Ragu dalam
sholat
Seseorang tidak pernah luput dari lupa,
seperti halnya juga ia tidak pernah luput dari keragu-raguan. Sering kali hal itu menyelimutinya, yang
membuatnya ragu untuk menentukan sikap,
bukan hanya dalam keseharian berusaha, juga dalam beribadah, dalam hal
ini yang terakhirlah yang akan dikemukakan, walaupun yang lainnya tetap
disinggung dalam porsi yang kecil.
Menjelang magrib seseorang berwudhu dan sholat magrib, ketika waktu Isa’ tiba, ia mau sholat tapi ragu, apakah
wudhunya tadi sudah batal atau belum. Atau
disaat ia
melaksanakan sholat, baik dalam keadaan sholat, maupun sudah selesai salam,
timbul rasa keraguan . Keraguan tersebut bisa berupa lupa jumlah raka`at yang
telah dikerjakan (tertambah ataupun terkurangi), lupa tasyahhud awal, ragu saat
sholat sedang berada di raka`at keberapa dan lain sebagainya.
Dalam keadaan seperti ini, jangan bingung apalagi mengada-adakan sesuatu ataupun
mengarang-ngarangnya. Dalam hal wudhu di atas misalnya, kalau ia yakin belum batal
wudhunya karena memang belum buang angin
maka tetaplah berpegang kepada keyakinan itu. Tapi bila ia ragu, maka
berwudhulah, karena belum batal wudhu tidak bisa dipastikan dengan
keragu-raguan. Atau saat ia sholatia ragu
apakah sudah tiga rakaat atau empat rakaat, maka yang dianggap adalah
tiga rakaat karena yang tiga rakaat itu yang yakin, sedang yang empat rakaat
belum tentu dan untuk mencapai empat rakaat ia menambah satu rakaat lagi, dalam
hal ini yang tiga rakaat merupakan yang di yakini.
Kaedah fiqihnya
وترجع
الأحكام لليقين
فلا يزيل
الشك لليقين
Hukum merujuk pada yang
yakin,
Karenanya yang yakin tidak
bisa dihilangkan dengan sekedar keraguan
Dalil kaedahnya dikemukakan
dari firman Allah Swt Qs Yunus : 36
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ
شَيْئًا
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)
Firman Allah SWT, lainnya Qs An Najm : 28
وَمَا لَهُمْ
بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي
مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.” (QS. An Najm: 28).
dari ‘Abdullah bin Zaid , ia pernah mengadukan
pada Nabi Saw mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Rasullah
Saw bersabda,
لاَ
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara
atau mendapati bau.” HR. Bukhari dan Muslim
Imam Nawawi rahimahullah
berkata mengenai hadits di atas,
مَعْنَاهُ
يَعْلَم وُجُود أَحَدهمَا وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ
الْمُسْلِمِينَ . وَهَذَا الْحَدِيث أَصْل مِنْ أُصُول الْإِسْلَام وَقَاعِدَة
عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْفِقْه ، وَهِيَ أَنَّ الْأَشْيَاء يُحْكَم بِبَقَائِهَا
عَلَى أُصُولهَا حَتَّى يُتَيَقَّن خِلَاف ذَلِكَ . وَلَا يَضُرّ الشَّكّ
الطَّارِئ عَلَيْهَا
“Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya
suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus
sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijma’). Hadits ini menjadi landasan
suatu kaedah dalam Islam dan menjadi kaedah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti
aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu
yang datang tiba-tiba, maka tidak membahayakan.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata,
كُلُّ
احْتِمَالٍ لَا يَسْتَنِدُ إلَى أَمَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ لَمْ يُلْتَفَتْ إلَيْهِ
“Setiap yang masih mengandung sangkaan (keraguan) yang
tidak ada patokan syar’i sebagai pegangan, maka tidak perlu diperhatikan.”
Yang dimaksud ragu-ragu dalam kaedah di atas adalah
keadaan yang tidak bisa menguatkan salah satu dari beberapa pilihan. Sedangkan
yang dimaksud yakin adalah ketenangan hati dan adanya pengetahuan (ilmu).
Adapun maksud kaedah adalah hukum itu merujuk pada
yang yakin. Jika datang keraguan, sedangkan sebelumnya masih ada yang yakin,
maka tidak boleh berpaling pada yang ragu tersebut dan tetap berpegang pada
yang yakin. Maksudnya yang meyakinkan tidak bisa diangkat hukumnya kecuali
dengan bukti nyata bukan semata-mata keraguan. Sehingga apabila muncul keraguan
maka ia harus kembali pada yang diyakininya sebelum keraguan itu muncul.
Sebagai contoh
1.
seseorang telah berwudhu kemudian Dia ragu-ragu,
apakah sudah batal atau belum, maka Dia dianggap masih mempunyai wudhu, karena
mempunyai wudhu itu yang yakin, sedangkan yang berhadas masih diragukan
2.
seseorang ragu-ragu dalam shalat, berapa rakaat yang
ia lakukan maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang
paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak itu yang
diragu-ragukan.
Sabda Rasulullah Saw “Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam
mengerjakan shalat,tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga atau
empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang
diyakini (yang paling sedikit)”. (H.R. Thurmuzhi dari Abdurrahman)
3.
Siapa yang hadas-buang angin- menjelang subuh, kemudia
ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka kembali
pada keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats. Jadinya ia harus berwudhu.
Karena keadaan awal itulah keadaan yang yakin dan tidak bisa dikalahkan dengan
hanya sekedar ragu-ragu.
4.
Siapa saja yang
dmenjelang matahari tenggelam telah berbuka puasa, padahal ia masih ragu,
apakah matahari sudah tenggelan apa belum, maka batal puasanya. Karena yang yakin adalah
matahari belum tenggelam dan yakin tersebut tidak bisa dihilangkan dengan
sekedar ragu-ragu
5.
Seseorang membeli air dan mengklaim setelah itu bahwa
air tersebut dikatakannya najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang jadi
pegangan adalah perkataan si penjual. Karena hukum asal air -inilah hukum
yakinnya- adalah suci, tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu
6.
Jika seseorang
bepergian jauh ke suatu negeri dan tidak lagi didengar kabarnya dalam jangka
waktu yang lama. Lalu muncul keraguan apakah ia masih hidup. Padahal tidak ada
berita yang menunjukkan kematiannya, artinya belum datang suatu yang yakin.
Maka tidak boleh ia dinyatakan mati sampai datang berita yang pasti (yang
yakin). Sehingga ahli waris tidak bisa begitu saja membagi hartanya sebagai
warisan sampai yakin akan kematiannya.
7.
Jika seseorang yakin di pakaiannya terdapat najis,
namun tidak diketahui manakah tempatnya, maka dalam rangka kehati-hatian, ia
menggosok seluruh bagian dari pakaiannya. Karena keraguan tidak bisa
menghilangkan yang yakin.
8.
Tidak wajib bagi pembeli menanyakan kepada penjual
mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau bukan, atau
barang tersebut barang curian ataukah bukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْأَصْلُ
فِيمَا بِيَدِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لَهُ
“Hukum asal segala sesuatu di tangan seorang
muslim adalah miliknya”
Inilah
hukum asalnya dan inilah yang yakin. Yang yakin ini tidak bisa
dikalahkan
dengan sekedar keragu-raguan.
9.
Kehati-hatian dalam rangka ragu-ragu dalam masalah
menilai suatu air, bukanlah hal yang disunnahkan (dianjurkan) bahkan tidak disunnahkan
sama sekali untuk menanyakannya. Bahkan yang dianjurkan adalah membangun
perkara di atas hukum asal yaitu suci. Jika ada indikasi yang menunjukkan
najis, barulah dikatakan najis. Jika tidak, maka tidak perlu sampai dianjurkan
untuk menjauhi penggunaan air tersebut cuma atas dasar sangkaan. Namun jika
telah sampai hukum yakin, maka ini masalah lain lagi.
Demikian beberapa keterangan singkat dan contoh tentang beberapa keraguan,
untuk bisa menetapkan berbagai macam keraguan dalam keseharian, perlu berpatokan
pada kaedah keraguan, insya Allah akan dioretkan dalam lembaran lain.
Wallahu’alam, mr-mei2013
------
Refferens
Mubarok Jaih, Kaidah Fiqh (sejarah dan kaidah-kaidah asasi), PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta : 2002.
Djazuli, kaidah-kaidah fikih, kaidah-kaidah hukum islam dalam menylesaikan
masalah-masalah yang praktis,cet.1, (Jakarta :kencana, 2006)
Usman Muclis, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan fiqhiyah (pedoman dasar dalam
istinbath hokum islam), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002
Asjmuni A.
Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang,
1976.
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kidah Asasi, Jakarta: Rajawali Pers,
2002.