Sabtu, 14 Januari 2012

Sayyidina

Sayyidina
Saat kecil saat saya belajar ngaji dan sholat di kiai sunni, sudah biasa dengan lapazd sayyidina saat shalawat kepada nabi, “ Sayyidina Muhammad “ begitu jadinya. Akhir-akhir ini saya bukan saja mendengar kata sayyid dipakai untuk Nabi Muhammad, tapi juga untuk yang lainnya pada saat sholat di tasyahud awal maupun di tasyahud akhir. Dalam sebuah hadist saya sempat membaca tapi lupa riwayahnya,
 “Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa shallaita `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Wa baarik `ala `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa barakta `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Innaka hamidun majid. (hr – ma’af lupa)
Artinya, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Agung. – “dalam hadist ini tidak ada kata sayyid mengawali sebutan Nabi Muhammad Saw”.

Keingin tahuan bagaimana riwayahnya, saya mencoba mencari jawabannya dengan melihat beberapa buku diperpustakaan kecil di rumah, soalnya bukan hanya itu, saat pengajian bulanan saya sempat mendengar uraian shalawat yang dikatakan pentausiah sangat baik tapi tidak boleh dipergunakan dalam shalat.

Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, ternyata pengucapan shalawat dalam shalat di tasyahud awal maupun akhir hukumnya wajib, namun hukumnya sunnah menurut mazhab Hanafi dan Maliki. Ini yang tertulis dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar di buku pertama. Sedang untuk kata sayyidina mazhab Syafi’i dan Hanafi mengatakannya sunnah, walaupun dengan keterangan “ tidak ada di dalam hadist yang menyebutkan hal itu. Kedua mazhab tersebut beralasan bahwa hal itu lebih utama digunakan daripada ditinggalkan  Mengucapkan “Kata “sayyidina” yang artinya ”tuan” atau “yang mulia” Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai junjungan umat manusia yang harus dihormati sepanjang masa.

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).

.Namun selain mazhab tersebut, menyatakan tidak boleh penambahan lafadz “sayyidina”, khususnya di dalam shalat, sebab mereka berpedoman bahwa lafadz bacaan shalat itu harus sesuai dengan petunjuk hadits-hadits nabi. Bila ada kata ‘sayyidina’ di dalam hadits, harus diikuti, namun bila tidak ada kata tersebut, tidak boleh ditambahi sendiri.

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
Laa susayiduni fis shalat- janganlah mengucapkan sayyid kepadaku di dalam shalat ‘ kata tersebut adalah hadist, namun masih dalam perdebatan mengenai riwayah-perawinya. Ada yang mengatakan doif mahkan maudhu.

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه


Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)

 
Melihat beberapa keterangan singkat di atas, ternyata para ulama –mazhab – sejak awal sudah berbeda pendapat. Padahal dari segi kedalaman ilmu, mereka tidak disangsikan lagi,  saat ini tidak ada lagi sosok seperti mereka. Karenanya bila tidak sependapat dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti harus mencaci makinya atau kepada siapa saja yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama sekaliber fuqaha mazhab kenapa tidak.

Sejatinta adab yang baik adalah menghargai dan mengormati hasil ijtihad itu. dengan juga menghargai mereka yang menggunakan fatwa itu di masa sekarang ini.
Yang perlu diingat, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai yang bid’ah. Muchroji m ahmad, trims

Tidak ada komentar: