Di balik iddah
Masalah idah difirmankan dalam Qs 2-Albaqoroh: 228, "Perempuan-pe rem puan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu sebelum kawin lagi) selama tiga kali quru' (yakni tiga kali masa haid atau masa suci)." Dalam istilah fikih masa menunggu ini harus dijalani oleh seseorang istri yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum dia dibolehkan menikah kembali.
Para ulama menjelaskan adanya masa idah adalah ini merupakan sesuatu yang tidak diketahui pasti hikmahnya, tetapi dilaksanakan sebagai ibadah dan taat kepada Allah SWT. Namun sebagian ulama berpendapat tetap ada hikmahnya, diantara:
Ø
mem
beri cukup kesempatan bagi pasangan sua mi-istri untuk merenung dengan tenang
dan penuh kebijaksanaan mengenai perceraian yang ditempuhnya. Setelah meredanya
rasa marah, kesal dan benci, mereka bisa melakukan rujuk kembali (tanpa nikah
dan mahar baru) dengan berbagai
pertimbangan, untuk mereka sendiri atau bagi anak-anaknya.
Ø
sebagai
bentuk penghargaan terhadap sesuatu yang agung dan mulia. Dimana saat menikah
dipersiapkan sebaik mungkin, mengundang sanak saudara, teman dan disaksikan
oleh kedua keluarga mempelai.
Ø
untuk
mengetahui dengan pasti jika perem puan itu tidak sedang hamil. Dengan
demikian, nasab anaknya kelak menjadi jelas dan tidak ada keraguan, apakah anak
yang dikandung dari suami sebelumnya atau suami yang beru dinikahinya.
Ø
perempuan
masa idah masih mempunyai hak-haknya sebagai istri. mereka masih memungkinkan
untuk rujuk berhak menerima tempat tinggal dan nafkah sehari-hari. Status pe
rem puan ini masih merupakan istri yang sah dan tetap memiliki hak-hak seba gai istri.
Ø
perempuan
yang mengalami masa idah akibat talak ba'in (talak yang tidak memungkinkan
rujuk), tetap berhak atas tempat tinggal apabila dalam keadaan mengandung. QS
at-Thalaq ayat 6. "Apabila mereka (para istri yang ditalak) dalam keadaan
sedang mengandung, nafkahilah mereka sampai mereka telah melahirkan
kandungannya.
Sementara itu, perempuan yang meng
alami idah akibat talak ba'in yang tidak dalam keadaan mengandung berdasarkan
pendapat Imam Syafi'i dan Imam Malik hanya ber hak memperoleh tempat tinggal.
Sedang kan, Imam Abu Hanifah berpendapat dia ber hak memperoleh nafkah dan
tempat tinggal seperti seorang istri .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar