Senin, 05 Mei 2014

Sehidup semati



Sehidup semati

Banyak janji yang diucapkan kedua mempelai-pasangan suami-istri, dan salah satunya adalah berjanji untuk menjadi pasangan sehidup semati. Diantara keduanya saling berpesan, jika dia mati lebih dulu, istri tidak boleh menikah lagi sampai menyusul suaminya. Sebaliknya, istri juga berpesan, jika dia mati lebih dulu, suami tidak boleh nikah lagi hingga dia menyusul istri. 

Perjanjian semacam itu boleh saja dilakukan, sebagai ungkapan bahwa keduanya memang benar-benar saling menyayangi, bahwa pasangannya merupakan orang yang paling disayang, tidak ada yang lain. Jadi sebatas ungkapan perasaan yang mendalam akan kasih dan sayangnya terhadap sesama pasangan. Namun secara syariat tidak ada tuntunannya, karena bagaimanapun bila satu diantara keduanya telah mendahuluinya, pasangan yang tinggal perlu teman sama saat masih bersama. Untuk  saling  bercerita, bertukar pikiran dst sebagai hablum minannas, yang tidak bisa dipungkiri selalu memerlukannya.
Bahkan dapat dikatakan bahwa pernyataan tersebut, katakan saja suami membuat kesepakatan dengan istrinya, siapapun yang ditinggal mati, dia tidak boleh menikah hingga menyusul kematian pasangannya. Pernyataan  semacam ini tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan anjuran untuk menikah dalam islam. Firman Allah SWT Qs 24:32




 Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian, diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. QS. An-Nur: 32

Sehingga jika terjadi perjanjian semacam tersebut, maka ksesepakatan tersebut akhirnya menjadi tidak berlaku. Pengecualian istri Rasulullah Saw, yang sudah menjadi mafhum semua, bahwa larangan menikahi para istri Rasulullah Saw,  karena istri beliau di dunia adalah istri beliau di akhirat. Menikahi istri beliau termasuk pelanggaran besar terhadap hak beliau.

 Allah tegaskan dalam Al-Quran bahwa haram bagi kaum muslimin, untuk menikahi para istri Rasulullah Saw,  setelah beliau meninggal, Qs 33:53




Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. QS. Al-Ahzab: 53

Jadi yang berlaku dengan aturan tersebut adalah hanya khusus untuk  istri Rasulullah Saw. Meskipun di masa silam, sebagian tabiin tidak bersedia menikahi para istri sahabat senior yang telah meninggal, dalam rangka memuliakan mereka, dan mengenang jasa besar mereka terhadap islam. Para tabiin menganggap sahabat senior sebagaimana bapak mereka, dan tidak diperbolehkan menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapak, namun sebenarnya tidaklah terlarang.
Namun demikian tidaklah salah bila keduanya melakukan perjanjian, berkomitmen untuk tidak menikah hingga menyusul pasangannya. Yang tidak boleh adalah menjadikan komitmen ini sebagai syarat dalam pernikahan. Dan di samping itu perlu diingat bahwa Rasulullah Saw,  menjanjikan kedudukan yang tinggi di surga bagi janda yang bersabar mendidik anaknya, hingga anaknya dewasa.
”Saya dan wanita yang pipinya kotor seperti ini di surga.” beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah. ”wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, yang ditinggal mati suaminya, dia tidak menikah karena merawat yatimnya, hingga mereka mandiri atau mereka mati.” HR. Ahmad 24006, Abu Daud 5149.

Tidak ada komentar: