Senin, 05 Mei 2014

Masih ada duafa



              Masih ada duafa

Saat ngobrol santai di rumah, istri cerita mengenai teman-teman sepengajiannya yang  ingin melaksanakan umroh.  Katakan saja salah satunya adalah ibu goniati, yang  diberikan Allah SWT kecukupan harta, katanya ia berangkat karena anak-anaknya sudah besar-besar dan mandiri, sudah tidak tergantung lagi  kepadanya , dan baginya tidak ada lagi tanggung jawab  yang memberatkan, sehingga ia ingin melaksanakan umroh sekaligus pelesiaran ke beberapa tempat dengan biaya enam puluh jutaan rupiah. Sesuatu biaya yang cukup mahal, melebihi biaya haji reguler yang berkisaran tiga puluhan juta rupiah. Spontan saya bilang bukan sudah tidak ada tanggung jawab lagi, kan masih ada tetangga, masih banyak anak yatim dan orang-orang terlantar lainnya, du’afa misalnya yang bertebaran di negeri yang katanya terkebelakang ini.

Di media indonesia kolom editorial, edisi  sabtu 22 maret 2014, ada kisah kaum papa  yang perlu mendapat simpati dan perhatian. Dituliskan bahwa  aisyah tinggal di gerobak beca dengan ayahnya-nawawi,  yang sakit paru-paru. Aisyah hidup di gerobak beca bersama ayahnya yang tergolek lemah. Ia setiap hari berpindah-pindah tempat dengan harapan ada yang berbelas kasihan untuk menyambung hidupnya- membeli makanan dan obat warungan ayahnya. 

Aisyah tidak sekolah lagi, keinginannya untuk menjadi cerdas dan hidup lebih baik sudah pupus ditinggalkan, demi merawat sang ayahnya. Meski hidup dalam penderitaan, ia tak mau menunjukkan raut kesedihan. Aisyah bocah yang amat tegar,  ia terus memelihara harap­an. Ia tetap ingin ayahnya sembuh dan bisa bersekolah kembali.
Membaca kisahnya menjadi miris menyaksikan kehidupan Aisyah dan ayahnya, dan Aisyah hanyalah satu dari begitu banyak fakir miskin dan anak telantar yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Data statistik terakhir menunjukkan sedikitnya 5 juta anak masih hidup telantar di negeri ini di tengah-tengah bolbil mewah berseliweran.

Kisah yang dialami Aisyah menunjukkan kepada umat yang diberikan kelebihan rezeki  akan  kondisi paling nyata dari derita anak-anak telantar dan fakir miskin tersebut, dan ditanggnya ada tanggung jawab.  Kisah Aisyah juga menunjukkan kepada sisi kualitatif dari jutaan angka bisu kemiskinan dan ketelantaran. Pasti banyak anak telantar dan fakir miskin yang kondisinya lebih parah daripada Aisyah yang belum terungkap. Dan semua merupakan tanggung jawab bersama, bukankah kecukupan rezeki yang diberikan Allah SWT tersebut ada bagian untuknya. Nah disinilah letak korelasinya.
Seseorang yang diberikan rezeki yang cukup*1, tidaklah lantas ia bebas menggunakannya menurut keinginannya semata. Meskipun tanggung jawab utama keluarganya sudah tuntas, terselesaikan. Anak-anaknya sudah besar, mandiri dan kecupan harta pula. Karena masih banyak tanggung jawab yang menjadi kewajibannya, kaun duafa-fakir miskin *2 dst. dalam syariat  peduli kepada sesama merupakan bagian dari ajaran Islam. Pribadi-pribadi muslim yang dipenuhi rasa simpati dan empati kepada orang lain lebih dicintai oleh Allah SWT. Sebaliknya, mereka yang bersifat sombong akan hartanya dan individualis mendapat akan mendapat murka-Nya.
Allah SWT berfirman Qs 28:77




Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qs Al Qashas 77.

Dalam surah tersebut kata berbuat baik mengandung banyak makna, salah satunya adalah peduli. Peduli dalam bentuk berbagi atau memberikan kelebihan rezeki kepada orang lain,  berupa sedekah dan zakat. Jika bersedekah itu bersifat anjuran, sedangkan zakat itu wajib sebagai tanda menyucikan hartanya.


Allah SWT telah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi siapa saja yang peduli. Firman Allah SWT Qs 2: 261



 Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Qs Al-Baqarah: 261
Rasulullah SAW sendiri termasuk orang yang paling peduli pada sesama. Hingga kepada keponakannya, Ali bin Abi Thalib, beliau memberikan wasiat : ”Wahai Ali! Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain” (HR. Bukhari).
Siapa saja yang perlu dipedulikan, Allah SWT berfirman  Qs  9 :60




Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, QS. At Taubah: 60

 Begitu halnya dengan tanggung jawab dengan  anak yatim, seperti sabda asulullah Saw "Sebaik-baik rumah tangga muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim yang dilayani dengan baik" (H.R. Ibnu Majah)
Maka terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap   pengemis janganlah menghardik”.{QS.  Ad-Dhuha : 9 – 10 )
Semoga saja siapa saja-ummat,  selalu peduli terhadap fakir-miskin, juga kepada anak-anak yatim, sehingga tidak termasuk golongan yang mendustakan agma, seperti yang difirman dalam Qs : Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama, itulah orang yang menghardik anak  yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin “{QS. Al-ma’un : 1-3}

----------------muchroji m ahmad
*1. Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada kebutuhan primer, yaitu makan, minum, tempat tinggal, termasuk segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri dan orang-orang yang ia tanggung nafkahnya.
*2. Fakir miskin, secara singkat dapat dikatakan bahwa fakir itu tidak mempunya pekerjaan dan berpenghasilan, sedang ia membutuhkan biaya hidup. Sedang miskin, punya pekerjaan tetapi tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, meskipun hanya sekedar untuk makan saja. Dia adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang bisa mencukupi kebutuhannya. Keadaannya tidak diketahui sehingga ada yang memberinya sedekah, sedangkan ia sama sekali tidak meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaq ‘alaih)

Tidak ada komentar: