Selasa, 09 Juli 2013

istimna’ atau adatus sirriyah



istimna’ atau adatus sirriyah

Dalam syariat Islam diperintahkan bagi siapa saja yang sudah siap menikah untuk mensegerakannya, apalagi kesiapan itu memang sudah didukung oleh beberapa faktor, baik diri sendiri berupa  umur yang cukup dsn pekerjaan yang tetap mrncukupi,  atau dari faktor lainnya, telah siapnya calon pinangan-pasangan. Bila bulum siap, maka ia dianjurkan untuk berpuasa. Rasulullah bersabda :
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” -Muttafaq ‘alaih.

Demikian syariat mengatakan, namun dengan perkembangannya banyak pemuda dan bahkan yang sudah menikahpun yang mencari kepusaan sendiri-beronani, ketika dorongan seksual begitu menuntut. Apakah kerena tidak tahan melihat flm, gambar, bacaan, atau lainnya bagi yang masih single-sendiri-belum menikah, atau karena tidak puas dengan pasangannya masing-masing bagi yang sudah menikah-bersuami-istri.  Mereka mencari jalan sendiri dengan cara onani, yaitu Melakukan  perangsangan organ sendiri dengan cara  menggesek-geseknya  melalui tangan atau  benda lain hingga mengeluarkan sperma dan mencapai orgasme. Atau dalam pengertian lain  yaitu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tambahan alat bantu sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya dia bisa mengeluarkan mani(ejakulasi).
Tujuan utama dari masturbasi adalah untuk mencari kepuasan atau melepas keinginan nafsu seksual dengan jalan tidak bersenggama. Dalam islam masturbasi dikenal dengan beberapa nama yaitu, al-istimna’ al-istimna’ billkaff, nikah al-yad, jildu umairah, al-i’timar atauadatus sirriyah. Masturbasi yang dilakukan oleh wanita, disebut al-iltha, dan dalam hal ini penulis memakai istilah “istimna’ atau adatus sirriyah’” kegiatan ini bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Hanya saja perempuan lebih sedikit di bandingkan laki-laki, karena  nafsu seksual perempuan tidak datang melonjak dan eksplosit, di samping perhatian perempuan tidak tertuju kepada masalah senggama karena mimpi seksual dan mengeluarkan sperma (ihtilam) lebih banyak dialami laki-laki.
Onani bisa dilakukan dengan pasangan-suami istri, bisa juga dilakukan sendiri, yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau yang dihalalkan oleh Allah SWT, Demikian pula sebaliknya  hukumnya halal bagi wanita dengan tangan suaminya Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan yang membedakannya.  Lain halnya dengan  Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan.
Firman Allah SWT Qs : Al Mu’minun 5-7.
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu‘minun: 5-7).
Rasulullah SAW bersabda ,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun ‘alaih.
Berdasarkan hadist tersebut sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa, itu artinya onani tidak diperbolehkan. Sedangkan Imam Asy-Syafi‘i mengharamkan onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.

Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta‘zir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau
(Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk membolehkan onani.
Namun demikian tetap saja dalam syariat ada perbedaan pendapat, sehingga ada yang membolehkannya, seperti ulama Hanafiah dengan memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara, yaitu karena takut berbuat zina dan kedua tidak mampu kawin-menikah, karena mahal dan memberatkan. Seperti seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara onani untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut.
Tetapi yang lebih baik dan utama dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. Terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah dan menjaga sahwat. Walluhu’alam, mr mart2013

Tidak ada komentar: