Kamis, 30 Oktober 2008

Kenikmatan yang Menipu

Kenikmatan yang Menipu

Oleh: Dede Sulaeman

Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Ada dua nikmat di mana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan.'' (HR Bukhari).

Kecenderungan manusia mencintai dunia telah diungkapkan dengan sangat baik dalam Alquran. Bahwa, manusia memiliki kecenderungan pada kesenangan terhadap perempuan, anak, dan perangkat fisik lainnya. Hal ini tidak dilarang. Manusia hanya diperintahkan menjaganya agar tidak berlebihan.

Namun, kenyataan menggambarkan bahwa manusia kebanyakan tidak bisa menahan untuk selalu berlebihan. Ramadhan yang lalu, kita bisa mengamati bagaimana budaya konsumtif memenuhi ruang bulan suci tersebut.Mulai hari pertama puasa, orang-orang sibuk menyiapkan makanan yang enak, lebih enak dari bulan biasa. Semua makanan disiapkan, bahkan berlebih. Akibatnya, kadang-kadang, tidak termakan.

Selain itu, pasar tiba-tiba menaikkan harga begitu tinggi. Namun, pembeli tetap saja banyak dan berbelanja secara berlebihan. Hal itu jelas bukanlah kegiatan yang diajarkan Rasulullah SAW untuk bersikap wajar, seimbang antara ibadah dan kesenangan dunia.Banyak hal menunjukkan bahwa manusia tidak bisa menahan untuk tak berlebihan. Padahal, berlebihan itu memiliki garis kedekatan dengan setan.

Maka, sikap waspada sangat penting. Waspada menjadi kunci supaya kita terhindar dari kesalahan yang sering tidak disadari. Hadis yang ditampilkan dalam pembuka tulisan ini menjadi sangat relevan untuk menjawab persoalan tersebut.Sekilas, kita akan mengerti bahwa setiap orang sering tidak mensyukuri nikmat. Ketika sehat, orang lupa pada sakit. Begitupun kesempatan. Saat orang memiliki banyak waktu untuk melakukan kebaikan, saat itu pula ia berniat menangguhkannya. Padahal, Allah SWT kapan pun bisa mengambil hidup manusia di dunia.

Maka, kenikmatan berupa kesehatan, kesempatan, kedudukan, dan kenikmatan lain yang sering melenakan manusia harus diwaspadai supaya tidak terjebak pada sikap menyia-nyiakan nikmat. Dengan itu, kita bisa menjadi manusia yang dicintai Allah SWT karena mengikuti petunjuk-Nya.

Tingkatan Sabar

Tingkatan Sabar


Sabar dari Allah (ash-shabr 'an Allah) merupakan sabar paling sulit ditempuh dari tingkatan sabar lainnya. Untuk mencapai tingkatan ini, Ali bin Abi Thalib selalu berdoa, ''Ya, Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku! Sekiranya aku bersabar menanggung siksa-Mu, bagaimana aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?

Dalam literatur tasawuf, sabar (sabr) al:  zuhd, ma'rifah, mahabbah, tawbah, wara,' faqr, tawakkal, dan ridha. ''Sabar membuat batin tidak sedih, lidah tidak mengeluh, dan anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan.'' namun pada umumnya sabar digolongkan tiga bagian, seperti sabda Rasuluulah "
Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak membuat maksiat."

Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat , orang yang sabar dalam ketaatan, Allah menuliskan baginya enam ratus derajat' dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh 'Arsy.''

Sabar ketika menderita berarti kita tabah menghadapi musibah dan bencana yang ditimpakan oleh Allah (Q.S. 2:155-57), sebagai ujian untuk menyadarkan kita. Sabar dalam ketaatan berarti kita menahan kesusahan dalam menjalankan ibadah.mr1108

BETAWI, RIWAYATMU DOELOE

BETAWI, RIWAYATMU DOELOE

Ada yang berpendapat penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah pelbagai suku bangsa dan bangsa-bangsa asing. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Seperti dikemukakan sejarawan Sagiman MD, penduduk Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, yaitu 1500 SM.

Yang pasti penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Tidak dipungkiri memang ada percampuran darah di zaman kekuasaan Hindia Belanda. Mengingat pada masa itu, khususnya pada abad ke-17, 18, dan 19, terjadi percampuran darah ketika warga Cina, Arab, dan Eropa (Belanda), yang umumnya datang di Batavia tanpa istri, mengawini penduduk setempat.

Sementara itu, Yahya Andi Saputra, jebolan Fakultas Sejarah UI, berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah. Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa. Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing. Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda).

Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu. Pada abad ke-2, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.

Candra berarti bulan atau sasi, jad
i ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap.

Pada zaman Tarumanagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu.

Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan.

Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7 ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta.

Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.

Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah -- pengaruh para pendatang dari Hadramaut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.

Sejak dahulu kala Jakarta menarik perhatian orang asing. Pada tahun 414 berkunjung ke Jakarta seorang kelana Tiongkok bernama Fa Hien. Ia melihat banyak rumah di pesisir. Banyak penduduk Jakarta yang menangkap ikan di laut. Jakarta banyak disukai orang asing karena air minumnya yang jernih. Juga di sini dihasilkan tuak yang diambil dari pohon nira.

Pada abad ke-12 pelabuhan Sunda Kelapa ramai dikunjungi pelaut-pelaut asing. Kemudian hari sebagian dari mereka menjadi penduduk Jakarta. Ketika Jan Pieterzoon Coen mendirikan Batavia (Mei 1619), penduduk Jayakarta menyingkir sambil mendirikan markas gerilya di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur). Untuk mengisi kekosongan kota, Coen mendatangkan banyak budak dari Asia Selatan dan Bali.

Keberadaan budak yang baru dihapuskan 1860 membuat sejumlah sejarawan asing terkecoh. Mereka menulis bahwa orang Betawi keturunan budak. Padahal sejak 1.500 tahun SM di Jakarta dan sekitarnya sudah bermukim orang Betawi.

ASAL NAMA BETAWI

Banyak yang bertanya tentang asal usul nama Betawi. Sampai ada yang mengira nama Betawi berasal dari 'bau tai'. Konon ketika balatentara Mataram pada tahun 1928 dan 1929 berusaha merebut kota Batavia, pasukan VOC kala itu bertahan di benteng pertahanan Redout Maegdeln, sebuah menara dekat kastil Batavia. Seorang sersan kompeni, Ian Mulder, dan 15 orang kawannya berusaha untuk bertahan terhadap serangan balatentara Mataram yang terus merangsek dan mendekati benteng. Pada saat-saat yang genting demikian ini, pasukan VOC yang dilengkapi sebuah meriam kecil kehabisan mesiu. Dalam suasana keputus-asahan ini, sersan VOC berteriak, "Lihat bagaimana saya mengusir musuh keparat ini."

Sang sersan mengangkat pot-pot berisi kotoran manusia dan melemparkan isinya pada pasukan Mataram. Melihat itu, timbul kembali semangat para kompeni. Mereka mengikuti jejak sang sersan. Mereka pun ramai-ramai melemparkan pot-pot berisi kotoran manusia itu. Pasukan Mataram yang merasa jijik mundur dengan rasa amat penasaran. Teriakan pun terdengar di mana-mana, "Bau tai... Bau tai!". Dari kejauhan suara itu terdengar seperti 'Betawi'.

Tentu saja perkiraan itu tak dapat diterima akal. Apalagi sampai ada yang menyatakan kotoran manusia itu digunakan sebagai peluru. Karena tai bukan zat padat yang dapat ditembakkan. Tapi p
erlu diketahui, sampai abad ke-18 rumah dan gedung di Batavia tidak memiliki toilet. Termasuk gedung Balaikota yang kini jadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jl Fatahillah, Jakarta Barat.

Kala itu kebiasaan penghuni kota Batavia, kalau hendak buang hajat di masukkan ke tong-tong yang tersedia di tiap rumah dan kantor. Lalu isi tong itu dilemparkan ke kali atau kanal-kanal yang disebut 'kembang jam 9 malam'. Karena pemerintah VOC mengeluarkan peraturan kotoran manusia itu baru boleh dibuang setelah jam 9 malam.

Ada juga yang menyebutkan bahwa Betawi berasal dari kata Batavia. Tapi yang jelas Gubernur Jenderal JP Coen, pendiri kota ini, mengusulkan kota yang dibangunnya bernama Niew Hoorn untuk mengenang kota kelahirannya di Belanda. Tapi, pihak pemegang saham VOV yang berpusat di Amsterdam lebih menyetujui nama Batavia. Padahal nama ini, secara tidak sengaja diberikan pada seorang prajurit yang tengah teler akibat menenggak minuman keras. Coen sangat kecewa karena usulannya ditolak, dan sampai meninggal Oktober 1929 ia menolak memakai nama Batavia. Dia menyebut kota yang didirikannya Fort Jacatra atau 'benteng Jacatra'.

Ada banyak versi tentang kematian Coen. Ada yang mengatakan ia diracun. Ada pula yang menyatakan ia tidak meninggal di kastil (benteng). Tapi dicuclik, dianiyaya serta dibunuh balatentara Mataram. Memang ia mati hanya beberapa hari setelah balatentara Islam Mataram menyerang kota Batavia.

Konon, seperti diceritakan Candrian Attahiyat dari Dinas Kebudayaan dan Permuseum DKI Jakarta, kepala Coen ditanam di tangga pertama pemakaman Imogiri, tempat peristirahatan t
erakhir raja-raja Mataram. Sebagai penghinaan, bila hendak ke pemakaman lebih dulu menginjak kepala Coen. Ada juga yang mengatakan Coen mati dibunuh orang Banda yang membalas dendam atas kekejamannya membunuh ribuan rakyat Banda ketika ia berada di Maluku.

Masih ada versi lain tentang misteri matinya Coen. Ia diisukan mati karena ketakutan mengingat pertemuan yang akan menyusul dengan rekan lamanya, yang saat itu jadi musuh dan calon penggantinya, yakni Jaques Spincx. Spincx adalah pedagang senior yang bekerja selama 12 tahun di kompeni. Dari hubungan kumpul kebonya dengan seorang wanita Jepang lahirlah seorang gadis jelita Saartje Spencx pada 1617. Anak itu kemudian mengikuti ayahnya ke Batavia, sedangkan istrinya tetap di Jepang. Saartje kemudian dititipkan di rumah Coen ketika ayahnya kembali ke Jepang.

Pada tahun 1629, seorang perwira muda be
rusia 16 tahun Pieter Contenhoeff jatuh cinta pada Saartje yang berusia 16 tahun. Dan cinta pemuda tanpan ini mendapat balasan dari si dara yang berwajah molek. Dengan menyogok beberapa budak dan pembantu rumah tangga, si perwira berhasil masuk ke ruang tidur gadis itu. Di situ walaupun di hadapan budak-budak, pasangan yang tengah dilanda asmara itu melakukan hubungan badan berkali-kali.

Jenderal Coen, yang kemudian mendengar peristiwa yang dianggapnya memalukan itu, langsung membawa keduanya ke pengadilan. Si pemuda dihukum mati di balaikota. Sedangkan Saartje disiksa dan dipermalukan di halaman tengah balaikota. Konon, bagian atas badannya dipertontonkan pada umum. Sang ayah, setelah mendengar peristiwa itu, menjadi marah besar dan bersumpah akan membalas dendam. Dalam suasana demikian itulah Coen meninggal dunia, hingga diisukan dia mati ketakutan.

Kembali ke asal muasal nama Betawi, pada tahun 1858 di Jakarta terbit surat kabar Betawi yang mempergunakan huruf Latin dan Arab bernama Pemberita Betawi. Novel-novel di abad ke-18 dan 19 lebih banyak menyebutkan nama Betawi katimbang Batavia.

Pada tahun 1870, Raden Arya Sastradarma dalam karangannya, Kawontenan Ing Nagari Betawi, menyebutkan masyarakat luas di Batavia dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu. Kebanyakan menyebut dirinya orang Slam atau orang Betawi. Laki-laki Betawi ketika itu umumnya mencukur habis rambutnya (gundul).



* Salam hormat saya teruntuk Babe Alwi Shahab.





ORANG BETAWI DI MATA H. RIDWAN SAIDI (CENDIKIAWAN/BUDAYAWAN BETAWI)

Kalau Mandra gampang saja menjawabnya: “au ah gelap!” Mahbub Djunaidi si kolomnis ternama asli Betawi pernah mencoba menjawabnya; tapi, ia pun akhirnya menyerah. “Bukan apa-apa bagaimana bisa menjelaskan sedangkan topangan literaur saja tidak ada. Mana ada nenek moyang orang Betawi meninggalkan tulisan? Babad, hikayat—tiada itu. Ada memang kisah Sultan Zainul Abidin atau Siti Zubaedah yang saban-saban dipaparkan sahibul hikayat saat pesta sunatan atau perkawinan. Tetapi, isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam berbagai kaliber.” Begitu alasannya.

Sampai kini hanya Ridwan Saidi yang tak lelah-lelah menjawab pertanyaan itu. Sudah tiga buku ditulisnya untuk menjelaskan yaitu “Profil Orang Betawi” (1997), “Warisan Budaya Betawi” (2000) dan “Babad Tanah Betawi” (2002). Tak puas, di beratus forum diskusi Ridwan omong, ikut debat polemik dengan macam-macam peneliti dari dalam dan luar negeri tentang hal yang sama.

Menurut Ridwan orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Tidak benar jika ada yang mengatakan orang Betawi itu keturunan budak yang didatangkan Kompeni untuk mengisi intramuros alias kota benteng Batavia. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuknya kota Batavia.

Salakanagara Hingga Kalapa

Cikal bakal sejarah orang Betawi dikaitkan Ridwan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad 2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan saban-saban bajak laut menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Lantaran keteteran sendiri melawan bajak laut maka diputuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja.

Pada tahun 130 berdirilah kerajaan pertama di Jawa yang namanya Salakanagara. Salakanagara nagara menurut Ridwan berasal ari bahasa Kawi salaka yang artinya perak.

Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien.

Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Termasuk dalam hal ini yang disebut Slamet Mulyana sebagai Kerajaan Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam bukunya "Dari Holotan sampai Jayakarta adalah Salakanagara".

Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada daerah Condet. Alasannya karena di Condet salak tumbuh subur dan banyak sekali nama-nama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan.

Di Condet juga terdapat makam kuno yang disebut penduduk Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan Ridwan adalah tokoh dari zaman kerajaan pelanjut Salakanagara yaitu Kerajaan Kalapa. Tokoh ini menurut Ridwan adalah pemimpin pasukan yang tetap melakukan peperangan walaupun tulangnya tinggal sepotong maka lantaran itu dijuluki Ki Balung Tunggal.

Setelah menunjuk bukti secara geografis, Ridwan pun melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu agar dapat semakin terlihat batas antara orang Betawi dengan orang Sunda. Ia pergi ke abad 10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian Barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukim awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.

Ridwan mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda). Orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian Barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Studi Lance Castles

Agar timbangan tidak berat sebelah maka perlulah di sini dikemukakan pula sosial-origin alias asal-usul sejarah orang Betawi yang ditulis Lance Castles, meskipun telaah peneliti Australia ini banyak bikin berang orang Betawi, tetapi sampai sekarang hanya itulah yang dianggap sebagai jawaban paling memuaskan (kalau tidak bisa disebut accepted history) oleh banyak pihak, terutama para akademisi.

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Ketiga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.

Dari perbandingan dapatlah diketahui bahwa selama sekitar satu abad, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makasar, Sumbawa, dan sebagainya tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat, yang berarti migrasi cukup besar di dari Jawa, dan mungkin estimasi kelompok etnis Sunda di masa lalu di daerah sekitar Batavia terlalu rendah. Sebaliknya muncul kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar yaitu 418.900 orang. Jadi secara umum dapatlah dikatakan bahwa kehadiran orang Betawi merupakan buah dari kebijakan kependudukan yang secara sengaja dan sistematis diterapkan oleh VOC.

Bukti Arkeologis

Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles, arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977). Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.

Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.

Seberapa Penting Keturunan

Akhirnya, sebelum menutup tulisan ini perlu pula dikemukakan pertanyaan, yang terlepas dari polemik soal asal muasal orang Betawi. Sesungguhnya seberapa pentingkah keturunan itu bagi orang Betawi? Mengutip penelitian Ninuk Kleden, maka tiga yang dianggap terpenting dalam fase kehidupan orang Betawi adalah khitanan, kawinan, dan kematian. Berlatar kultur seperti itu, tentunya orang Betawi sedikit sekali punya konsentrasi untuk mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan kelahiran. Adat hidupnya yang banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan untuk lebih mengingat-ingat hari kematian. Wajar jika orang Betawi menganggap adat berulang tahun itu tak penting. Itu adat kafir karena datangnya dari Kumpeni yaitu sebutan mereka untuk VOC (Verenigde Oost-indiesche Compagnie).

Dalam konteks itulah adalah wajar jika Mandra spontan menjawab “au ah gelap” soal asal muasal orang Betawi. Kapan lahir dan keturunan siapa tak persoalan bagi orang Betawi. Apakah sejarah yang disertai polemik itu tepat atau ngelantur? Tak soal. Sekali lagi, seperti kata Mahbub Djunaidi, bagaimana mengkritisi sedangkan topangan literatur tiada. Orang Betawi bukanlah orang Jawa yang walau banyak bohong masih sempat meninggalkan sejarahnya dalam babad.

Motto hidup orang Betawi yang ingin senang terus, membuat mereka tak ambil pusing soal polemik asal muasal itu. Mereka terima saja ketika pemerintah Jakarta menetapkan baginya hari ulang tahun, 22 Juni. Tepat atau tidak, benar atau bohong hari ulang tahun itu bagi orang Betawi tidak jadi soal, karena sesama satu kesatuan entitas nasional jangankan benarnya, bohongnya pun mesti percaya. Hidup sekali dan sudah susah kok dibikin susah-susah dengan segala versi itu.

Boleh jadi sikap ini karena mereka awam sejarah, atau malah sebaliknya, sejarah itu diragukan kebenarannya. Orang Betawi memang polos dan jenaka. Bagi mereka kualitas manusia itu tidak ditentukan oleh kapan lahir dan dari keturunan siapa, melainkan isi kepala dan prilakunya. Ya, memang keturunan itu bukan apa-apa dan tidak 100% dominan.

Taruhlah orang Betawi itu keturunan Baginda Raja Salakanagara yang hebat, Ki Balung Tunggal yang sakti atau cuma budak yang hina, tetapi yang penting siapakah orang Betawi itu sekarang. Antara kebesaran Baginda Raja Salakanagara, kesaktian Ki Balung Tunggal dan kehinaan budak Kumpeni dengan orang Betawi sekarang tidak ada hubungannya sama sekali. Tak perlu cerewet dengan kisah asal muasal keturunan. Lebih penting adalah orang Betawi sekarang mesti belajar dan bekerja keras untuk jadi berkualitas macam raja-raja besar dan jangan jatuh hina ditindas bagai budak tak berharga. Kualitas tak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit.

Tetapi tentang siapakah orang Betawi, dari mana asalnya, pendek kata sejarahnya orang Betawi mesti dicarikan jawaban. Memang kualitas tak jatuh dari keturunan, tetapi pertanyaan sejarah itu bukan berarti mesti diremehkan dan tidak harus dicari jawabannya. Sebisanya mesti dijawab, sebab itu menyangkut sejauh mana sebetulnya kita bersungguh-sungguh dengan sejarah. Sejarah yang lebih adil, yang bisa menjadi sumber inspirasi dan pedoman yang menuntun masyarakat pendukungnya sekarang belajar serta mengetahui serta mengerti seraya bekerja keras untuk mencapai arah kemana mereka mesti menuju.

Dalam konteks itu saling silang tentang sejarah asal usul orang Betawi menjadi penting dan perlu disyukuri sebagai tanda bahwa arah mencari sejarah yang adil tengah berjalan, dan di sana sejarah sebagai gambaran masa lalu yang adalah pula merupakan berita pikiran atau discourse, yang menuntut adanya proses dialogis telah terjadi dan tinggal kini orang Betawi mengambil hikmahnya dari setiap historiografi atau penulisan sejarah yang terlibat dalam polemik itu untuk menjawab keprihatinan dan kegelisahan sosial-kultural mereka yang harus bertanggungjawab memajukan kehidupan manusia Betawi sekaligus manusia Indonesia.

JEJAK KAMPOENG BETAWI

JEJAK KAMPOENG BETAWI

Jakarta sejak bernama Batavia banyak mengabadikan nama kampung, jalan, dan tempat mengacu pada peristiwa yang pernah terjadi atau terdapat di lokasi bersangkutan. Termasuk tokoh masyarakat yang pernah tinggal di tempat tersebut. Baik keturunan Belanda, Tionghoa, Arab, maupun pribumi. Mencerminkan Jakarta sejak tempo doeloe sudah dihuni masyarakat majemuk. Seperti Gang Thiebault (lidah Betawi menyebut Gang Tibo) di Jl Juanda III Jakarta Pusat. Mengabadikan Alfred Thiebault, seorang Belanda (1812) yang tinggal di tempat tersebut.

Memulai karir sebagai guru, ia kemudian jadi pengelola Klub Harmonie, tempat hiburan paling bergengsi kala itu. Gedung Harmonie akhir 1970'an dibongkar dan dijadikan tempat parkir gedung Sekretariat Negara. Berkat kemahirannya, ia kemudian ditugaskan pula jadi pengelola 'Concordia' tempat hiburan untuk para opsir Belanda di Lapangan Banteng. Setelah kemerdekaan dijadikan gedung DPR pada masa RIS dan Demokrasi Liberal (1950-1959). Kini menjadi bagian dari Gedung Departemen Keuangan RI.

Jl Batuceper dulu bernama Brendesche Laan. Kini seperti juga Jl Pecenongan jadi pusat perdagangan dan bursa mobil serta motor di Jakarta. Pengusaha Eddy Tansil, kelahiran Makassar, mulai karirnya jual beli motor di sini. Setelah judi konglomerat, ia kabur dari penjara Cipinang, setelah menyuap petugas lembaga pemasyarakatan tersebut. Eddy Tansil yang jadi buronan hampir 10 tahun, menilep uang rakyat ratusan miliar perak. Sementara belasan konglomerat lainnya kini juga banyak mabur ke luar negeri, bawa kabur ratusan triliun rupiah. Ada yang bilang kalau dibelikan rumah sederhana, seluruh rakyat kecil dapat kebagian.

Jl. Raya Tamansari, yang kini jadi salah satu pusat perdagangan di Jakarta Barat, dulu bernama Drossaer weg. Drossaer nama warga Belanda yang mendiami kawasan ini. Alaydruslaan (kini Jl Alaydrus) di dekat Jl Gajah Mada, mengabadikan Sayid Hoesin Alaydrus, yang memiliki tanah sangat luas di sekitar kawasan tersebut. Ia yang membangun Masjid An-Nawir yang semula mushola di Pekojan, Jakarta Barat.


Di Jakarta terdapat belasan yang berawal dari jati. Seperti Jatibaru, Jatibunder, Jatinegara, Jatipetamburan, Kramatjati, dan Jatiwaringin dan masih banyak lagi. Konon, pada abad ke-17 dan 18 jauh di selatan Batavia terdapat hutan jati. Karena laku keras di pasaran dunia, hutan jati ini oleh oknum-oknum VOC tanpa ampun ditebang secara besar-besaran. Seperti juga sekarang ini, hutan kita hampir habis digunduli para oknum yang tidak bertanggungjawab. Para oknum ini bekerjasama dengan pejabat pemerintah, dan mendapat beking oknum militer dan kepolisian. Rupanya mereka ingin meniru ulah oknum kompeni.


Di Condet, Jakarta Timur terdapat kelurahan Batuampar dan Balekambang. Menurut cerita, dulu di sini terdapat jalan yang diampari batu (Batuampar), dan bale peristirahatan yang mengambang di atas air kolom hingga disebut Balekambang.



Sebelum memasuki Condet dari arah terminal Kampung Melayu, terdapat kawasan Cawang. Nama Cawang berasal nama seorang letnan Melayu yang mengabdi pada kompeni. Enci Awang demikian sebutan nama letnan tersebut, yang lama kelamaan berubah jadi Cawang. Enci Awang adalah bawahan Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim di kawasan yang kini dikenal Kampung Melayu. Awal abad ke-20 Cawang pernah jadi buah bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin alias bapak Cungok. Oleh pemerintah kolonial Sairin dituduh mendalangi kerusuhan di Tangerang (1924). Dia juga dituduh terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet (1916). Kala itu Condet bagian tanah partikelir Tanjung Oost (kini Tanjung Timur).

Masih di kawasan Jakarta Timur, di kecamatan Pasar Rebo, terdapat kelurahan Cijantung. Namanya berasal dari nama sebuah anak kali Ciliwung, yang dulu bernama Areman, dekat markas Brimob di Kelapa Dua sekarang. Pada pertengahan abad ke-17, kawasan ini sudah berpenghuni, seperti dilaporkan Kapten Frederick H Muller, yang memimpin ekspedisi pasukan Kompeni pertama yang menjelajah daerah selatan Meester Cornelis (Jatinegara). Saat penjelajahan ini, hutannya baru saja dibuka oleh Cornelis Senen. Ekspedisi Muller dilakukan, karena adanya berita-berita adanya gerombolan pejuang Islam dari Kesultanan Mataram di daerah pedalaman. Di samping adanya jalan darat yang biasa digunakan orang-orang Banten ke Priangan, melalui Muara Beres (di kawasan Depok), di tepi Kali Ciliwung.

Perjalanan Muller dari kastil Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta) di Jl Fatahilah, Jakarta Barat, dimulai 15 Nopember 1657, bersama pasukannya 24 orang dan dipadu 10 orang pribumi. Setelah berjalan selama tiga hari dengan susah payah merambah hutan belukar, menyuusuri tepi Kali Cuiliwung, barulah mereka sampai di Cijantung yang dihuni oleh 12 umpi, bernama Prajawangsa. Kalau sekarang dari Jatinegara ke Cijantung jalannya macet dan dipenuhi ribuan kendaraan, dulu hutannya demikian lebat hingga untuk mencapainya perlu waktu berhari-hari.


Memasuki kota tua Jakarta, sebelah utara Kantor Pos dan terminal Jakarta Kota, terdapat Jl Cengkeh. Jalan raya yang kini agak kumuh dan banyak dijumpai gedung dan perkantoran tua, sampai akhir abad ke-18 merupakan daerah paling elit di Batavia. Namanya pun kala itu Prinsentraat. Di kelilingi kanal di kiri kanannya, banyak rumah mewah milik warga Belanda. Mereka saling naik perahu saat saling berkunjung. Di sore hari, terutama malam Minggu, banyak pasangan muda-mudi bule berperahu memainkan gitar saat berpacaran.


DARI KEMAYORAN KE JAGA MONYET

Sampai 1970'an nama Kemayoran sangat dikenal di dunia internasional. Para kepala negara atau tamu asing yang ingin ke Indonesia harus melalui Kemayoran sebelum bandara dipindahkan ke Cengkareng. Ketika berlangsung Konperensi Asia Afrika (KAA), April 1955, Bung Karno berhari-hari siaga di ruang VIP pelabuhan udara Kemayoran menyambut puluhan kepala negara, sebelum mereka diberangkatkan ke Bandung tempat berlangsungnya KAA.

Kemayoran sebagai salah satu kampung tua di Jakarta banyak didatangi pendatang setelah dibangunnya bandar udara (1935). Ia juga dikenal sebagai kawasan yang banyak dihuni Indo-Belanda hingga dapat julukan Belanda Kemayoran. Kemudian sebagian besar hengkang ke negeri Belanda ketika hubungan Indonesia dengan negara kerajaan ini putus pada 1957 karena soal Irian Barat (kini Papua).

Menyelusuri sejarahnya ke belakang, ketika Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) hendak membangun jalan darat dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur) ia kekurangan biaya dan menjual tanah Kemayoran kepada orang kaya/tuantanah. Konon, nama Kemayoran berasal dari kata mayor. Mayor (pangkat kehormatan) kala itu hanya diberikan kepada orang Tionghoa yang mengepalai golongannya.

Di Kemayoran inilah Benyamin S dibesarkan dan kini diabadikan jadi nama jalan di Kemayoran. Demikian pula kakeknya, H Jiung seoranmg jagoan terkenal dan banyak menolong rakyat kecil. Untuk nama jembatan dan nama jalan. Kemayoran juga menyandang nama besar di bidang musik. Hingga dikenal keroncong Kemayoran. Pada 1920 - 1925 berdiri musik keroncong Lief de Java (Oud Bat avia), salah satu pemainnya Ismail Marzuki. Di musik ini juga dikenal M Sagi dengan penyanyi tunanetra Anni Landau.

Dari Kemayoran kita ke Kampung Petojo. Kalau sekarang Petojo salah satu pusat perdagangan dan bisnis di Ibukota, sampai awal ke-18 masih merupakan hutan belukar tanpa penghuni. Barulah setelah Phoa Bing Gam, kapiten Cina kedua pertengahan abad ke-18 membuat terusan Molenvliet (di kiri kanan Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk), guna menghubungkan Kota Lama dengan daerah selatan banyak berdatangan pendatang ke Petojo.

Petojo diambil dari Datuk Patuju, anak buah Aru Palaka yang datang ke Batavia meminta bantuan VOC dalam menghadapi Hasanuddin: Ayam jantan dari timur. Dulu (sampai 1950'an) di Jl Jaga Monyet (kini Jl Suryo
pranoto) ada pabrik es "Petojo'. Dari pabrik es inilah suplai es ke seluruh Jakarta. Kala itu di warung-warung Tionghoa ada khusus tempat menyimpan es balokan berukuran sekitar 2 X 3 meter.

Nama Jaga Monyet sampai 1970'an sangat terkenal. Karena ditempat ini Belanda membangun benteng pertahanan (sekitar gedung BRI sekarang) yang letaknya jauh di luar kota. Karena lebih banyak menjaga monyet yang berkeliaran ketimbang menghadapi monyet, benteng ini dinamakan Jaga Monyet. Di Petojo terdapat Jl Kesehatan. Dulunya disebut daerah Pabuaran karena penduduknya berasal dari daerah luar.

Sedangkan nama Petojo Binatu karena banyak penduduk jadi tukang binatu. Mereka mencuci di pinggir kali Ciliwung, hingga para tamu Hotel Des Indes (hotel paling mewah kala itu yang digusur awal 1970'an, dapat menikmati pemandangan orang mandi sambil berbugil ria sehingga jadi pentas tontonan bathing beuties. Bukan hanya di Molenvliet, di kampung-kampung yang dialiri Ciliwung banyak penduduk jadi tukang binatu. Ongkosnya 5 sen untuk kemeja dan satu setel sepicis (10 sen). Kala itu setrika diisi arang yang dipanaskan. Maklum belum ada setrika listrik.

Petojo kala itu dialiri dua sungai, Palis dan Cideng. Sungai Palis mengalir sepanjang Jl Kesehatan dan Sungai Cideng mengalir dari Jatibaru ke Cideng. Ke-13 sungai di Jakarta kala itu dijadikan alat transportasi membawa getek-getek bambu dari Tanah Abang ke Jakarta Kota. Getek-getek ini berjalan tenang di air yang jernih dan dalam, sambil harus berhati-hati agar tidak terkena mereka yang mandi, mencuci dan membuang hajat ditepinya.


Dari Petojo kita Kampung Jembatan Lima. Letaknya sangat strategis dapat dicapai oleh kendaraan mobil maupun kereta api. Perlu diketahui kereta api pertama Batavia - Boutenzorg (Bogor) dimulai 1873. Trem kuda 1869 dan disusul trem listrik 1899. Trem dibongkar masa Bung Karno (1961). Mobil baru mulai dikenal 1920'an merupakan simbol elitis dan ekslusif. Hanya orang Belanda tertentu yang memilikinya, dan kemudian segelintir kaum berada dari etnis lain.

Jembatan Lima di Jakarta Barat nama ini mengacu adanya 5 buah jembatan, yang kini sudah menghilang. Di Kampung Lima terdapat Kampung Sawah Lio karena dulunya tempat pembakaran batu bata (lio). Terdapat Gang Laksa, karena disana tinggal beberapa orang kaya yang punya uang berlaksa-laksana. Terdapat Kampung Petuakan sebagai tempat jual beli tuak. Di Kampung Lima juga ada Kampung Petak Serani. Dulu merupakan petak-petak tempat tinggal orang Serani (Kristen). Di kampung Lima juga terdapat rawa-rawa yang dipenuhi bunga teratai. Hingga dinamakan Kampung Teratai.

Adapun nama Tambora, kecamatan yang membawahinya, karena tiap pagi di asrama tentara terdengar suara tambur. Jadi nama-nama kampung tua di Jakarta biasanya diambil dari keadaan alam sekitar kampung tersebut atau peristiwa yang pernah terjadi.


ANCOL, RIWAYATMU DULU

Selama Idul Fitri banyak warga yang mendatangi tempat rekreasi. Salah satu yang banyak diserbu adalah Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) di Jakarta Utara. Seperti tahun-tahun lalu, pengunjung sampai membludak selama sebulan setelah lebaran. Bisa mencapai jutaan orang.

Hal demikian juga terjadi di tempo doeloe. Sampai tahun 1960-an selama lebaran warga ramai-ramai rekreasi ke Zandvoort, yang oleh lidah Betawi disebut 'sampur'. Jaraknya sekitar 3 km dari Ancol, dan hanya 1 km dari stasion Kereta Api Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Ancol, yang kini tempat rekreasi paling banyak menyedot pengunjung, kala itu masih hutan belukar dan sarang monyet. Hingga kendaraan yang lewat harus perlahan-lahan dan ekstra hati-hati, karena monyet-monyet sering berhamburan keluar. Banyak yang percaya para monyet itu memiliki seorang pemimpin yang dijuluki 'si kondor'. Tentu saja kini tidak satu pun monyet yang tersisa. Bahkan, semak belukar sudah jadi hutan beton.

Ulama Kondang almarhum KH Abdullah Syafe'ie, melalui radio Asyafi'iyah pada tahun 1970-an dan 80-an, sering menyindir bahwa monyet-monyet di Ancol sekarang bukan lagi berupa binatang tapi manusia yang tingkah lakunya lebih jelek dari binatang.

Maksud sindiran ulama Betawi itu, karena di malam hari para hidung belang dan WTS menjadikan kawasan Ancol sebagai tempat indehoy. Tanpa mengenal malu dan takut akan dosa, mereka melakukan maksiat di pasir tepi pantai, hanya di-alingin sebuah pantai. Konon, sekarang ini lebih berani lagi.

Ancol sebagai tempat maksiat dikenal jauh sebelumnya. Di kisahkan, playboy kaya raya Oey Tambahsia dan sejumlah warga
tajir lainnya sering bersenang-senang di Ancol. Mereka memiliki soehian (semacam rumah pelacuran) tempat berpesiar dengan para harem. Bahkan, di salah satu vilanya itu, konon si mata keranjang Oey Tambahsia membunuh seorang gadis yang jadi korbannya.

Kemudian, gadis itu diidentikan sebagai Ariah yang hilang sekitar tahun 1870/1871. Ia meninggal dan jasadnya hilang, setelah menolak hendak diperkosa di sebuah vila di Ancol. Ia kemudian dikenal sebagai 'Si Manis dari Jembatan Ancol', yang pada malam hari sering keluar dan menggoda laki-laki, khususnya para sopir yang lewat jembatan.

Kisah itu telah berkali-kali disinetronkan, bahkan pernah difilmkan. Oleh perusahaan film Sarinande dengan produsen dan sutradara Turino Djunaedi dan pemeran utama Lenny Marlina, Farouk Afero dan Kris Biantoro.

Dalam tahun 1950-an, suratkabar Ibukota sering memberitakan kecelakaan lalu lintas yang meminta korban manusia di Jembatan Ancol. Berita-berita burung menyebutkan kecelakaan itu berkaitan dengan munculnya tiba-tiba seorang gadis ayu dekat jembatan Ancol. Si gadis bahenol terkadang berdiri di tepi jembatan dan terkadang melintasinya. Karena konsentrasi sopir terganggu, mobilnya menabrak pohon. Tidak heran, kala itu para pengemudi bila melewati jembatan ini harus beri kode: membunyikan klakson atau menyalakan lampu sen.

Seorang sordadoe Kompeni, Johannes Rach (1720-1783), ketika bertugas di Batavia sempat melukis Ancol. Kala itu banyak warga Belanda membangun vila di Ancol, yang kala itu masih bernama Slingerland. Prajurit itu melukis tuan dan nyonya Belanda serta kelurganya tengah berlibur di Ancol, yang kala itu letaknya di luar kota Batavia yang berpusat di Pasar Ikan. Sama seperti kalau kita berakhir pekan ke Puncak. Di Ancol, gubernur jenderal Valckenier memiliki sebuah vila besar dengan taman yang luas. Tentu saja ketika itu pantainya belum terkena polusi seperti sekarang.

Dalam lukisan tersebut tampak para wanita dengan pakaian mode dari Paris abad ke-18 yang dibagian bawahnya seperti 'kurungan ayam' tengah dipayungi budaknya. Sementara sejumlah budak lain mendampinginya memegang 'tempolong' untuk tempat ludah sirih 'si nyonya'. Kala itu, para wanita umumnya nyirih -- mengunyah daun sirih yang tengahnya diberi pinang dan gambir.

Kebiasan yang dilakukan para budak wanita itu kemudian ditiru para wanita Indo. Sampai 1950-an, hampir di tiap rumah selalu tersedia tempat sirih. Di kesultanan-kesultanan tempat sirih ada yang dibuat dari emas dan perak. Waktu itu, di jalan-jalan Ibukota terdapat penjual sirih yang memikul dagagangnya.

Pada masa perjuangan dan awal kemerdekaan, Ancol merupakan daerah terlupakan. Kawasan seluas 552 hektar itu dibiarkan terlantar dan jadi sarang malaria. Bersamaan dengan isu 'si Manis dari Jembatan Ancol'. Bung Karno lah yang punya ide untuk memanfaatkan Ancol, yang kala itu dijuluki 'tempat jin buang orok'. Presiden pertama RI itu merencanakan membangun Menara Soekarno. Namun urung, karena Bun
g Karno keburu dijatuhkan, sementara masyarakat menilainya sebagai 'proyek mercu suar'.

Pada saat keadaan Ancol demikian, Zandvoort menjadi tempat rekreasi warga Ibukota. Rekreasi ke pantai ini sangat menyenangkan. Tidak bayar sesenpun. Juga tidak perlu biaya banyak seperti ke Taman Impian Jaya Ancol. Warga dapat makan di dekat siraman ombak dan pantai yang jernih. Sementara di pinggir-pinggir jalan banyak pedagang, dengan harga yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.

Kini Zandvoort sudah tidak berbekas sama sekali. Bahkan, namanyapun tidak ada yang tahu, alias dilupakan. Kini di tempat rekreasi yang dulu paling banyak didatangi orang itu, yang tinggal hanya sejumlah gudang dan pantainya kotor penuh sampah.


HIKAYAT KEBON SIRIH SEJAK 1927

Kampung Kebon Sirih (rupanya dulu banyak pohon sirih tumbuh di sini), merupakan salah satu kampung tua di Jakarta. Dibangun pada tahun 1830 atas perintah Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang terkenal dengan sistem tanam paksanya yang membuat bencana kepada masyarakat banyak. Ia membentuk sebuah lingkaran apa yang disebut Defensielijn Van den Bosh atau Garis Pertahanan Van den Boosh yang disebut Weltevreden. Yakni wilayah sekitar Gambir (kini Monas). Di sinilah tempat pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di Jl Kebon Sirih, terdapat kantor DPRD DKI Jakarta, yang terletak di bagian belakang dari Balai Kota, yang dibangun pada awal abad ke-20.

Kebon Sirih, yang berdekatan dengan kawasan elite Menteng, merupakan salah satu pemekaran Batavia ke arah selatan. Ujung bagian selatan Kebon Sirih, terdapat Jl Parapatan. Di sini Bung Karno membangun patung petani suami istri. Ketika terjadi Gerakan 30 September, banyak pihak yang menghujat patung ini, karena si petani menyandang bedil dipinggangnya. Maklum, menjelang G30S (September 1965), PKI dan ormas-ormasnya menuntut agar 15 juta petani dan buruh dipersenjatai sebagai angkatan ke-5. Usulan ini ditentang keras pihak ABRI yang mengakibatkan terjadinya konflik antara PKI dan AD.

Kebon Sirih terkenal dengan ratusan pengusaha kecil yang berkarya dalam industri jok. Hikayat Kebon Sirih sebagai pusat industri jok di Jakarta, dimulai tahun 1928. Tentu saja ketika itu, saat mobil belum banyak ngonol di Jakarta, para pengusaha kecil diisi membuat jok untuk delman dan sado. Pada tahun 1950-an mereka juga membuat jok untuk becak, ketika kendaraan beroda tiga ini menjadi raja jalanan di Ibukota. Kini, para perajin jok lebih banyak membuat pesanan untuk mobil. Ketika industri jok tengah berkembang, terutama di masa Pak Harto saat perusahaan mobil PT Astra menjadikan mereka sebagai anak angkat khusus dibidang pembuatan jok. Kala itu, anak-anak di sekitar Jl Kebon Sirih Timur Dalam tidak ada yang menganggur. Masih di usia belasan, mereka sudah ikut membantu orang tua atau teman. Karena industri jok di Kebon Sirih sudah berlangsung lebih tiga perempat abad, maka pekerja jok sekarang ini merupakan generasi ketiga. Tapi keberadaan mereka menjadi terganggu ketika di daerah ini perusahaan Bimantara membangun gedung megah dan besar, hingga banyak rumah penduduk tergusur. Apabila hal ini terus terjadi dikhawatirkan salah satu kampung tua dan bersejarah di Jakarta ini akan hilang.

Nama Kebon Sirih termashur di mancanegara, karena di Jalan Jaksa yang terletak antara Jl KH Wahid Hasyim dan Kebon Sirih bertabur hotel murah meriah. Tempat berseliweran para turis (yang) berkantong cekak. Di sini juga digelar Pesta Jalan Jaksa. Cap jaksa pada jalan itu telah ada sejak sebelum pewrang dunia II. Konon, dulu jalan itu merupakan tempat pemondokan mahasiswa sekolah tinggi hukum Belanda di Jalan Merdeka Barat. (Kini Departemen Hankam). Namun, para mahasiswa itu tak mampu meraih gelar sarjana hukum (MR), cuma mampu tingkatan jaksa. Jadilah sepotong jalan sepanjang 450 meter itu disebut Jl Jaksa (sampai kini).


CIKINI ATAWA CEKINI

Jalan Cikini Raya merupakan salah satu kawasan elit di Jakarta. Kawasan yang bertetangga dengan Menteng dan Gondangdia ini adalah juga salah satu kampung tua di Jakarta. Sampai akhir 1960-an, Cikini dengan kebun binatangnya, menjadi tempat rekreasi di Jakarta. Di kebun binatang ini kemudian Gubernur DKI Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia pun menggusur bioskop Garden Hall, bioskop kelas satu di Jakarta. Podium, sebuah bioskop lebih kecil di dekatnya juga tergusur. Di sebelah TIM yang juga merupakan bagian dari rumah pelukis Raden Saleh sampai 1970-an masih terdapat kolam renang Cikini. Kolam renang yang dibangun pada 1930-an ini sampai 1970-an masih berdiri dan banyak didatangi warga ibukota dari berbagai tempat. Mendatangi Cikini yang oleh warga Betawi dilafalkan Cekini ini pada tempo dulu, seperti dikemukakan H Amarullah Asbah, mantan anggota DPRD DKI Jakarta, di belakang Jl Raya Cikini dulu banyak terdapat perkampungan Betawi. Antara lain Cikini Kecil, lokasinya di belakang Hotel Sofyan Cikini sekarang. Kini, seperti juga banyak kampung lainnya di Jakarta, Cikini Kecil sudah tidak tersisa. ''Tidak ada pemukiman Betawi lagi karena arealnya telah dibeli atau dibebaskan developer (pengembang),'' ujar Amarullah yang lahir dan besar di Cikini. Disebut Cikini Kecil karena arealnya tak begitu luas. Di pemukiman Betawi ini, sambungnya, dulunya terdapat sebuah makam keramat.

Tokoh yang sangat terkenal di Cikini Kecil sampai 1960-an adalah Bir Ali. Nama sesungguhnya Muhammad Ali. Disebut demikian karena ia suka minum bir. Bir Ali yang mantan militer ini pernah malang melintang di dunia kejahatan. Ia pernah menembak mati Kun Utoyo. Korban dibunuh ketika hendak naik motor membonceng istri Bir Ali. Bir Ali juga pernah menembak mati Ali Badjened, seorang kaya raya di Jakarta. Konon, bersama Kusni Kasdut ia pernah terlibat perampokan emas di Museum Nasional pada pertengahan 1950-an. Ketika ditahan di LP Cipinang ia mengajar ngaji para napi lainnya. Menurut seorang yang kenal dekat dengannnya, Bir Ali juga pernah memadamkan pemberontakan para napi di LP Cipinang. Amarullah sendiri ketika kecil tinggal di tepi Ciliwung di Kampung Cikini Binatu (kini Jl Raden Saleh II).

Disebut demikian karena di situ banyak tinggal tukang binatu yang memanfaatkan kali Ciliwung yang kala itu masih jernih. Langganan mereka adalah tuan dan nyonya Belanda yang tinggal di Cikini. Di sini juga banyak tinggal tukang delman (sado). ''Saya sendiri dari keluarga tukang delman,'' ujar Amarullah. Kala itu, Kampung Cikini yang kini kumuh banyak terdapat lapangan tempat kandang kuda. Kuda-kuda oleh tukang delman di Cikini juga dimandikan di Ciliwung. Sebelumnya, di belakang Pasar Cikini yang megah depan stasiun kereta api Cikini, ada kampung Cikini Kramat Kamboja. Kampung yang juga dikenal sebagai Gang Ampiun ini dilintasi kereta api barang yang mangkal di Gang Kenari (samping FK UI). Yang masih menjadi peninggalan tempo dulu di sini adalah para pedagang yang berjejer hingga ke stasiun KA Cikini. Para tukang kembang di Pasar Cikini sudah merupakan generasi turun temurun sejak kakek mereka.

Sampai 1970-an, di sini tinggal H Asnawi, ahli pengobatan tulang yang oleh orang Jakarta di sebut dukun pateh. Entah berapa ribu orang penderita patah tulang yang telah ditolongnya. Saya sendiri pada 1953 ketika tangan patah karena main bola di Lapangan Ikada (Monas) dibawa ke H Asnawi. Di kampung ini juga tinggal perintis musik dangdut (dulu bernama orkes Melayu) dari keluarga Harris. Seperti, A Harris dan Bahfen Harris. A Harris yang terkenal dengan lagu Kudaku Lari pernah kawin dengan bintang film Malaysia, Rodiah, janda penyanyi dan aktor P Ramlee, bintang legendaris Malaysia. Di Jl Raya Raden Saleh terdapat RS DGI Cikini yang dulunya merupakan rumah pelukis kelahiran Semarang ini. Di jalan ini ada sebuah poliklinik yang pernah dihebohkan sebagai tempat praktek aborsi. Entah sudah berapa ribu janin dibunuh di poliklinik ini yang terbanyak akibat hamil di luar nikah. Restoran Oasis yang terdapat di jalan ini masih tampak megah hingga kini. Gedung ini dibangun awal abad ke-20 oleh seorang baron Belanda yang pada 1940 ditangkap atas tuduhan menjadi kaki tangan Jerman. Restoran ini dihiasi dengan banyak lukisan, patung, dan permadani sangat mahal. Tidak ketinggalan sejumlah barang antik dari Prancis, Jerman, dan Belanda menjadi koleksi gedung ini.

Sesudah 1940, gedung Oasis, menurut Willard A Hanna dalam Hikayat Jakarta, berturut-turut digunakan sebagai tempat tinggal gubernur jenderal yang beristrikan orang Amerika (yakni sebagai tempat persembunyian mereka ketika tentara Jepang berada di ambang pintu). Oasis sempat dijadikan sebagai tempat tinggal para opsir tinggi Jepang. Sesudah Perang Dunia II gedung itu menjadi tempat tinggal pejabat perwakilan Angkatan Laut AS yang bergabung dalam tentara Sekutu. Ketika masih menjabat Menristek dan Ketua BPPT, BJ Habibie sering menjamu tamu-tamu asing di tempat ini. Menulis Cikini terasa kurang afdol tanpa menyebut Masjid Jami Cikini yang dibangun Raden Saleh. Amarullah memaparkan, masjid yang berusia lebih satu abad ini dulu menjadi tempat mengajar Habib Salim Bin Djindan dan Habib Alwi Djamalullail. Keduanya dikenal sebagai dai vokal dan seringkali tanpa tedeng aling-aling melontarkan kritik pada pemerintah kolonial Belanda. Mereka beberapa kali dijebloskan dalam penjara baik pada masa Belanda, Jepang, hingga Pemerintahan Soeharto.


KAMPUNG MELAYU – PRIOK

Menaiki mikrolet dari terminal Kampung Melayu menuju stasion kereta api Tanjung Priok kita harus beberapa kali berganti kendaraan. Seorang sopir mikrolet yang dulu disebut Ostin berasal dari nama kendaraan Austin buatan Eropa mengeluh berkurangnya penumpang sejak beroperasinya bus way.

Kampung Melayu, yang telah dikenal sejak abad ke-17, dijadikan tempat pemukiman orang-orang Melayu yang berasal dari Malaka di bawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus. Dia digambarkan sebagai orang yang cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik tugas administrasi maupun di lapangan sebagai perwira.

Tapi, sayangnya Kapten Wan Abdul Bagus sangat mengabdi kepada Kompeni, dimulai sebagai juru tulis, juru bahasa, sampai ditunjuk sebagai utusan ketika kompeni menghadapi masalah di Sumatera Barat. Kapten Melayu yang pernah ikut kompeni dalam menumpas pemberontakan Mataram, Banten dan Pangeran Trunojoyo, itu meninggal pada tahun 1716 dalam usia 90 tahun.

Setelah meninggal, Wan Abdul Bagus digantikan oleh putranya, Wan Muhamad, yang kawin dengan Syarifah Mariam yang pernah membuat geger Kesultanan Banten karena berpihak pada Sultan Haji ketika ingin mengambil kekuasaan Banten dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan sekaligus bersekongkol dengan gubernur jenderal Van Imhoff.

Oleh gubernur jenderal berikutmya Syarifah diasingkan ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu hingga meninggal. Makamnya masih sering diziarahi untuk meminta nomor buntut, terutama saat Hwa-Hwe.

Mikrolet kemudian berhenti di Bukit Duri. Dulu di sini terdapat penjara wanita yang kemudian dibangun Kompleks Pertokoan dan Perumahan Bukit Duri Permai. Bukit Duri, yang masuk wilayah Meester Cornelis, dulu merupakan bagian terpisah dari Batavia dan pada 1924 dijadikan nama Kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Batavia.

Baru pada 1 Januari 1936, setelah berbentuk gemeente, Bukit Duri disatukan dengan gemeente Batavia. Perubahan nama Meester Cornelis menjadi Jatinegara dilakukan pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945).

Kemudian, mikrolet meluncur ke Matraman. Kini Pemda DKI Jakarta dibuat pusing oleh perkelahian yang entah sudah berapa kali antara warga Berland dan Pal Meriam. Padahal, antara kedua kelurahan yang saling berseberangan itu sudah dibangun pagar pemisah yang cukup tinggi dari besi.

Matraman pernah dijadikan basis oleh pasukan Sultan Agung ketika menyerang Batavia (1628-1629). Entah bagaimana kata Mataram itu oleh lidah Jakarta menjadi Matraman. Sekalipun dua kali penyerangan itu gagal karena tidak didukung logistik, para bangsawan Mataram yang kemudian tinggal di Jakarta cukup handal dalam penyiaran agama. Terbukti, banyak masjid yang mereka bangun dan hingga kini masih berdiri.

Melewati Pasar Senen, kita harus pindah ke mikrolet Senen-Kota. Di Jl Senen Raya ini dulu gubernur jenderal van den Parra membangun istana sekaligus tempat peristirahatan yang megah. Kini menjadi Rumah Sakit Pusat AD Gatot Subroto.

Jalur mikrolet Senen-Kota melewati Pasar Baru -- pasar yang ada belakangan setelah lingkungan sekitar lapangan Gambir dibuka oleh gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Daerah yang menjadi pusat pemerintahan VOC itu oleh Daendels dinamai Weltevreden (tempat yang menyenangkan).

Dari Pasar Baru, mikrolet menuju Jl Pintu Besi (kini Jl Samanhudi). Di sini terdapat pusat penjualan suku cadang terbesar di Jakarta. Namanya Musatek dan sebelumnya Percetakan Siliwangi.

Gedung yang luas itu dulu milik pahlawanan nasional M Husni Thamrin. Di sinilah dia wafat pada tahun 1941. Waktu dimakamkan di TPU Tanah Abang, jumlah pelayatnya ditaksir mencapai ratusan ribu orang, padahal penduduk Jakarta kala itu baru setengah juta jiwa.

Setelah berganti mikrolet di stasion kereta api Bios, kita mendapati puluhan mikrolet yang sedang menunggu penumpang ke Priok. Stasion KA Tanjung Priok sudah belasan tahun ini tidak terurus lagi. Yang menyedihkan, banyak tuna susila tinggal dan memasak sampai ke dalam stasion.

Stasion Tanjung Priok dibangun setelah pelabuhan Tanjung Priok dibuka untuk menggantikan Pelabuhan Sunda Kalapa yang sejak dibukanya Terusan Suez (1868) tidak lagi dapat menampung armada kapal-kapal uap yang menggantikan kapal layar.

Sejak Terusan Suez dibuka, jumlah warga Barat di Nusantara terus meningkat pesat. Pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 40.000 jiwa, atau meningkat delapan kali lipat. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu dan 20 tahun kemudian jumlah orang Eropa di Nusantara mencapai 91.142 jiwa.

Tanjung Priok berperan sebagai tempat transit warga Barat yang datang ke Batavia dan sekitarnya. Mereka naik kereta api dari stasion KA Tanjung Priok. Di salah satu bagian dari stasion KA itu dulu terdapat sebuah hotel yang cukup baik bagi mereka yang tiba kemalaman. Stasion ini bukan hanya mengangkut penumpang untuk kota Jakarta dan sekitarnya, tapi juga untuk jarak jauh seperti Semarang dan Surabaya.

Dulu stasion Tanjung Priok punya jaringan hingga ke dermaga pelabuhan (1885), kemudian disempurnakan dengan membangun stasion baru pada 1886. Pada kesempatan itu juga digunakan kereta api listrik pertama di Hindia Belanda dari Meester Cornelis ke Tanjung Priok.

Stasion ini merupakan stasion monumental dengan delapan jalur. Bangunannya bertumpu pada ratusan tiang pancang yang memiliki atap penutup dari beton. Ketika stasion KA ini dibuka, seperti juga stasion dan bangunan-bangunanm besar lainnya, dilakukan selamatan untuk seluruh karyawan dengan menanam dua kepala kerbau di sisi stasion. Kabarnya, pihak PT KAI dalam waktu dekat akan mengoperasikan kembali stasion KA Tanjung Priok yang telah bertahun-tahun tidak berfungsi.


MENELUSURI CHINA TOWN

Menjelang pertengahan Ramadhan, Glodok yang mendapat julukan China Town atawa Pecinan merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang banyak didatangi pembeli. Glodok dalam sejarahnya merupakan salah satu pasar tertua di Jakarta, lebih tua dari Pasar Tanah Abang dan Senen yang dibangun pada abad ke-18.

Glodok berasal dari nama yang berbunyi grojok-grojok pada masa VOC merupakan kampung yang terletak di luar kota berbenteng. Jauh sebelum dibangunnya Batavia (Mei 1619), dan semenjak bernama Sunda Kalapa, orang Cina sudah banyak tinggal di tepi pantai tidak jauh dari bandar Sunda Kalapa. Tapi, ketika Olanda membangun loji di sini, mereka pun diusir. Baru setelah terjadinya pembantaian orang Tionghoa (November 1740) mereka ditempatkan di kawasan yang sekarang ini kita kenal dengan sebutan Glodok.

Mendatangi pusat-pusat pembelanjaan di Glodok saat puasa, kita harus ekstra kuat menahan haus. Berdampingan dengan Glodok terdapat pertokoan Pancoran yang dulunya merupakan pancuran tempat orang mengambil air minum dan mandi. Glodok memiliki pusat elektronik yang dikenal sebagai pertokoan Harco. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa yang membangunnya pada tahun 1970-an adalah seorang keturunan Arab bernama Abubakar Bahfen. Dia juga membangun pertokoan dengan nama yang sama di Pasar Baru.

Baik di Glodok maupun di Pasar Baru, sampai tahun 1960-an terdapat Markas Polisi Seksi II dan III -- semacam Polsek sekarang ini. Di Harco kita dapat membeli berbagai produk elektronik dengan harga miring, dan kini didominasi oleh produk Cina. Konon, di sini juga terdapat barang-barang selundupan, yang begitu gampang lolos dan dijual bebas. Di sekitar Harco terdapat para pedagang VCD dan DVD, termasuk film-film porno. Entah sudah berapa puluh kali dilakukan razia, tapi tidak pernah berhasil menghalau para pedagamg VCD porno yang jumlahnya ratusan.

Menelusuri jalan-jalan di daerah ini, diperlukan banyak fantasi. Bukan saja untuk membayangkan tragedi 1740 yang menelan korban 10 ribu Tionghoa, tapi situasi tempat dan masyarakat ketika itu. Pria Cina ketika itu berlalu lalang dengan rambut dikepang panjang dan rambut bagian depan dicukur licin, sebagai tradisi ketika daratan Cina dijajah Manchu selama tiga ratus tahun. Pemerintah kolonial Belanda, disamping mengharuskan orang Cina tinggal di satu tempat, juga melarang mereka berpakaian seperti pribumi dan barat. Yang melanggar dikenai denda atau kurungan.

Hingga kini -- sekalipun harus bersaing dengan pusat perdagangan lain yang menjamur di Jakarta -- Glodok masih tetap merupakan tempat perbelanjaan paling bergengsi. Hampir semua tempat tinggal telah berubah fungsi menjadi tempat perdagangan. Penghuninya kini tinggal di perumahan-perumahan mewah, seperti Pluit, Ancol, Sunter dan Kawasan Indah Kapuk.

Pada masa Bung Karno dan awal pemerintahan Soeharto, konon sebagian besar uang yang beredar berada di Glodok. Sebelum dilarang di masa pemerintahan Soeharto, di Glodok dapat disaksikan berbagai atraksi kesenian Cina, yang juga diminati pribumi.

Misalnya, pesta-pesta pada tahun baru Imlek yang meriah dan gemerlapan. Lalu, perayaan Cap Go Meh yang berlangsung setiap malam mulai dari Pecinan hingga Meester Cornelis (Jatinegara), dan diteruskan ke Buitenzorg (Bogor), Sukabumi dan Cianjur.

Ketika kita menelusuri jalan-jalan di Pecinan, serta puluhan jalan kecil di sekitarnya, aroma hio terasa menyengat dan merupakan tipikal kawasan ini. Tidak usah heran, hio bagi masyarakat setempat bukan saja dipasangkan di hio lau, tapi juga di pojok-pojok pintu rumah. Itu membuktikan adat istiadat leluhur masih mendapat tempat. Termasuk bagi generasi mudanya, yang kita dapati banyak mendatangi klenteng-klenteng untuk bersoja sebagai tanda bakti kepada leluhur. Dalam masyarakat Tionghoa, berbakti pada orang tua merupakan kemustian, agar tidak jadi orang doraka.

Di China Town kita akan mendapati belasan sinshe yang membuka praktek pengobatan sejak puluhan tahun lalu. Dulu, ketika dokter masih sedikit, sinshe paling banyak didatangi orang yang ingin berobat. Di samping sinshe, kita akan mendapati kios-kios pedagang obat-obatan Cina yang dijual secara bebas. Pengobatan Cina, yang dikenal sejak ribuan tahun lalu, kini makin diminati. Sayangnya, banyak obat-obat produk Cina yang palsu, seperti berulang kali disiarkan pers.

Berdekatan dengan Glodok terdapat Kali Besar yang oleh Belanda disebut Groote Kanaal. Dulu merupakan alur pelabuhan, di mana kapal-kapal kecil dapat masuk dan sandar untuk membongkar barang-barang, khususnya rempah-rempah. Sampai tahun 1950-an, banyak perusahaan besar berkantor di Kali Besar. Sebelum perusahaan Belanda dinasionalisasi, mereka berkantor di Kali Besar.

Banyak pegawai Belanda yang datang ke kantor dari Menteng dan Pasar Baru dengan naik trem listrik. Di Kali Besar muara Ciliwung pada saat Peh Cun hari keseratus tahun baru Imlek banyak masyarakat Cina melakukan lomba sampan. Ketika itu airnya masih jernih, sering digunakan untuk mandi oleh anak-anak dan mencuci pakaian oleh ibu-ibu.


MESTER – CONDET – CILILITAN

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa nama Jatinegara, sebuah kecamatan di Jakarta Timur, baru muncul pada tahun 1942. Yakni, pada awal masa pendudukan Jepang sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.

Nama Jatinegara -- 'negara sejati' -- sebetulnya sudah dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jakatra. Saat pangeran dan pengikutnya hengkang dari Sunda Kelapa dan keratonnya dihancurkan Belanda, sambil bersumpah untuk memerangi VOC, mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama Jatinegara Kaum, di Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Jepang, pada saat bersamaan, juga merubah nama Batavia menjadi Jakarta, dari kata Jayakarta. Naman ini juga telah dipopulerkan Fatahillah, ketika ia dan balatentaranya mengusir pasukan Portugis dari Teluk Jakarta (22 Juni 1527).

Sebutan Meester Cornelis sendiri mulai muncul ke pentas sejarah kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17 bersamaan dengan diberikannya izin pembukaan hutan di kawasan itu pada Cornelis Senen oleh VOC. Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen dari Lontor, Pulau Banda.

Ketika tanah tumpah darahnya dikuasai kompeni (1621), Cornelis mulai bermukim di Batavia. Dia dikenal mampu berkhotbah, baik dalam bahasa Melayu maupun Portugis (Kreol). Sebagai guru ia biasa dipanggil meester yang berarti tuan guru. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan Meester Cornelis, yang oleh pribumi biasa disingkat Mester.

Hingga sekarang masih banyak warga menyebut mester untuk Jatinegara atau Kampung Melayu. Termasuk para pengemudi angkot dan bus kota. Meester Cornelis dahulu merupakan kawasan yang berdiri sendiri dan tidak dalam pemerintahan Batavia.

Dari Jatinegara, setelah melalui Cawang (berasal nama seorang kapten Melayu encik Awang), bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim di kawasan yang sekarang dikenal dengan Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.

Menurut Rachmat Ruchiat, mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Museum DKI, pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir masyarakat, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sa'irin alias Bapak Cangok. Sa'irin dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang (1924). Di samping itu, dia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet (1916).

Dari Cawang, kita menuju ke kawasan Condet. Di Condet Raya, yang jalan rayanya dua arah, kemacetannya sudah tidak ketolongan lagi. Semua pihak menganggap jalan yang sempit ini perlu diperlebar. Disamping mobil dan ribuan kendaraan beroda dua, jalan ini makin macet dengan beroperasinya metro-mini, yang berhenti seenaknya.

Di Condet, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, terdapat kelurahan Batuampar. Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut, sebagaimana diceritakan oleh orang-orang tua di Condet kepada Ram Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet.

Pada jaman dulu, ada seorang suami istri bernama Pangeran Geger dan Nyai Polongan, yang memiliki beberapa orang anak. Salah seorang puterinya, Siti Maimunah, sangat kesohor kecantikannya. Ia memiliki hidung mancung serudung, rambut mayang terurai, pipih bak pauh dilayang. Konon, kalau Siti Maimunah minum, airnya terlihat ditenggorannya. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara dari Makassar, untuk dijodohkan dengan salah seorang putranya, Pangeran Astawana.

Maemunah bersedia diperistri dengan permintaan supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersantai di atas empang dekat Kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu disanggupi, dan ternyata terbukti. Menurut sahibul hikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di atas empang di pinggir Kali Ciliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari batu dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara.

Menurut hikayat, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu disebut Bale Kambang (balai yang mengambang diatas air). Maka jadilah nama Balekambang.

Kawasan Cililitan dulu terbentang dari Kali Ciliwung di sebelah barat, sampai Kali Cipinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan Kampung Makassar dan Condet. Di utara berbatasan dengan Cawang.

Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Cipinang. Sekarang ini, anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya. Kata 'Ci' adalah bahasa Sunda, mengandung arti sungai. "Lilitan" lengkapnya 'lilitan kuru', adalah nama sejenis tanaman perdu.

Kembali ke kawasan Kramatjati, tempat yang terletak antara kantor kecamatan dan kantor polisi ressort Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan raya Bogor ke TMII terus ke Pondok Gede, dikenal dengan nama Hek. Rupanya nama ini berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda-Indonesia, kata hek berarti pagar. Tetapi hek juga berarti pintu pagar.

Dari seorang penduduk setempat yang berusia lanjut, bahwa di tempat tersebut dulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung-ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar, dan bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar-masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat.

Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Barisan Pemadam Kebakaran dan Kompleks Polisi Resor Kramatjati.