Rabu, 15 Oktober 2008

Ponpes Langitan Tempat Kiai Bahas Persoalan Bangsa

Ponpes Langitan Tempat Kiai Bahas Persoalan Bangsa

By Republika Contributor
Ponpes Langitan Tempat Kiai Bahas Persoalan Bangsa Pondok pesantren (Ponpes) Langitan namanya tiba-tiba berkibar menjelang perhelatan pemilu 1999. Sebelumnya pesantren ini tak banyak 'dilirik' orang. Namun, menjelang pelaksanaan pesta demokrasi era reformasi itu, Ponpes Langitan menjadi buah bibir. Menjelang pemilu pondok shalaf ini, menjadi tempat pertemuan penting pembahasan peliknya persoalan bangsa dan negara.

Ketika para kiai dan ulama se Jawa Timur hendak membahas dan mencari penyelesaian kasus pembunuhan berdalih ''dukun santet'', pondok inilah yang dipilih sebagai tempat pertemuan. Pertemuan para kiai dan ulama itu juga dihadiri umaro (Kapolda dan Pangdam).

Mereka berkumpul di Langitan untuk membahas dan memecahkan persoalan pembunuhan masal berkedok isu dukun santet itu. Mengingat pembunuhan masal yang diawali dari ujung timur Pulau Jawa, yakni Kota Banyuwangi itu, rupanya tak hanya lapisan bawah kalangan nahdliyin (warga NU) semata. Tetapi sasaran pembunuhan merambah para guru ngaji dan kiai.

Kala itu, para kiai perlu berkumpul membahas dan memecahkan persoalan yang sudah pada titik meresahkan dan menegangkan itu. Para ulama dan kiai setidaknya meminta 'pertanggungjawaban' Kapolda dan Pangdam, karena merekalah aparat yang bertanggung jawab di bidang keamanan di wilayah Jawa Timur (Jatim). Para kiai meminta agar 'ninja' pelaku aksi pembunuhan ditangkap dan diadili.

Langitan juga dijadikan tempat pertemuan para ulama dan kiai se-Jatim untuk membahas kampanye pemilu 1999, agar kampanye berlangsung tertib dan damai. Kalangan ulama dan kiai mengangkat tema itu, lantaran dalam kegiatan kampanye di lapangan tak sedikit ditemui bentrokan antar-simpatisan partai. Bila bentrokan-bentrokan ini tak dicegah, maka tak menutup kemungkinan pesta demokrasi itu bisa berubah menjadi kegiatan anarkis yang membahayakan stabilitas bangsa dan negara.

Pertemuan-pertemuan di atas tak urung membuat Ponpes Langitan kini menjadi terkenal namanya. ''Alhamdulillah, pertemuan para ulama dan kiai itu memang membawa berkah bagi pondok. Setidaknya, Pondok Langitan menjadi mencuat namanya,'' kata Wakil Pengurus Ponpes Langitan, Ustadz Nur Kholis kepada Republika pekan lalu.

Yang paling riil dampaknya, menurut Ustadz Kholis, adalah membludaknya santri baru Ponpes Langitan. ''Bulan ini (Juli) saja, sekitar 1.000 siswa baru datang mendaftar. Padahal, sebelumnya maksimal jumlah pendaftar hanya 300 siswa. Dan, umumnya para orangtua mengetahui Ponpes Langitan sejak adanya pertemuan itu,'' paparnya. Para santri baru itu umumnya berasal dari Kabupaten Tuban, Lamongan, dan Gresik. Selain santri asal kota-kota di Jatim, santri Langitan juga datang dari kota-kota lain di Indonesia. ''Bahkan ada yang dari Singapura dan Malaysia,'' ungkap Ustadz Kholis.

Terangkatnya pamor pondok ini sebenarnya, tak lepas dari kegiatan kelompok musik kasidah yang dimilikinya: Nasyid an-Nabawiyah. Betapa tidak. Kelompok ini sudah membukukan lima album shalawat yang telah beredar di tengah masyarakat.

''Kita telah merekam musik kasidah sebanyak lima volume. Dengan beredarnya kaset itu menjadikan Pondok Langitan dikenal banyak warga Muslim,'' kata Ustadz Kholis. Kelompok musik kasidah Nasyid an-Nabawiyah Ponpes Langitan ini pernah menjadi juara tingkat Jatim.

Biaya murah

Pondok Langitan yang namanya melambung setelah menjadi tuan rumah dua pertemuan para kiai dan ulama, tadi terletak di Dusun Mandungan Desa Widang, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jatim. Nama ''Langitan'' sendiri bukan diambilkan dari nama desa lokasi pondok berdiri. Tetapi nama itu diambil dari tugu perbatasan antara wilayah Kabupaten Tuban dan Lamongan.

Pada zaman dahulu di perbatasan ini ada dua papan perbatasan [orang Jawa menyebutnya plang]. Kala itu ada Plang Etan (papan perbatasan timur) dan Plang Kulon (papan batas barat). Dari istilah Plang Etan inilah kemudian lahir kata ''Langitan''. Kebetulan surau tempat pengajian itu berdekatan dengan Plang Etan, sehingga disebut Langitan.

Banyak anak yang tak tahu di mana pondok ini berada. Mereka --ketika orangtuanya mengantarkannya untuk mondok di tempat ini-- menganggap bahwa lembaga pendidikan Islam ini berada di atas awan sana. ''Semasa kecil dulu, saya kira Pondok Langitan ada di langit beneran. Eh, tak tahunya hanya dengan naik bus saja sudah sampai,'' kata Mahmudi, santri asal Gresik.

Ponpes Langitan didirikan oleh KH Moh Nur, pada tahun 1852. Kiai Nur dikenal sebagai seorang pejuang yang gigih melawan penjajah dari Tanah Jawa. Ia berasal dari Desa Tuyuhan Kabupaten Rembang, Jateng. Kompleks pendidikan/pesantren yang sekarang ini ada, dahulunya hanya sebuah surau kecil. Di tempat inilah dulu Kiai Nur mengajar dan menggembleng sanak saudara dan tetangga dekatnya mendalami ajaran Islam. Dan dari sini pula Kiai Nur 'menanamkan' bibit-bibit anti penjajahan. Dalam perkembangannya kemudian surau kecil itu berubah menjadi sebuah pondok.

Kiai Moh Nur sendiri hanya bisa merintis pondok sekitar 18 tahun (1652-1870), karena keburu wafat. Kedudukannya lalu digantikan oleh KH Ahmad Sholeh Nur, putra kedua dari sembilan saudara. Kiai Ahmad ini selain menuntut ilmu kepada ayahandanya, juga belajar kepada KH Abdul Qhohar, Pondok Siresno Surabaya dan mengaji tabarruk kepada ulama di Masjidil Haram Mekkah, di antaranya adalah Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Alumni generasi kedua Pondok Langitan ini banyak yang menjadi kiai ternama. Mereka antara lain: KH Moh Kholi (Bangkalan Madura), KH Hasyim Asy'ari (Pendiri NU), KH Abdul Wahab Hasballah, KH Syamsul Arifin, dan KH A Shiddiq (Jember). Selain itu masih banyak santri alumnus Pondok Langitan yang berhasil memimpin pondok pesantren.

Ponpes Langitan era sekarang merupakan generasi keempat KH Moh Nur. Mereka adalah KH Ahmad Marzuki Zahid dan KH Abdul Fakih. Berkat sentuhan kedua tangan kiai ini, Pondok Langitan kini menjadi berkibar benderanya. Mereka mampu mensejajarkan nama Langitan dengan pondok-pondok lainnya di Tanah Air. Langitan kini memiliki sekitar 3.000 santri (putra dan putri), yang datang dari penjuru Nusantara.

''Kita memiliki sepuluh lokasi bangunan untuk santri pria dan sepuluh bangunan untuk santriwati,'' kata Ustadz Kholis. Pondok berserta lembaga pendidikannya menempati lahan seluas sekitar 7 hektar. Namun lokasinya yang persis berada pada bibir sungai Bengawan Solo, membuat Pondok Langitan sering disapa banjir. Nyaris saban tahun pada musim penghujan pondok ini selalu tergenang air.

''Hampir tiap tahun Pondok Langitan kebanjiran. Kalau sudah banjir begitu, para santri harus rela libur hingga satu sampai dua bulan. Genangan air bisa mencapai 1-3 meter lebih tingginya,'' kata Ustadz Kholis.

Malahan karena seringnya banjir membuat para orangtua enggan memondokkan anaknya di Pondok Langitan. Termasuk Ketua PBNU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), enggan nyantri di Langitan karena takut banjir. ''Pernah pada suatu kali Gus Dur menyatakan ia enggan nyusul kakeknya Kiai Hasyim, karena takut kebanjiran,'' kata Ustadz Kholis menirukan Gus Dur ketika memberi ceramah dalam acara haul di Langitan.

Namun sekitar tahun 1990-an, ketika sepanjang aliran sungai Bengawan Solo dibangun tanggul, Pondok Langitan menjadi bebas banjir hingga kini. Sejak terbebas dari bencana banjir itu pula, kini Pondok Langitan kebanjiran santri. ''Ketika bencana banjir itu hilang, Pondok Langitan didatangi banyak santri,'' paparnya.

Pendidikan di Pondok Langitan masih menganut sistem pendidikan tradisional. Sistem weton dan sorogan masih dipegang kuat di sini. Kendati begitu, sistem pendidikan modern juga diterapkan di sini. Para santri, misalnya, memperoleh beragam kegiatan ekstra kurikuler seperti pramuka, musik, dan olahraga. Biaya pendidikan di pondok ini relatif murah sekali. Santri hanya dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp 57 ribu per orang. Para santri hanya dipungut biaya pendaftaran sekali saja. Santri yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya, tak perlu membayar biaya pendaftaran lagi. Untuk SPP santri hanya dikenai Rp 4.000 per orang per bulan, dan uang pondok (asrama) Rp 3.000 per santri per bulan.

Sedangkan untuk makan, para santri bisa memasak sendiri atau membelinya di warung yang disediakan pondok. Harganya juga relatif murah. Murahnya biaya pendidikan di Pondok Langitan, lantaran tenaga pengajarnya berasal dari para ustadz dan alumnus pondok sendiri. ''Para pengajar itu oleh pondok hanya diberi uang sekadar bisaroh. Sehingga nyantri di Pondok Langitan tak dikenai biaya tinggi,'' kata Ustadz Kholis

Tidak ada komentar: