Senin, 13 Oktober 2008

Ragam Bentuk Beduk Jawa

Ragam Bentuk Beduk Jawa

Menteri Sosial Bahtiar Chamsyah menabuh bedhug sebagai tanda dimulainya acara Rampak Bedhug 1429 H yang digelar di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (31/8) untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan.


Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum
(Univ. Negeri Malang)

B. Ragam Bentuk Waditra Beduk Jawa
Secara fisiografis, waditra beduk memiliki keragaman bentuk, yang tercer-min baik dari ukuran, penampang rosonator maupun cara peletakannya.

Ragam ukuran beduk tergambar pada ukuran lingkar (diameter) dari selaput getar pada masing-masing mulut resonator, dan panjang resonatornya. Ada dua tipe ukuran mulut resonator: (1) kedua mulut resonator berukuran sama, dan (2) keduanya berukuran beda. Tipe pertama menampilkan bentuk resonator yang menyerupai tabung berpenampang sebangun seperti bentuk tong (barrel-shaped drum).

Tipe ini memiliki dua buah varian bentuk resonator: (1a) tabung sebangun berdinding rata, dan (1b) tabung sebanguan berdinding cembung (bulging-drum). Tipe yang kedua menampilkan resonator menyerupai tabung dengan bangun mengerucut. Perihal panjang resonator, terdapat sejumlah beduk dengan panjang resonator standard. Namun, ada pula beduk yang walau selaput getarnya tidak seberapa besar, tetapi memiliki resonator yang terbilang panjang, bahkan amat panjang, yang dibuat dengan memberi lobang horisontal sepanjang batang pohon.

Pada umumnya ukuran beduk hanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) beduk kecil, dan (2) beduk besar. Sesuai dengan bunyinya, beduk kecil dinamai “jidor” atau “jedor”. Sedangkan beduk berukuran besar mempunyai sebutan “beduk”. Di dalam bahasa Madura, beduk besar dinamai “gupe’ ”. Ada kecenderungan bahwa beduk tua mempunyai ukuran kecil hingga sedang. Hal ini dapat diketahui dari pemberitaan Houtman dalam “D’eeste Boek” tentang beduk-beduk di Banten pada akhir abad XVI yang ditempatkan dengan cara digantungkan, se-hingga bisa dimasukkan ke dalam kategori beduk kecil hingga sedang, yang kini dinamai “jidor”. Pada masa Hindu-Buddha beduk besar disebut dengan “teg-teg”. Kini sebutan “beduk” lazim dipakai untuk menamai beduk berukuran besar, bah-kan untuk beduk berukuran sangat besar (“beduk raksasa”).

Ukuran beduk acap disesuaikan dengan tempat peribadatan padamana ia ditempatkan. Beduk berukuran kecil lazim ditempatkan di serabi surau (langgar), atau digantungkan pada tiang atap menara. Sedangkan beduk berukuran besar banyak didapati pada serambi masjid atau pada bangunan tersendiri di kompleks masjid. Bahkan kini, di masjid-masjid besar (jami’) muncul kecenderungan untuk menempatkan “beduk raksasa” guna memberi kesan agung darinya.

Pada fenomena terakhir, ukuran beduk dijadikan pula sebagai parameter untuk keperluan superlatif dalam pemecahan rekor MURI.
Ukuran beduk ikut pula menentukan bahan pembuatan resonator. Beduk ukuran kecil hingga sedang lazim dibuat dari batang pohon, yang diberi lobang horisontal. Dalam perkembangan terakhir, terdapat pula beduk-beduk kecil yang resonatornya dibuat secara sederhana dengan memodifikasi tong logam ataupun tong plastik bekas. Kini tidak semua resonator beduk besar terbuat dari batang kayu utuhan.

Banyak juga didapati beduk-beduk besar yang dibuat dengan cara merangkai papan-papan kayu, dan kemudian dibentuk menjadi berpenampang bulat. Terlebih pada “beduk raksasa”, kini tidak memungkinkan untuk dibuat dari batang kayu utuhan, lantaran ada kelangkaan untuk mendapatkan batang pohon berukuran amat besar. Ukuran terbesar dari beduk besar bukan tak terbatas. Di-ameter maksimal dari selaput getar turut ditentukan oleh lebar terlebar dari kulit binatang, yang menjadi bahan bagi pembuatan selaput getar. Beduk besar, ter-lebih lagi pada beduk raksasa, banyak memanfaatkan kulit kerbau. Oleh kerena, kerbau yang berukuran besar memungkinkan untuk menghasilkan diameter sela-put getar hingga mencapai dua meter atau lebih.

Ragam fisiografis beduk tercermin pula pada cara peletakaannya. Dalam hal ini, ada dua cara untuk menempatkan beduk, yaitu: (1) digantung, atau (2) di-tempatkan pada pedestal. Pada umumnya beduk yang ditempatkan dengan cara digantung adalah beduk berukuran kecil hingga sedang dalam posisi horisontal, yang digantungkan pada balok kayu horisontal di suatu bangunan surau. Selain digantung, terdapat beduk kecil yang ditempatkan dalam posisi berdiri menyudut (vertikal) pada suatu pedestal. Ada pula beduk kecil yang tak digantungkan pada balok kayu dari bangunan surau, melainkan pada tiang gantungan tersendiri ber-ukuran relatif pendek. Misalnya pada beduk kecil (jidor) dalam suatu ansambel musik, dimana penabuhnya berada dalam posisi duduk. Pada beduk besar, terlebih pada beduk raksasa, posisi bergantung tidak dimungkinkan. Satu-satu cara adalah menempatkannya di suatu pedestal, dengan titik tengah diameter selaput getar relatif sejajar dengan dada orang dewasa. Namun demikian, bukan berarti bahwa pedesal hanya monopoli beduk besar. Tidak sedikit beduk kecil hingga sedang yang ditempatkan pada pedestal tinggi, dengan titik tengah selaput getar berada sedikit di atas kepala orang dewasa, yang mengingatkan kita pada beduk di daerah Asia Timur (Cina, Jepang dan Korea).

Pedestal ataupun tiang gantung beduk merupakan komponen beduk yang acap dijadikan sebagai bidang ekspresi artistik yang berupa pahatan ragam hias. Pada komponen ini acap pula ditorehkan inskripsi, yang dinukil dari ayat suci Al Qur’an maupun konogram tentang waktu pembuatan beduk. Misalnya pada tiang gantung beduk di masjid jami’ kuno Brebek (Nganjuk), masjid Sunan Muria, Mas-jid Keraton Solo, masjid Bagelen, dsb. Dengan cara ini, maka beduk tidak hanya menjadi benda fungsional, namun sekaligus merupakan suatu karya seni yang artistik.

Tidak semua beduk memiliki sepasang selaput getar yang dipasang pada kedua mulut resonatornya. Pada beduk kecil yang ditempatkan dalam posisi ver-tikal, selaput getar hanya ditempatkan di salah satu mulut resonator bagian atas. Demikian pula pada beduk pajang, selatut getar hanya dipasang pada salah satu mulut resonator bagian depan. Pada beduk kecil, sedang, besar ataupun “beduk raksasa” yang ditempat dalam posisi horizontal, baik dengan cara digantungkan ataupun diletakan pada pedestal, lazim dilengkapi dengan dua buah selaput getar di masing-masing mulut resonatornya. Rentangan selaput getar pada mulut resonator dikencangkan dengan menggunakan beberapa macam cara, yaitu: (1) dikunci dengan pasak-pasak kayu yang ditancapkan pada pertemuan lembar ku-lit binatang dan tepian resonator, (2) mengencangkan rentang selaput getar de-ngan memakai tali yang dijalinkan antar lingkaran (ring) besi tempat dililitkannya tepian selaput getar, atau (3) kombinasi antara keduanya. Teknik yang pertama banyak diterapkan pada beduk ukuran sedang, besar hingga “beduk raksasa”. Sementara teknik kedua lazim terdapat pada beduk kecil, yang kemungkinan diil-hami oleh cara merentak selapat getar pada waditra kendang.

Beduk adalah waditra yang dibunyikan dengan cara ditabuh dengan mem-pergunakan perangkat penabuh, bukan ditepak dengan memakai telapak tangan seperti pada waditra kendang. Oleh karenanya, beduk senantiasa diperlengkapi dengan alat tabuh, yang berjumlah satu atau dua buah. Bahkan untuk permainan musik, misalnya dalam permainan “tidur (rampak beduk)”, tidak jarang digunakan empat buah alat tabuh, yang dimainkan oleh dua orang penabuh.

Masing-masing menabuh selaput getar pada sisi berlainan. Sasaran pukul dari alat tabuh beduk tidak melulu ke arah selaput getar, namun bisa juga dipukulkan pada tepian re-sonator atau ke pasak-pasak penguat retang selaput getar guna menghasilkan variasi suara (kotekan).

Tidak ada komentar: