitu saja terhadap yang membolehkannya, artinya tetap diperbolehkan dengan
beberapa ketentuan, dengan bersikap arif bijaksana tidak perlu dicegah terhadap
yang melakukan azan dan qomat ketika menguburkan mayat, karena melakukannya
tidak menyebabkan jatuh dalam kemaksiatan dan tidak menimbulkan mafsadah, tetapi
hanya melaksanakan perbuatan yang tidak dituntut berdasarkan pendapat yang kuat.
ada satu ketentuan dalam hal mencegah mungkar yaitu:
لا ينكر فيما يختلف فيه
"tidak diingkar
perbuatan yang ada khilafnya"
ini berlaku selama khilaf tersebut masih dapat
diterima, dan para ulama kita tidak pernah melarangnya, dan telah dijalankan oleh masyarakat semenjak
dahulu
jelas sudah Semua keterangan di atas mengerucut pada
satu kesimpulan bahwa Azan
dan Qomat di saat pemakaman, bukanlah
Sunnah karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak pernah mencontohkannya,
begitu juga dengan membaca Al-Qur’an,
yang dicontohkan adalah jika telah selesai dari menguburkan mayat,
beliau berdiri di atasnya dan berkata” “Mintakanlah ampun bagi saudara kalian
ini dan mohonkanlah baginya keteguhan. Sesungguhnya sekarang ini ia sedang
ditanya. Wallahu’alam,
mr-mart2013
-------------
*1. Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda, pn LP3ES, Jakarta. baca juga Kiai Sadrah- Nama kelahirannya
adalah Radin, saat dia berguru di pesantren
daerah Jombang
namanya bertambah menjadi Radin Abas. dari Jombang
ia hijrah ke Semarang
dan bertemu dengan seorang penginjil
yang bernama Hoezoo dan ikut kelas Katekisasi
yang diajar oleh Hoezoo tersebut. Di dalam proses Kelas Katekisasi tersebut, ia
berkenalan dengan seseorang yang sudah sepuh (tua) bernama Kiai Ibrahim Tunggul
Wulung yang
asalnya sedaerah dengan Radin, yaitu dari daerah Bondo, Karesidenan Jepara. Sejak
itu, Radin menjadi murid Tunggul Wulung. Dan lihat pula “ Christiaan Snouck Hurgronje, setelah tamat dari Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi
dan Sastra Arab, 1875
Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan
ke Mekkah, 1884.
Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan
membimbingnya, Snouck memeluk Islam
dan berganti nama menjadi Abdul
Ghaffar.Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA. Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh. Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara.
Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan ulama. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje
*2. Walaupun ada yang mengatakan hadist ini “Sanadnya batil, karena hadis ini termasuk
riwayat Muhammad bin Al-Qasim Ath-Thayakani, di mana dia telah dicap sebagai
pemalsu hadis.”
*3. adalah seorang
ulama kontemporer yang ahli dibidang sains Hadits, Aqidah, dan Fiqih. lahir di
Riyadh - Arab Saudi tahun 1909 M/1330 H. Syaikh
Bin Baz pernah menjabat sebagai mufti (penasehat agung) kerajaan Arab Saudi,
kepala majelis pendiri Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia), rektor Universitas
Islam Madinah, anggota dewan tertinggi Hai'ah Kibaril Ulama (semacam MUI di
Arab Saudi), dan ketua dari Dewan Risen Ilmu dan Fatwa (al-Lajnah ad-Daimah lil
Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta'). Beliau meninggal dunia pada tahun 1999 M/1420 H
dan disemayamkan di pemakaman Al-Adl, Mekkah.
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Aziz_bin_Abdullah_bin_Baz
*4. Lihat Fatwa:
Majmu' Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz, dalam kutipan - www.darussalaf.or.fatwa-ulam hukum-adzan-dan-iqamat-di-kuburan.
*5. Fatawa al
Fiqhiyah al Kubro juz III, terbitan Beirut-lihat di Perpustakaan UIN Malik
Ibrahim, http://lib.uin-malang.ac.id.
*6. Seorang ahli
fiqih madzhab Hanafi. Fatwa-fatwanya dikumpulkan dalam kitab Tatar Khaniyyah. Lihat http://referensi-persis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar