Pahala Sedekah
Untuk Mayit
Awalnya mencari pahala tahlilan, tapi yang ketemu
banyak adalah pahala sedekah untuk yang
sudah meninggal-mayit. Ternyata memang dibolehkan dan pahalanya bisa sampai
kepada si mayit. dari Aisyah radhiallahu
‘anha, bahwa ada seorang lelaki
yang berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Ibuku mati mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Saya yakin, andaikan
beliau sempat berbicara, beliau akan bersedekah. Apakah beliau akan mendapat
aliran pahala, jika saya bersedekah atas nama beliau?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Ya. Bersedekahlah atas nama
ibumu.” HR. Bukhari, Muslim.
Dalam hadis yang lain, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa ibunya Sa’d bin Ubadah meninggal dunia “Wahai
Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak hadir. Apakah dia mendapat
aliran pahala jika aku bersedekah harta atas nama beliau?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Ya.” HR. Bukhari.
Dari hadist tersebut,
beberapa pendapat mengatakan bahwa bersedekah untuk orang tua yang sudah
meninggal akan sampai pahalanya, bukan berarti dibolehkannya tahlilan, atau
memperingati kematian seseorang. Karena sedekah atas nama yang sudah meninggal
lain pengertian dan maknanya dengan mengirimkan do’a dengan cara tahlilan
beramai-ramai. Yang malah bisa diterima adalah do’a anak sholeh untuk orang
tuanya yang sudah meninggal, yaitu waladun sholeh yad’ulahu, yang terus
mengalir kepada kedua orang tuanya.
Sedang tahlilan, dengan mengumpulkan tetangga di rumah
keluarga mayit, dan membuat makanan setelah jenazah dimakamkan termasuk perbuatan niyahah-meratapi mayit,
dan itu dilarang. Pernyataan ini disampaikan oleh sahabat Jarir, menceritakan
keadaan di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa mereka -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat- sepakat, acara
kumpul dan makan-makan di rumah duka setelah pemakanan termasuk meratapi mayat.
Artinya, mereka sepakat untuk menyatakan, niyahah –meratap mayit- termasuk hal yang dilarang.
Namun demikian, sebagian berpendapat bahwa hadist tersebut pertanda
membolehkan adanya tahlilan, kenduri arwah, peringatan kematian dengan membaca
yasin di rumah duka secara beramai-ramai. Kegiatan ini diartikan juga sebagai
sedekah dengan mengundang tetangga. sedekah yang diwujudkan dalam bentuk nasi
dan makanan yang diberikan melalui acara tahlilan.
Begaimana menurut Imam Syafi’i, dimana kamum muslimin
Indonesia mayoritas menganutnya. ternyata ulama Madzhab Syafi’i dan madzhab yang
lainnya melarang dan membenci acara kumpul-kumpul dalam rangka memperingati hari kematian.
Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam
kalangan NU untuk belajar fikih Syafi’i pada level menengah atau lanjutan.
‘Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk menerima
orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh hukumnya
keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya’.
Dikuatkan dari riwayat Imam Ahmad dari Jarir bin
Abdillah al Bajali –seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya banyak
orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit
membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.
Dalam Hasyiyah
al Jamal untuk kitab Syarh al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah
munkarah dan makruhah adalah perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa
sedih lalu mengumpulkan banyak orang pada hari ke-40 kematian mayit*1. Bahkan
semua itu hukumnya haram jika acara tersebut dibiayai menggunakan harta mayit yang
meninggal dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.”atau dari harta anak yatim .
Sebaliknya dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan
mahram dengan jenazah, kawan dari keluarga mayit –meski bukan berstatus sebagai
tetangga-dan kerabat jauh dari mayit –meskipun mereka berdomisili di lain
daerah- untuk membuatkan makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama
sehari-semalam semenjak meninggalnya mayit. Jadi yang menyediakan makanan atau
minuman bukan keluarga musibah-mayit-yang sedang berduka, tapi tetangganyalah
yang menyiapkan makanan untuk yang sedang berduka. Walluhu’alam, mr-mart2013.
-------------
*1.Dalam
Yasinan atau membaca ayat AlQur’an, al Imam Asy
Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum,
bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah
mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya -untuk
menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati- dan tidak juga pernah
memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan
terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak
ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat
(bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau
sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita
mengamalkannya. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak
bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”dari keterangan
ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya
disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama
besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar