Senin, 13 Oktober 2008

Nafkah Lewat Bedug

Nafkah Lewat Bedug

Oleh:
Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum
(Univ. Negeri Malang)

5. Waditra dalam ansambel musik
Beduk kecil (jidor) acap menjadi salah satu waditra dalam suatu ansambel musik. Fungsinya dalam ansambel musik itu menyerupai fungsi gong. Oleh kare-nanya, beduk bisa digunakan sebagai waditra pengganti gong. Peran jidor yang demikian terutama terlihat dalam ansambel musik yang dipentaskan di lingkung-an masyarakat muslim yang kurang berkenan untuk menerima kehadiran gong, lantaran baginya gong diberi konotasi sebagai waditra yang non-islami.

Sebagai waditra dalam musik Islami, beduk – khususnya jidor (jedor) acap dipadukan dengan rebana (terbang), sehingga ansambel musik ini lazim disebut dengan “terbang jidor”. Ansambel musik yang juga dinamai dengan “terbang kun-tulan” ini kerap digunakan untuk mengiringi Sholawat Nabi (Slawatan). Selain itu, jidor juga tampil dalam ansambel musik pengiring tari pencak. Oleh karena jidor menjadi waditra yang pokok pada musik pengiring tari pencak, maka tari pencak ini diberi sebutan “Pencak Dor”. Serupa dengan nama itu, pada tari kuda lumping (jaranan) terdapat varian tari jaranan yang ansambel musik pengiringnya memi-liki unsur waditra jidor, sehingga dinamai “jaranan dor”. Waditra jidor tampil juga dalam seni tutur “kentrung” maupun “wayang jemblung, yang banyak menam-pilkan cerita keislaman.

Beduk kecil menjadi unsur waditra penting pada anasambel musik patrol, yang di daerah Madura dan sejumlah darah lain di Jawa menjadi musik spesifik untuk membangunkan orang guna bersantap syahur. Kata “patrol” adalah akro-nim dari “patroli (meronda)”. Fenomena ini dapat dibandingkan dengan relief ce-rita Ramayana pada teras I Candi Penataran (panil 21), yang menggambarkan seorang prajurit Rahwana yang tengah melakukan perondaan dengan membu-nyikan genderang jenis dog-dog atau reog. Waditra ini ditabuh dengan memakai tongkat pemukul berujung bulat. Bentuk dog-dog menyerupai beduk, namun ber-ukuran lebih kecil daripada jidor, batang resonatornya cukup panjang, dan hanya memiliki satu sisi selaput getar. Selain dalam musik patrol, di daerah Madura wa-ditra beduk juga tampil dalam ansambel musik tong-tong dan gursa. Bahkan da-lam gursa, beduk menjadi waditra yang penting, sebab pada dasarnya musik ini merupakan paduan antara waditra tong-tong dan beduk kecil.

Paparan di atas memberi gambar bahwa, beduk kecil (jidor) tidak selalu tampil dalam ansambel musik yang islami. Tampilnya jidor sebagai unsur waditra pengiring dalam tarian jaranan dor, pencak dor, tong-tong maupun gursa adalah beberapa bukti tentang itu. Bahkan, dalam ansambel musik kreasi kekinian, be-duk acap tampil sebagai komponen waditra dalam pertunjukan musik yang sama sekali tidak bernuansa Islam. Dalam fenomena yang demikian, beduk yang pada awalnya menjadi waditra pada seni musik islami mengalami diversifikasi dengan merabah masuk ke dalam musik-musik lain yang tidak musti bernafaskan islam.

6. Sumber pencarian nafkah

Ketrampilan membuat beduk tidak dipunyai oleh sembarang orang. Beduk adalah karya kekriayaan yang membutuhkan ketrampilan khusus. Lantaran pekriya beduk tidak banyak jumlahnya, maka perajin beduk merupakan tukang ahli khusus (undagi, undahagi) yang langka. Tidak semua daerah mempunyai undagi beduk. Kalaupun di suatu tempat terdapat perajin waditra jenis membraphone, seperti perajin kendang atau rebana, namun mereka belum tentu mampu mem-buat kendang besar (beduk), walaupun dalam beberapa hal tahapan dan teknik pembuatan kendang dan rebana serupa dengan proses buat beduk. Di Jawa Tengah misalnya, sentra perajin beduk hanya terdapat di Purwoejo, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Secang, Demak, Jepara, dan Solo. Oleh karenanya bi-sa difahami bila pemesan datang dari luar daerah, bahkan dari luar negeri.

Bagi para undagi beduk, jasa pembuatan beduk menjadi sumber nafkah, utamanya pada jelang memasuki bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, yang merupakan masa panen baginya. Pengerajaan pesanan beduk besar diharapkan rampung sebelum memasuki bulan Ramadhan atau Idul Fitri, agar beduk pesan-annya bisa “dianyari (dipakai dalam kondisi baru)” pada bulan baik menurut kaca mata umat Islam itu. Hal demikian misalnya dituturkan oleh Mersuyudi, perajin beduk asal Desa Bejen (Temanggung) maupun oleh Khuzeenadi asal Grabag (Magelang), yang unuk Ramadhan tahun 2007 mendapat pesanan 8 buah beduk untuk masjid-masjid di Jawa dan Jakarta (Kompas Minggu, 30 September 2007). Kondisi serupa terjadi dalam penjualan beduk-beduk kecil bersahaja dengan re-sonator dari tong bekas karya perajin beduk di daerah Tanah Abang Jakarata, juga laris manis terjual dalam bulan baik ini. Ramadan dan Idul Fitri membawa berkah bagi mereka yang berprofesi sebagai pekriya beduk. Profesi sebagai pe-kriya beduk ini bisa dibandingkan dengan perajin kendang (undagi padahi) pada masa Hindu-Buddha. Sebagai pihak yang memperoleh pendapatan lewat usaha kerajinan, pihak kerajaan lewat petugas khusus yang dinamai “mapadahi”, yakni petugas pemungut pajak (mangilala drawyahaji) khusus untuk pekriya kendang, memungut pajak kepadanya atas nafkah yang mereka didapatkan dari hasil usa-ha kerajinan ini. (Selesai)

Malang, 7 September 2008

KEPUSTAKAAN

Anom, I.G.N. (e.a.), 1996/1999, Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Cahyono, M. Dwi, 2003, Rakitan dan Fungsi Seni Pertunjukan pada Masyarakat
Jawa Kuna Abad ke-10 hingga 16 Masehi. Tesis Magister pada Program
Studi Arkeologi PPS UI Jakarta.
Kunst, Jaap, 1968, The Hindu-Javanese Musical Instruments. KITLV Translation
Series 12. The Hague: Matinus Nijhoof (Edisi I berbagasa Belanda tahun
1927).
Lodewycksz, Wilem, 1915, D’Eerste Boek – De Eerste Schipvaart der Neder-
Lansche near Oost-Indie onder Cornelis de Houtman, 1595-1957. Eds.
G.P. Rouffear dan J.W. Ijzerman. The Hague: Martinus Nijhoof.
Mohamad, Goenawan, “D&R Beduk”, Harian Kompas, 2 Meret 1997
Mustopo, M. Habib, 2000, Kebudayaan Islam Masa Peralihan di Jawa Timur
pada Abad XV-XVI Kajian Beberapa Unsur Budaya. Disertasi pada Pro-
gram Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta.
Poerbatjaraka, R.M. Ng., 1966, Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Terj. Zuber
Usman dan H.B. Jassin. Djakarta: Gunung Agung.
Raffles, Th. Stamford, 2008, The History of Java. Edisi Terjemahan. Yogyakar-
Ta: Narasi.
Zoetmulder, P.J, 1982, Javanese-English Dictionary. KITLV. Leiden: s’Graven-
Hage – Martinus Nijhoff.

Tidak ada komentar: