Alinsan
mahallul khoto'i wannisyan - manusia itu tidak luput dari kesalahan dan
lupa. Disadari atau tidak dalam keseharian beraktivitas seseorang sering
melakukan kesalahan kepada orang lain. Untuk menebus kesalahan itu, ia
harus minta ma'af, namun sering kali untuk memulainya terasa sulit,
karena itu pertanda mengakui kalau dirinya salah dan keliru. Katika ia
berani, orang lain justru tidak mema'afkannya, karena untuk mema'afkan
seseorang memang perlu jiwa besar, perlu keikhlasan yang tulus.
Sahabat nabi sekaliber Abu Bakar as-Shiddiq RA, sahabat
terdekat Rasullah SAW, sempat bersumpah untuk tidak memaafkan
kesalahan Misthah bin Utsatsah dan tak lagi memberi nafkah kepadanya
untuk selamanya, karena dianggap telah menuduh putrinya, Aisyah RA,
yang juga istri Rasulullan SAW, berzina. Atas sikapnya yang tak mau
memaafkan itu, maka turunlah firman Allah SWT :
''...Dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak
ingin Allah mengampuni kalian?Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.'' Qs An-Nuur ayat 22. Setelah turun ayat itu, Abu Bakar
kemudian berkata, ''Ya, demi Allah, sesungguhnya aku senang jika Allah
mengampuniku.' Ia lalu kembali memberikan nafkah kepada Misthah seperti
sebelumnya.
Rasulullah
SAW -pun berkali-kali mengalami penyiksaan, pengkhianatan, percobaan
pembunuhan, dan serangkaian rangkaian rencana buruk dari kaum kafir,
Seperti diriwayatkan Anas RA, suatu hari, seorang perempuan Yahudi
mendatangi Rasulullah SAW, dengan membawakan daging kambing yang telah
diberi racun. Nabi SAW pun memakan daging kambing itu. Akhirnya,
terungkaplah bahwa daging kambing itu telah dibubuhi racun oleh wanita
tersebut.Namun Rasulullah dengan keagungan akhlaknya tetap mea'afkannya.
Abdullah
al-Jadali berkata, ''Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak
Rasulullah SAW, lalu ia menjawab, 'Beliau bukanlah orang yang keji
(dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di
pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang
yang suka memaafkan.'' (HR Tirmidzi; hadis sahih). Umat
Islam diperintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya.
Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang hebat bukanlah orang yang menang
dalam pergulatan. Sesungguhnya orang yang hebat adalah orang yang
(mampu) mengendalikan nafsunya ketika marah. Memaafkan dan mengampuni
juga merupakan perbuatan yang diperintahkan Sang Khalik kepada
umatnya.
Dalam
surah al-A'raaf ayat 199, Allah SWT berfirman, ''Jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh.'' Pada surah al-Hijr ayat 85, Allah SWT
kembali berfirman, ''Maka maafkanlah -mereka- dengan cara yang baik.''muchroji m ahmad
Sabtu, 03 Maret 2012
aqikah
Dalam
pengertian yang sederhana aqikah dapat dimaknai-menyembelih kambing dalam rangka
menyambut kelahiran anak-bayi. Pada umumnya masyarakat
menyembelih dua ekor untuk kelahiran anak laki-laki dan satu ekor untuk
perempuan. Mayoritas ulama menyatakan hukumnya sunnah, atau dianjurkan
bagi yang memiliki kecukupan harta.
Menurut
mazhab Maliki, mengenai jumlah hewan yang dipotong yaitu sama, satu ekor
kambing untuk anak laki-laki atau perempuan. Dengan alasan Rasulullah
Muhammad Saw, metong seekor kambing untuk mengaqikahkan cucu beliau
Hasan dan husen.
Madzhab Hanifi, berpendapat hukum aqikah sunnah-pun tidak, menurutnya memotong hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari sesudahnya telah membatalkan anjuran Nabi untuk melaksanakan aqiqah. Namun demikian ia tidak melarangnya apalagi menilai haram dalam menyembelih binatang sebagai tanda syukur menyambut kelahiran seorang anak.
Madzhab Syafii dan Hanbali menganjurkan menyebelih dua ekor kambing bila anak yang lahir laki-laki, dan seekor kambing bila perempuan, dilaksanakan pada hari ketujuh, tetapi tidak ada halangan melaksanakannya sebelum maupun sesudah hari ketujuh dari kelahiran anak itu, selama anak itu belum baligh. Sedang Madzhab Hanbali membolehkan melaksanakan aqiqah oleh yang bersangkutan sendiri walau setelah ia dewasa, karena dalam pandangannya, tidak ada batas waktu bagi pelaksanaannya.
Dagingnya dimasak, sebagian disantap di rumah dan sebagian lainnya dikirim ke rumah-rumah yang akan diberikan atau mengadakan acara aqiqah di rumah dengan mengundang orang untuk memakannya.mr feb2011
Madzhab Hanifi, berpendapat hukum aqikah sunnah-pun tidak, menurutnya memotong hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari sesudahnya telah membatalkan anjuran Nabi untuk melaksanakan aqiqah. Namun demikian ia tidak melarangnya apalagi menilai haram dalam menyembelih binatang sebagai tanda syukur menyambut kelahiran seorang anak.
Madzhab Syafii dan Hanbali menganjurkan menyebelih dua ekor kambing bila anak yang lahir laki-laki, dan seekor kambing bila perempuan, dilaksanakan pada hari ketujuh, tetapi tidak ada halangan melaksanakannya sebelum maupun sesudah hari ketujuh dari kelahiran anak itu, selama anak itu belum baligh. Sedang Madzhab Hanbali membolehkan melaksanakan aqiqah oleh yang bersangkutan sendiri walau setelah ia dewasa, karena dalam pandangannya, tidak ada batas waktu bagi pelaksanaannya.
Dagingnya dimasak, sebagian disantap di rumah dan sebagian lainnya dikirim ke rumah-rumah yang akan diberikan atau mengadakan acara aqiqah di rumah dengan mengundang orang untuk memakannya.mr feb2011
bunuh diri
Zaman
semakin modern, semakin canggih, semua serba mudah, namun jangan lupa
tantangannyapun semakin beragam. Siapa yang siap menghadapinya tentu
akan mudah melewatinya, bagi yang belum siap, maka akan menjadi masalah
tersendiri seruret dan secanggih kemodernannya. Banyak yang punya
keinginan tidak tersahuti, manjdi stress dan jalan pintasnya mati bunuh
diri. Dan ini semakin hari semakin banyak dan beragam caranya, dari
yang gantung diri, minum racun sampai lompat dari gedung super modern
berpuluh-puluh lantai.
Lantas
bagaimana orang yang mengakhiri perjalanan hidupnya dengan bunuh diri.
Tuntunan agama Islam melarang kerasn perbuatan tak terpuji tersebut.
Menurut yang sempat saya pahami, manusia bahkan seluruh jiwa raganya
adalah milikmAllah SWt yang diamanatkan kepada masing-masing manusia,
sehingga tidak bisa seenaknya saja memperlakukannya. Begitu jugadengan
nyawanya, tidak boleh seenaknya, memisahkannya dari badannya kecuali
atas ijin Allah SWT, firman Allah Qs 53:44
وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا
dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan, Qs 53:44
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS. Al Hadiid 57:2
Dari itu seseorang tidak boleh menghilangkan nyawanya dengan apapun dan alasan apapun. Dalam hadist kudsi Allah SWT berfirman “Dia mendahului Aku, maka Aku haramkan baginya surga.”mr jan20
shalat penuh makna
Dalam
fiqh Islam, rukun shalat merupakan salah satu ketentuan sarat sahnya
sholat seseorang, artinya bila bacaannya benar maka shalatnya sah,
tidak perlu ia tahu arti bacaannya. Namun demikian tentu saja shalat
yang berkualitas dan khusu’ dibarengi dengan tahu dan mengerti dari
bacaan itu sendiri. Dengan demikian ia akan jauh lebih khusu’ dengan
memahami bacaannya, dibanding dengan asal ucap tanpa tahu artinya,
padahal sholat itu sendiri merupakan dialog dengan Allah SWT, berupa
pengakuan seorang hamba, pujian dan do’a.
Tanpa
tahu maknanya, tentu saja shalat yang dilakukan akan terasa hambar.
Sekali lagi karena tidak mengerti apa yang diucapkannya. Itula
barangkali kenapa seseorang yang begitu rajin shalatnya dan tepat waktu,
tapi sipat dan perangainya masih sama saja dengan yang lainnya, yang
shalatnya tidak serajin dia. Karena shalat yang dilakukannya itu
tanpa makna, tidak paham maknanya, sehingga sulit untuk bisa meresapi prinsip-prinsip untuk menjadi seorang muslim yang baik.
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusus' Qs 2:45
Shalatlah dengan bermakna untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Ditunaikan dengan
teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan
adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu',
dengan memperhatikan apa yang dibaca dan tahu maknanya. Muchroji m ahmad
Langganan:
Postingan (Atom)