PERISTIWA Madiun
69 tahun silam tak akan pupus dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun
1948 itu merupakan peristiwa kelam yang telah merenggut banyak nyawa
ulama dan tokoh-tokoh agama.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan
pemberontakan G30SPKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya ancaman
komunisme di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948
dilakukan anggota PKI dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung
dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Adapun
latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul
jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pada masa itu. Penyebab jatuhnya
kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan Renville yang
merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya, 28 Juni 1948
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Organisasi
ini didukung oleh Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia,
PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka
melancarkan propaganda anti pemerintah, mengadakan pemogokan-pemogokan
kerja bagi buruh. Selain itu melakukan pembunuhan ulama dan pejuang
kemerdekaan.
Adapun tujuan mereka adalah ingin meruntuhkan NKRI
yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis.
Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.
Sebelum
Peristiwa Madiun, PKI juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta)
hingga menewaskan banyak perwira TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh
PKI, daerah Surakarta dijadikan daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan
Madiun dijadikan PKI sebagai basis gerilya.
Pada tanggal 18
September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di
Indonesia. Sejak saat itu, gerakan PKI ini semakin merajalela hingga
menguasai dan menduduki tempat-tempat penting di Madiun.

Sejarawan
Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI
melakukan makar dan pemberontakan kala itu. Agus menceritakan kekejaman
PKI ini di berbagai sumber referensi seperti buku, makalah, buletin dan
forum diskusi atau seminar.
Agus yang juga penulis buku ‘Banser
Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa umat Islam
termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam
dihancurkan.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul
dengan aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap musuh PKI.
Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai macam tindakan
fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.
Agus
menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI
ditangkap dan dibunuh. Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan
senjata revolver dan kelewang menembak atau membunuh orang-orang yang
dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang jalan.
Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit.
Potret Soekarno diganti potret Moeso.
Liputan wartawan ‘Sin Po’
yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman
itu dalam reportase yang diberi judul: 'Kekedjeman kaoem Communist;
Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa "ketjipratan"
djoega.'
Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar,
sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700 orang di antaranya dari
Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke
pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat
pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan
singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo
bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar
terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.
Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI
bergerak menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim),
Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah
kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.
Sama
dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan
dan menawan bupati, patih, sekretaris kabupaten, jaksa, ketua
pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan,
mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di
kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.
Gadis Rasid,
seorang pejuang yang juga wartawan pada tahun 1940-an menulis reportase
tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Gadis menyaksikan pembantaian
massal di Gorang-gareng, Magetan. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan
yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November
1948.
Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan
yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama
pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan
FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati,
Blora, Rembang, Cepu.
Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi
serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak pembantaian massal terhadap
musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah
pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat
pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri
dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu
ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.
Masjid
dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam
madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat
apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang
dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu,
rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam
FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden
Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan
bagi rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih:
“Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita
Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan
bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang
merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga.
Presiden
Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas
semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah.
Madiun harus lekas di tangan kita kembali”.
Sejarah mencatat,
bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang
dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali
sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah
membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh
masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.
Setelah
gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal
Januari tahun 1950 sumur-sumur ‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur
korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu
masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek datang
menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.
Mereka bukan
sekadar melihat peristiwa itu, namun sebagian di antara mereka ingin
mencari anggota keluarganya yang diculik PKI. Diantara sumur-sumur
‘neraka’ yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar
pengakuan orang-orang PKI sendiri.
Dalam proses pembongkaran
sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi
pembantaian di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan,
Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco,
Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur ‘neraka’ II Desa Soco,
Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok,
Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa
Pojok, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa
Batokan, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Magetan; (7) Sumur ‘neraka’ Desa
Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua
lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya,
yaitu ruang kantor dan halaman pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa
di dekat Desa Geni Langit di Magetan.
Fakta kekejaman FDR/PKI tahun 1948 ini disaksikan ribuan warga
masyarakat yang menyaksikan langsung pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’
itu. Setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan
maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, polisi, camat, kepala
desa, bahkan guru.
Di sumur tua Desa Soco ditemukan kurang lebih
108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang di antaranya dapat
dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara
korbannya adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Ponpes Ath-Tohirin
Mojopurno, Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid Muttaqin,
Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya ditemukan di
Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain
Kyai Imam Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban yaitu Kyai Zoebair,
Kyai Malik, Krai Noeroen, Kyai Moch Noor.
Lalu, di sumur
tersebut ditemukan jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R
Doerjat (Inspektur Polisi Magetan), Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir,
(keempatnya anggota Polri); dan masih banyak pejabat dan ulama lainnya.
Di
sumur ‘neraka’ I Desa Soco ditemukan jasad Soehoed (camat Magetan); R
Moerti (Kepala Pengadilan Magetan); Mas Ngabehi Soedibyo (Bupati
Magetan). Kemudian ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan
warga Magetan.
Selain itu, di Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok,
Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan ditemukan jasad KH Imam
Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussa’ada Rejosari, Madiun. Imam
Shofwan dikubur hidup-hidup di salam sumur tersebut. Ketika dimasukkan
ke dalam sumur, ulama NU ini masih sempat mengumandangkan adzan.
Dua
putranya Kyai Zubeir dan Kyai Bawani juga menjadi korban dan dikubur
hidup bersama-sama. Sebanyak 22 jenazah ditemukan di sumur ini. Dan
masih banyak tokoh ulama lainnya yang menjadi korban keganasan PKI.
Kebiadaban
FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman
peristiwa yang tidak akan terlupakan. Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang
tersebar di Magetan dan Madiun adalah saksinya.
Tak heran jika
tindakan keji PKI berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para
jenderal TNI AD diculik dan dibunuh secara sadis. Mayatnya kemudian
ditemukan di dalam sumur ‘neraka’ Lubang Buaya di dekat Bandara Halim,
Jakarta Timur.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dan
pemberontakan G30SPKI 1965, maka selamatlah bangsa Indonesia dari
bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di barisan
terdepan melawan kebangkitan paham dan gerakan kiri tersebut.
SUMBER:[1] Sunyoto, Agus dkk. 1990. Lubang-Lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun. Grafiti Press.
[2]
Sunyoto, Agus. 1996. Banser Berjihad Menumpas PKI. Lembaga Kajian dan
Pengembangan, PW GP Ansor Jawa Timur & Pesulukan Thoriqoh Agung.
Tulung Agung.
[3] Islamedia-Media Islam Online.
[4] Dihimpun dari berbagai sumber.