Senin, 06 Mei 2013

Ragu dalam sholat



Ragu dalam sholat

Seseorang tidak pernah luput dari lupa,  seperti halnya juga ia tidak pernah luput dari keragu-raguan.  Sering kali hal itu menyelimutinya, yang membuatnya ragu untuk menentukan sikap,  bukan hanya dalam keseharian berusaha, juga dalam beribadah, dalam hal ini yang terakhirlah yang akan dikemukakan, walaupun yang lainnya tetap disinggung dalam porsi yang kecil.

Menjelang magrib seseorang berwudhu dan sholat magrib, ketika waktu Isa’  tiba, ia mau sholat tapi ragu, apakah wudhunya tadi sudah batal atau belum. Atau
disaat ia melaksanakan sholat, baik dalam keadaan sholat, maupun sudah selesai salam, timbul rasa keraguan . Keraguan tersebut bisa berupa lupa jumlah raka`at yang telah dikerjakan (tertambah ataupun terkurangi), lupa tasyahhud awal, ragu saat sholat sedang berada di raka`at keberapa dan lain sebagainya. 

Dalam keadaan seperti ini, jangan bingung apalagi mengada-adakan sesuatu ataupun mengarang-ngarangnya. Dalam hal wudhu di atas  misalnya, kalau ia yakin belum batal wudhunya  karena memang belum buang angin maka tetaplah berpegang kepada keyakinan itu. Tapi bila ia ragu, maka berwudhulah, karena belum batal wudhu tidak bisa dipastikan dengan keragu-raguan. Atau saat ia sholatia ragu  apakah sudah tiga rakaat atau empat rakaat, maka yang dianggap adalah tiga rakaat karena yang tiga rakaat itu yang yakin, sedang yang empat rakaat belum tentu dan untuk mencapai empat rakaat ia menambah satu rakaat lagi, dalam hal ini yang tiga rakaat merupakan yang di yakini.

Kaedah  fiqihnya
وترجع الأحكام لليقين
فلا يزيل الشك لليقين
Hukum merujuk pada yang yakin,
Karenanya yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sekedar keraguan
Dalil kaedahnya dikemukakan dari firman Allah Swt  Qs Yunus : 36

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)
Firman Allah SWT, lainnya Qs An Najm : 28

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm: 28).
dari ‘Abdullah bin Zaid , ia pernah mengadukan pada Nabi Saw mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Rasullah Saw bersabda,

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” HR. Bukhari dan Muslim 

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits di atas,
مَعْنَاهُ يَعْلَم وُجُود أَحَدهمَا وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ . وَهَذَا الْحَدِيث أَصْل مِنْ أُصُول الْإِسْلَام وَقَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْفِقْه ، وَهِيَ أَنَّ الْأَشْيَاء يُحْكَم بِبَقَائِهَا عَلَى أُصُولهَا حَتَّى يُتَيَقَّن خِلَاف ذَلِكَ . وَلَا يَضُرّ الشَّكّ الطَّارِئ عَلَيْهَا

Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijma’). Hadits ini menjadi landasan suatu kaedah dalam Islam dan menjadi kaedah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu yang datang tiba-tiba, maka tidak membahayakan.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كُلُّ احْتِمَالٍ لَا يَسْتَنِدُ إلَى أَمَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ لَمْ يُلْتَفَتْ إلَيْهِ

“Setiap yang masih mengandung sangkaan (keraguan) yang tidak ada patokan syar’i sebagai pegangan, maka tidak perlu diperhatikan.”
Yang dimaksud ragu-ragu dalam kaedah di atas adalah keadaan yang tidak bisa menguatkan salah satu dari beberapa pilihan. Sedangkan yang dimaksud yakin adalah ketenangan hati dan adanya pengetahuan (ilmu).
Adapun maksud kaedah adalah hukum itu merujuk pada yang yakin. Jika datang keraguan, sedangkan sebelumnya masih ada yang yakin, maka tidak boleh berpaling pada yang ragu tersebut dan tetap berpegang pada yang yakin. Maksudnya yang meyakinkan tidak bisa diangkat hukumnya kecuali dengan bukti nyata bukan semata-mata keraguan. Sehingga apabila muncul keraguan maka ia harus kembali pada yang diyakininya sebelum keraguan itu muncul.
Sebagai contoh

1.     seseorang telah berwudhu kemudian Dia ragu-ragu, apakah sudah batal atau belum, maka Dia dianggap masih mempunyai wudhu, karena mempunyai wudhu itu yang yakin, sedangkan yang berhadas masih diragukan

2.    seseorang ragu-ragu dalam shalat, berapa rakaat yang ia lakukan maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak itu yang diragu-ragukan.

Sabda Rasulullah Saw “Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam mengerjakan shalat,tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga atau empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit)”. (H.R. Thurmuzhi dari Abdurrahman)

3.    Siapa yang hadas-buang angin- menjelang subuh, kemudia ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka kembali pada keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats. Jadinya ia harus berwudhu. Karena keadaan awal itulah keadaan yang yakin dan tidak bisa dikalahkan dengan hanya sekedar ragu-ragu.

4.     Siapa saja yang dmenjelang matahari tenggelam telah berbuka puasa, padahal ia masih ragu, apakah matahari sudah tenggelan apa belum,  maka batal puasanya. Karena yang yakin adalah matahari belum tenggelam dan yakin tersebut tidak bisa dihilangkan dengan sekedar ragu-ragu

5.    Seseorang membeli air dan mengklaim setelah itu bahwa air tersebut dikatakannya najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang jadi pegangan adalah perkataan si penjual. Karena hukum asal air -inilah hukum yakinnya- adalah suci, tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu

6.     Jika seseorang bepergian jauh ke suatu negeri dan tidak lagi didengar kabarnya dalam jangka waktu yang lama. Lalu muncul keraguan apakah ia masih hidup. Padahal tidak ada berita yang menunjukkan kematiannya, artinya belum datang suatu yang yakin. Maka tidak boleh ia dinyatakan mati sampai datang berita yang pasti (yang yakin). Sehingga ahli waris tidak bisa begitu saja membagi hartanya sebagai warisan sampai yakin akan kematiannya.

7.    Jika seseorang yakin di pakaiannya terdapat najis, namun tidak diketahui manakah tempatnya, maka dalam rangka kehati-hatian, ia menggosok seluruh bagian dari pakaiannya. Karena keraguan tidak bisa menghilangkan yang yakin.

8.    Tidak wajib bagi pembeli menanyakan kepada penjual mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau bukan, atau barang tersebut barang curian ataukah bukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْأَصْلُ فِيمَا بِيَدِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لَهُ
             Hukum asal segala sesuatu di tangan seorang muslim adalah miliknya
              Inilah hukum asalnya dan inilah yang yakin. Yang yakin ini tidak bisa  
             dikalahkan dengan sekedar keragu-raguan.
9.    Kehati-hatian dalam rangka ragu-ragu dalam masalah menilai suatu air, bukanlah hal yang disunnahkan (dianjurkan) bahkan tidak disunnahkan sama sekali untuk menanyakannya. Bahkan yang dianjurkan adalah membangun perkara di atas hukum asal yaitu suci. Jika ada indikasi yang menunjukkan najis, barulah dikatakan najis. Jika tidak, maka tidak perlu sampai dianjurkan untuk menjauhi penggunaan air tersebut cuma atas dasar sangkaan. Namun jika telah sampai hukum yakin, maka ini masalah lain lagi.

Demikian beberapa keterangan singkat dan contoh tentang beberapa keraguan, untuk bisa menetapkan berbagai macam keraguan dalam keseharian, perlu berpatokan pada kaedah keraguan, insya Allah akan dioretkan dalam lembaran lain. Wallahu’alam, mr-mei2013

------
Refferens

Mubarok Jaih, Kaidah Fiqh (sejarah dan kaidah-kaidah asasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002.

Djazuli, kaidah-kaidah fikih, kaidah-kaidah hukum islam dalam menylesaikan masalah-masalah yang praktis,cet.1, (Jakarta :kencana, 2006)

Usman Muclis, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan fiqhiyah (pedoman dasar dalam istinbath hokum islam), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002

Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kidah Asasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

Tidak ada komentar: