Selasa, 02 September 2014

hubungan Menurut Islam



hubungan Menurut Islam

Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya dan tidak kalah petingnya adalah  jima’  di sana ada sedekah, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa,  Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah
Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Maka ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan perselingkuhan. Sesuai dengan prinsip dasar islam, selagi tidak  berbahaya dan membahayakan, segala upaya mencapai faragh- puncak jima, hukumnya menjadi boleh.
Mengesampingkannya bisa jadi akan mengakibatkan ketidak baikan untuk kesehatan, seperti yang disampaikan Muhammad bin Zakariya “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram.
Puncak kenikmatan tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan jima  berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faraghj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.  Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adab beragama dan beribadah. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik yang menyimpang. Karenya syariat mengaturnya dengan adanya  adab berjima,
Adab di dalam jima’ bukan hanya membuat hubungan suami istri lebih intim, tetapi juga menjadikan kenikmatan dunia itu sebagai ladang pahala. Menjalankan adab-adab jima’ bukan hanya membawa kebahagiaan bagi suami dan istri, tetapi juga mendatangkan keberkahan bagi keluarga dan keturunan yang ditakdirkan Allah SWT,  dari proses tersebut jima, diantaranya adalah
ü  Bersih Diri dan berwudhu, Mengkondisikan tubuh bersih (dengan mandi dan gosok gigi) adalah bagian dari adab jima’ sekaligus membuat suami atau istri lebih tertarik. Sebaliknya, tubuh yang tidak bersih cenderung mengganggu dan menurunkan daya tarik. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud dan Ahmad

ü  Memakai parfum/wewangian , Wewangian adalah salah satu sunnah Nabi. Beliau bersabda: “Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” HR. Tirmidzi.
Bagi istri, memakai parfum/wewangian yang dianjurkan adalah saat-saat seperti ini, bukan pada waktu keluar rumah yang justru dilarang Rasulullah.
Yang perlu diperhatikan di sini ialah, aroma atau jenis wewangian yang dipakai hendaknya yang disukai suami atau istri. Sebab, ada suami atau istri yang tidak menyukai aroma wewangian tertentu. Wewangian yang tepat membuat hasrat suami atau istri semakin meningkat.

ü   Shalat dua raka’at, Adab ini terutama bagi pengantin baru, agar mengajak istrinya shalat dua raka’at terlebih dahulu ketika memulai malam pertama.

ü  Berdandan dan berpakaian yang disukai suami atau istri, Adakalanya istri malu memakai pakaian minim yang disukai suaminya. Padahal dalam sebuah hadits disebutkan “Sebaik-baik istri kalian adalah yang pandai menjaga diri lagi pandai membangkitkan syahwat. Yakni kerasp menjaga kehormatan dirinya lagi pandai membangkitkan syahwat suaminya.” (HR. Ad Dailami).

Senada dengan hadits itu, Muhammad Al Baqir, cicit Husain bin Ali menjelaskan: “Sebaik-baik wanita diantara kalian adalah yang membuang perisai malu ketika menanggalkan pakaian di hadapan suaminya dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian kembali.” Ini kemudian menjadi dalil bahwa di dalam jima’, suami istri boleh menanggalkan pakaian dan tidak haram melihat aurat masing-masing.

ü  Jima’ di tempat tertutup, Islam mengatur kehidupan umat manusia agar kehormatan dan kemuliaannya terjaga. Demikian pula dengan jima’. Ia harus dilakukan di tempat tertutup, tidak diketahui oleh orang lain meskipun ia adalah anak atau keluarga sendiri. Karenanya saat anak berumur 10 tahun, Islam mensyariatkan untuk memisahkan kamar anak-anak. Kamar anak laki-laki terpisah dari kamar anak perempuan. Begitu juga dengan kamar orang tuanya, jangan sampai ia tidur di kamar orang tuanya. Kalaupun sampai ia menginap, Pastikan ia tidak melihat aktifitas orang tuanya.





ü  Berdoa sebelum jima’, Yakni membaca doa ‘ Dengan Nama Allah, Ya Allah! Jauhkan kami dari syetan, dan jauhkan syetan agar tidak mengganggu apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada kami” (HR. Bukhari dan Muslim)

ü  Melakukan mubasharah, ar rasuul, foreplay, atau pemanasan, Hendaknya suami tidak langsung ke inti, tetapi ada mubasharah/ar rasuul/ foreplay terlebih dulu. “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. Tirmidzi)

ü  Membawa ke puncak, saling memberi hak, “Apabila salah seorang diantara kamu menjima’ istrinya, hendaklah ia menyempurnakan hajat istrinya. Jika ia mendahului istrinya, maka janganlah ia tergesa meninggalkannya.” (HR. Abu Ya’la)

ü  menncuci kemaluan dan berwudhu jika mau mengulangi, “Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim)

ü  Mandi besar (janabat) setelah jima’ dariAisyah Radhiyallahu Anha:
“Apabila Rasulullah hendak mandi junub (mandi besar), beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya sebelum memasukannya ke dalam bejana. Kemudian beliau membasuh kemaluannya dan berwudhu seperti halnya berwudhu untuk shalat. Setelah itu, beliau menuangkan air pada rambut kepalanya, kemudian mengguyurkan air pada kepalanya tiga kali guyuran, kemudian mengguyurkannya ke seluruh tubuhnya,”
(HR At-Tirmidzi: 104, dan Abu Daud: 243).

Tidak ada komentar: