Menyantuni
duafa
Sudah menjadi sunatullah, bahwa hidup itu saling tolong
menolong satu dengan lainnya, maksudnya seseorang tidak akan bisa hidup
sendiri, tanpa orang lain. Sebagai contoh yang mudah adalah bila orang butuh
makan, maka ia harus membeli beras di warung, pemilik warung tentu tidak
bisa menanam padi sendiri, ia membeli
dari petani, si petani juga tidak membajak sawahnya sendiri, dibantu
tetangganya begitu seterusnya. Sudah punya beras karena kesibukannya ia juga
masih perlu bantuan orang lain yang memasaknya yaitu pembantu rumah tangga
namanya. Jadi seseorang tidak bisa hidup sendiri, apalagi kalau ia sakit tentu
memerlukan jasa dokter. Apalagi berkenaan gedung-gedung tinggi yang ada di
Jakarta, tentu yang membangun sebagai pekerjanya bukan pemiliknya, para
derektur atau menejer, melainkan tukang bangunan.
Dalam syariat Islam, seseorang membutuhkan orang lain dan
saling menolong yang dikenal dengan
istilah ta’awanu alal birri wattaqwa “ tolong menolong dalam kebenaran dan
taqwa. Firman Allah SWT, Qs: 5:2
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Qs Al-Maidah 2.
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Qs Al-Maidah 2.
Dalam kaitan ini tentu saja menolong orang yang sedang dalam
kesusahan merupakan suatu yang diperintahkan. Para duafa – orang yang memang
semestinya mendapat pertolongan dari yang mampu, agar mereka dapat bangkit dari
kesusahannya. Dari pada uang dihamburkan hanya untuk sedekar makan di tempat
yang bergengsi, pesta-pesta dst, sedang di sisi lain banyak orang yang sedang
kesusahan, untuk sekedar makan sehari saja sulit didapat. Firman Allah Qs
Al-Furqan 67.
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).
Orang yang diberikan kelebihan rezeki, sudah sebaiknya
mengeluarkan bagian yang menjadi hak orang lain, dalam hal ini para duafa yang
patut mendapat pertolongan. Agar rezeki tersebut bermanfaat dan sebagai tanda
syukur, yang kesemuanya ditanyakan pertanggung jawabannya.
Sabda Rasulullah Saw, “Kelak pada hari Qiyamat, kaki
setiap anak Adam tidak akan bergeser dari hadapan Allah hingga ditanya perihal lima
hal: umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia lewatkan, harta
kekayaannya dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan (belanjakan) dan apa
yang ia lakukan dengan ilmunya.” (HR. at-Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar