Senin, 13 Juni 2011

Ketika jujur semakin sulit

Ketika jujur semakin sulit
Beberapa hari ini, publikasi kejujuran berkenaan dengan laporan ujian nasional tingkat SD di Surabaya, mencuat di berbagai media. Keprihatinan dan dukungan terus bergulir meluas dari berbagai kalangan, hamper semua orang angkat bicara, di sebuah radio pembicaraan itu sampai menghabiskan waktu sepnjang malam. Diprihatinkan bahwa kejujuran sudah mulai hilang dari pribadi bangsa yang konon dikenal ramah dan jujur dalam kesehariannya.

semula bu Siami ingin melaporkan bahwa ada yang tidak beres, ada kecurangan dalam ujian nasional, ia melihat itu karena lewat anaknya ia tahu adanya anjuran untuk kerjasama alis boleh menyontek saat ujian. Atas informasi dari anaknya ia melaporkan perbuatan yang kurang beres yang dilakukan SDN Godel 2 surabaya kepada kepala sekolah. Tapi sayang tindakannya dianggap mencemarkan nama sekolah, ia menjadi tidak disukai guru-guru, bahkan orang tua murid yang lainpun ikut membencinya, terakhir ia malah di demo orang tua murid dan mengusirnya dari rumahnya sendiri.

Di balik niat baik yang dilakukannya, ia dan keluarga terpaksa harus menanggung resiko atas sikap kejujurannya. Ia menjadi sangat trauma dan terpaksa pindah rumah karena tidak tahan akan cemoohan orangtua murid melalui demo yang beberapa kali dilakukan di rumahnya. Sebelum pindah ia sempat diungsikan ke Mapolsek Tandes dan akhirnya terpaksan angkat kaki ke keluarganya di Kediri. Sebuah sikap dan tindakan kejujuran yang harus dibayar mahal, dan ia sama sekali tidak menyangka sejauh yang dialaminya.

Kalau mau melihat secara keseluruhan perangai anak bangsa, peristiwa di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus ketidakjujuran, bukan hanya orang tua murid dan guru SDN Gadel 2 yang tidak jujur, melainkan juga para elite politik dan pemimpin negeri ini, kalau di sekolah dimulai dari guru, kepala sekolah terus ke atas di jajaran depdiknas. Sebagai contoh berbagai kasus kecurangan ujian nasional setiap tahunnya tidak pernah tuntas, satu dengan lainnya saling berkepantingan. Katakan saja bila sekolahnya lulus 100 %, maka kepala sekolahnya mendapat acungan jempol Dinas Kecamatan, bila tingkat kecamatan 100 % berhasil lulus, kepala dinasnya akan naik ke wali kota atau kabupaten, begitu seterusnya. Jadi ada berbagai kepentingan di samping menjunjung nilai-nilai kejujuran, walaupun dalam keseharian hal itu ditanamkan dan tidak pernah diperbolehkan nyontek sama sekali saat ulangan harian. Tapi saat menjelang ujian nasional, semua berubah, semua punya keperluan, punya makna, hingga pengawal kejujuranpun jebol tidak sanggup menahan arus kepentingan yang begitu besar dan beragam , kebenaran tersingkirkan. Kejujuran menjai suatu yang mahal. Muchroji Amb, 14062011.

Tidak ada komentar: