Sorak-sorai untuk Gasingku
”Ngung....” Begitu suara yang diciptakan saat angin masuk lubang gasing yang berputar. Di belakang benang yang merupakan batas antara menang dan kalah, peserta dan penonton bersorak, ”Hore… hore... ayo... ayo… terus berputar!”
Petugas yang dipilih pun sibuk memerhatikan penghitung waktu karena gasing yang berputar paling lama dan tidak keluar arena merupakan pemenangnya.
Walau lomba gasing baru pertama kali diadakan bersamaan dengan pelaksanaan Dugderan Tempo Doeloe di Kampung Kauman, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (28/8), keberadaan gasing-gasing tersebut sudah hadir bertahun-tahun lalu.
Dugderan sendiri, yang merupakan akronim ”dug” bunyi bedug (beduk) dan suara ”der” bunyi meriam, menjadi pertanda dimulainya bulan Ramadhan bagi warga Kota Semarang di Kompleks Masjid Besar Kauman pada masa lalu. Sebelum dugder tiba, pada masa itu muncul pedagang mainan dan para penghibur tiban. Pengunjung dari berbagai penjuru kota menikmati hiburan serba merakyat di alun-alun dan di depan Masjid Agung Besar Kauman. Pedagang mainan tersebut menjajakan mainan dari gerabah (kasongan), truk-trukan, boneka dari kayu, dan yang tidak pernah ketinggalan adalah gasing. Karena alasan kelancaran lalu lintas, dugderan dipindahkan ke Polder Tawang dan tahun ini di Masjid Agung Jawa Tengah.
Entah karena rindu suasana dugderan di Masjid Besar Kauman atau ingin mengenang kembali masa kecil saat dugderan diselenggarakan di Masjid Kauman, warga setempat yang kebetulan hadir juga terlibat berbagi arena bersama anak-anak memainkan gasingnya atau malah berlomba. ”Ayo gulung talinya, kemudian lepaskan gasingnya...,” teriak panitia kepada peserta yang telah bersiap mengikuti lomba gasing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar