Senin, 06 Mei 2013

Kaidah fiqh tentang keyakinan dan keraguan



Kaidah fiqh tentang keyakinan dan keraguan

Seseorang dalam kesehariannya  selalu diliputi oleh keraguan, oleh karenanya perlu adanya patokan yang akan membuatnya yakin. Membiarkan keraguan akan membiarkan beban dan kesulitan yang selalu membuatnya ragu-ragu. Untuk keluarnya perlu tahu kaidahnya secara benar dan pasti sehingga terasa mudah menjalankannya -perintah Allah SWT dan larangan-Nya-termasuk di dalamnya masalah aqidah ibadah.
1.      Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula.

Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.

2.    Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi

Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah thawaf yang dilakukan adalah putaran keenam atau putaran kelima. Maka yang lebih meyakinkan adalah jumlah yang kelima.

dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seorang mengalami keraguan, maka bilangan bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

3.    hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab atau beban.

Mengenai kaidah ini terjadi ketika seorang tertuduh dan penuduh, selama penuduh tersebut tidak menunjukkan bukti yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh, maka pada dasarnya ia bebas dari segala beban atau tanggung jawab.

Kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam keadaan bebas, belum mempunyai tanggungan,ini mengisyaratkan bahwa manusia adalah mahluk yang suci, tidak dibebani dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tua. Adanya beban dan tanggung jawab akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukan.

4.    Siapa saja yang ragu-ragu apakah ia melakukan sesuatu atau belum, maka hukum yang terkuat adalah ia belum melakukannya

Misalnya seseorang ragu-ragu apakah ia sudah wudhu atau belum maka yang di anggap adalah ia belum berwudhu, karena belum wudhu merupakan hukum asal, yakni seseorang itu pada dasarnya lepas bebas sedangkan wudhu salah satu dari bentuk dari pada beban.

5.     Barang siapa yang yakin melakukan pekerjaan akan tetapi ragu-ragu dengan sedikit-banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah sedikit karena hal itu yang meyakinkan”

Misalnya orang dalam sholat, apakah ia melakukan melakukan tiga rakaat atau empat rakaat, maka yang dianggap adalah tiga rakaat karena yang tiga rakaat itu yang yakin, sedang yang empat rakaat belum tentu dan untuk mencapai empat rakaat melalui tiga rakaat terlebih dahulu sehingga yang tiga rakaat merupakan yang di yakini.

6.     Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”

Misalnya terjadi perselisihan diantara pembeli dan penjual tentang barang yang cacat yang sudah di beli, maka kasus ini di menangkan oleh penjual, karena pada saat pembeliannya barang tersebut masih baik belum ada cacatnya.

7.    Asal dari setiap kasus mengenai perkiraan waktu adalah dilihat dari yang terdekat waktunya

Misalnya seseorang wudhu air sumur kemudian Ia shalat, setelah shalat Ia melihat bangkai tikus di dalam sumur, maka ia tidak wajib mengqada’ shalatnya, kecuali Ia yakin bahwa shalatnya tidak sah karena berwudhu dengan air najis.

8.     Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat bukti yang mengharamkannya”.

Dan sabda Nabi yang artinya:
Apa yang telah di halalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang di haramkan Allah adalah haram sedang yang tidak di singgung adalah di maafkan (di makannya), maka terimalah kemaafan itu sebagai karunia dari Allah, sesungguhnya Allah tidak lupa akan sesuatu”. (HR Al-Bazzar dan Thabrani dari abu Darda’)


9.     Asal hukum ibadah adalah batal kecuali ada dalil yang menyerukan

Barang siapa yang beramal yang bukan termasuk seruanku maka amalan itu tertolak.

10.  Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang di tetapkan

Misalnya jumlah rakaat dalam shalat maghrib adalah tiga rakaat maka tidak boleh di tambah atau di kurangi.

11.    Hukum asal tentang seks adalah haram

semua perbuatan yang berhubungan dengan seks adalah haram, kecuali ada sebab yang memperbolehkanya, misalnya dengan akad nikah atau milkul yamin. Demikian seorang laki-laki tidak dibolehkan nikah dengan wanita yanfg belum jelas nasabnya, karena dikhawatirkan wanita itu termasuk mahromnya.



dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Qs 23:5





kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Qs 23:6







Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Qs 23:7
12.   Hukum asal dalam memahami kalimat adalah hakikat.

kaidah ini lebih condong dalam memahami sebuah kalimat,
saya mau menafkahkan harta saya kepada anaknya Budi, maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan juga cucu. Misalnya orang tua sebulum meninggal mengatakan ingin memberi sesuatu kapada seseorang, maka pemberian itu bukan termasuk wasiat, karena makna yang asal adalah hakikat pemberian bukan makna dibalik pemberian itu.

Refferens

Mubarok Jaih, Kaidah Fiqh (sejarah dan kaidah-kaidah asasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002.

Djazuli, kaidah-kaidah fikih, kaidah-kaidah hukum islam dalam menylesaikan masalah-masalah yang praktis,cet.1, (Jakarta :kencana, 2006)

Usman Muclis, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan fiqhiyah (pedoman dasar dalam istinbath hokum islam), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002

Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kidah Asasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

Tidak ada komentar: