Rabu, 15 Oktober 2008

Prediksi Puting Beliung Masih Sangat Terbatas

Prediksi Puting Beliung Masih Sangat Terbatas

Kemampuan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam memprediksi kejadian angin kencang atau puting beliung masih sangat terbatas. Gejala puting beliung tak terpantau lewat citra satelit, hanya terpantau melewati radar doppler yang baru dimiliki institusi ini sebanyak lima unit, dan jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan yang semestinya mencapai ratusan radar.

”Lima radar itu sekarang terpasang di Nanggroe Aceh Darussalam, Batam, Pontianak, Ujung Pandang, dan Surabaya,” kata Kepala Subbidang Informasi Meteorologi Publik pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kukuh Ribudianto, Minggu (12/10).

Menurut Kukuh, puting beliung tumbuh pada masa transisi, seperti akhir-akhir ini, dari musim kemarau menuju mu- sim hujan. Puting beliung yang terjadi di Nusa Tenggara Ti- mur dan Jawa Timur pada pekan lalu cukup merusak, dengan kategori kecepatan angin melampaui 25 knot atau 45 kilometer per jam.

Puting beliung itu tumbuh seiring pembentukan awan kumulonimbus yang memiliki ciri pertumbuhan awan hujan relatif sangat cepat. Perbedaan suhu tinggi di daratan dan suhu rendah di awan itu cukup drastis sehingga terjadi perbedaan tekanan drastis yang mendorong terciptanya puting beliung.

”Dengan radar doppler dapat dilihat potensi pembentukan puting beliung ini. Prediksinya dapat disampaikan antara 2 sampai 3 jam sebelum kejadiannya sehingga dampak atau risiko bisa diminimalisir,” kata Kukuh.

Menyimpang

Secara terpisah, anggota Komisi Sains Dasar Dewan Riset Nasional (DRN) Paulus Agus Winarso mengatakan, puting beliung akhir-akhir ini sudah menyimpang dari pola normal. Saat kejadian puting beliung, pola angin masih angin timur yang sebelumnya sama sekali jarang menimbulkan puting beliung.

”Puting beliung pada masa transisi biasanya setelah angin barat berlangsung,” kata Paulus.

Menurut Paulus, puting beliung seperti di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur itu bisa dikaji sebagai dampak perubahan iklim. Akan tetapi, kelemahan sistem di Indonesia hingga sekarang tidak memiliki database atau data dasar untuk menyatakan hal itu sebagai dampak perubahan iklim.

”Itulah yang terjadi. Sampai sekarang analisis mengenai iklim dan cuaca masih didasarkan data-data global, tidak pernah data-data nasional,” ujar Paulus.

Menurut Paulus, pemerintah semestinya menyusun data dasar iklim untuk mendukung berbagai kejadian alam masuk kategori dampak perubahan iklim. Manfaatnya ke depan untuk menopang upaya adaptasi dan mitigasi bencana.

Data dasar yang harus disusun untuk penetapan dampak perubahan iklim, menurut Paulus, minimal data iklim periode normal, iklim yang berpengaruh pada pertanian, berpengaruh pada bencana, dan iklim yang berpengaruh pada kelautan.

”Pada tahun 1980-an masih jarang terjadi puting beliung. Kasus yang kerap terjadi seperti sekarang tentu ekses dari perubahan lingkungan dan perubahan iklim

Tidak ada komentar: